Tanpa Sistem Islam, Penista Agama Makin Subur
Oleh: Ning Alfiatus Sa'diyah, S.Pd. (Pengasuh TPQ Darul Arqom dan Madin Nurul Mas'ud)
Melansir data World Population Review tahun 2021, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia, dengan total sekitar 231 juta penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam. Namun, sungguh ironis di negara mayoritas Muslim, peristiwa penistaan agama seolah tak pernah ada habisnya.
Beredar video seorang pria menginjak Al-Qur'an saat bersumpah di hadapan istrinya. Pria yang mengenakan sarung tersebut membantah berselingkuh dan melakukan sumpah dengan Al-Quran agar istrinya percaya. Setelah ditelusuri, pria yang ada dalam video adalah pejabat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang bertugas sebagai Kepala Otoritas Bandar Udara Wilayah X Merauke.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Cecep Kurniawan, menyatakan sebelum kdilaporkan atas kasus penistaan agama, Asep Kosasih juga dilaporkan oleh istrinya sendiri Vanny Rossyane atas kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). (tribunnews.com, 18 Mei 2024).
Sungguh miris, meskipun dikatakan sebagai negeri mayoritas muslim, namun kasus penistaan agama dan simbol Islam justru sering berulang. Sudah tak terhitung berapa kali kasus penistaan agama Islam keluar dari mulut para penista, mulai dari pemuda, YouTuber, dan kali ini seorang Kepala Kantor Otoritas Bandar Udara Wilayah X Merauke.
Berulangnya kasus penistaan agama semakin menggambarkan bahwa sistem sekularisme yang eksis saat ini telah membuat agama dipisahkan dari kehidupan. Agama bukan menjadi tolak berpikir dan berperilaku seseorang. Maka tak heran jika agama dan simbol-simbolnya selalu dijadikan bahan olok-olokkan yang bisa dihina atau direndahkan kapan saja dan semaunya.
Sistem ini pun membuat manusia bersikap liberal (bebas) untuk melakukan segala hal yang menurutnya ingin dilakukan walaupun itu menghina simbol agama. Kebebasan yang diberikan oleh sistem demokrasi telah nyata hanya melahirkan orang-orang yang berani menyimpangkan kebenaran Islam, menghina, dan menghujat ajaran Islam yang sudah pasti kebenarannya.
Perbuatan yang rendah ini akan terus terjadi dengan bentuk yang baru dan pemain baru selama kebebasan dalam berpendapat dan bertingkah laku masih dilegalkan di negeri ini. Sistem demokrasi menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan mengakui kebebasan berpendapat serta berekspresi sebagai hak konstitusional yang fundamental. Alhasil, manusia bebas melakukan penistaan agama atau menghina Allah, Nabi Muhammad, atau kitab suci Al-Qur’an.
Sistem sanksi bagi penista agama pun begitu lemah dan tidak menjerakan. Hukuman bagi penista agama hanya di penjara. Setelah di penjara para penista bisa berulang melakukan tindakan serupa bahkan menjadi inspirasi yang lain untuk melakukan hal yang sama. Maka tak heran, penistaan agama makin menggila dengan berbagai olok-olokan baru yang menghina Islam.
Meskipun telah ada undang-undang yang mengatur sanksi terhadap penistaan agama, yaitu KUHP pasal 156a, nyatanya suara para penista masih nyaring terdengar. Ini semua diakibatkan landasan membuat peraturan lahir dari sebuah paradigma batil, yaitu sekularisme. Akibatnya, negara tidak menjadikan Islam sebagai sumber aturan kehidupan.
Alhasil dalam membuat aturan, Islam hanya diposisikan sebagai salah satu dari sekian nilai atau norma yang menjadi rujukan dalam pembuatan UU. Islam tidak menjadi satu-satunya rujukan dalam mengatur kehidupan manusia. Oleh karena itu, sudah bisa dipastikan penghinaan terhadap simbol-simbol agama, Rasulullah saw dan ajaran Islam, akan tetap ada jika sistem sekuler-liberal masih eksis dalam kehidupan umat Islam. Sebab agama hanya dijadikan pelengkap semata tanpa dijadikan pijakan seutuhnya.
Berbeda halnya dengan negara yang menerapkan Islam, yakni khilafah. Sistem sanksi bagi penista agama dalam sistem Islam dimasukkan dalam kasus uqubat, takzir, di mana qadhi (hakim) akan memberikan hukum kepada seseorang sesuai dengan derajat kejahatan yang dilakukan, untuk hukuman paling berat berupa hukuman mati.
Dalam Islam, penghinaan terhadap agama atau penistaan agama merupakan perbuatan yang sangat serius dan diancam dengan hukuman yang berat. Imam Nawawi berkata, “Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang menghina Al-Qur’an, atau menghina sesuatu dari Al-Qur’an, atau menghina mushaf, atau melemparkannya ke tempat kotoran, atau mendustakan suatu hukum atau berita yang dibawa Al-Qur’an, atau menafikan sesuatu yang telah ditetapkan Al-Qur’an, atau meragukan sesuatu dari yang demikian itu, sedang dia mengetahuinya, maka dia telah kafir.”
Hukuman untuk muslim yang murtad (keluar dari agama Islam) adalah hukuman mati, jika dia sudah diminta untuk bertaubat (istitabah) tetapi dia tetap tidak mau bertaubat. Namun, jika penista tersebut bertaubat, maka sanksi hukumnya dibebankan pada kearifan seorang hakim. Tentu dalam memutuskan suatu jenis dan ukuran sanksi ini harus tetap memperhatikan nash syariat secara teliti, baik, dan mendalam. Dengan demikian, jelas bahwa hukuman yang keras dan tegas akan sangat berpengaruh terhadap sikap para penista agama sehingga mereka tidak berani lagi melakukannya.
Selain itu, Islam juga telah menetapkan sistem yang khas untuk mengelola pemerintahan. Sistem yang sempurna yang di dalamnya terdapat aturan yang mengatur segala bentuk interaksi antar sesama manusia, seperti sistem sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya dengan asas kedaulatan di tangan Syara’, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Oleh karena itu, jika berharap berakhirnya penistaan agama kepada sistem selain Islam adalah hal mustahil. Hanya Islam yang mampu menegakkan hukum secara tegas dan keras terhadap penista agama, tanpa pandang bulu terhadap pelaku, bahkan menyelesaikan persoalan ini langsung dari akarnya.
Wallahu a’lam bis shawwab.