Kekerasan Anak semakin Marak dimana perlindungan Negara?
Penulis : Durrotul Hikmah (Aktivis Muslimah)
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Choiri Fauzi mengecam tindakan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap anak berinisial DCN (7) di Banyuwangi, Jawa Timur. Dia memastikan bahwa Kementerian PPPA akan mengawal proses hukum kasus tersebut, sekaligus memberikan pendampingan terhadap keluarga korban. (Kompas.com, 17/11/2024).
Selain itu, Sepeda anak perempuan berwarna pink milik CNA menjadi saksi bisu bagaimana dia dibunuh dan diduga diperkosa pada Rabu, (13/11/2024). (Liputan6.com, 17/11/2024).
Kemen PPPA menyebut bahwa prevalensi kekerasan seksual terhadap anak pada 2024 lebih tinggi dibandingkan pada 2021. Prevalensi kekerasan seksual pada anak laki-laki usia 13—17 tahun sepanjang hidup sebesar 3,65% pada 2021, naik menjadi 8,34% pada 2024. Sedangkan prevalensi kekerasan seksual pada anak perempuan dengan usia yang sama sepanjang hidup pada 2021 berkisar 8,43%, naik menjadi 8,82% pada 2024.
Menelisik dari data yang ada tentu menjadi pukulan keras bagi penguasa. Banyaknya kasus kekerasan seksual pada anak tidak mungkin bisa diabaikan, penyebabnya tidak satu atau dua faktor melainkan beragam.
Jika kita mencermati realitas ini, jelas kondisi anak kian terancam. Keluarga atau orang dekat yang semestinya turut menjaga dan melindungi anak-anak justru menjadi pelaku kejahatan terhadap anak yang tidak jarang berakhir dengan pembunuhan.
Pemangku kebijakan setempat dan aparat yang berwenang pun baru bertindak setelah ada laporan, itu pun sering kali terganjal birokrasi panjang. Terlebih lagi negara yang merupakan pengambil kebijakan ternyata justru menerapkan sistem dan tata kehidupan sekuler liberal.
Para pejabat tidak peduli bahwa kebijakan-kebijakan yang mereka terapkan berdampak buruk pada masyarakat dan generasi muda. Selain itu, Mencermati pelaku dalam kasus-kasus kekerasan seksual yang mayoritas orang terdekat ini, jelas mustahil mengandalkan keluarga sebagai tumpuan utama untuk melindungi anak-anak dari kekerasan seksual.
Kondisi seperti ini Ada karena campur tangan dari sistem pendidikan sekuler yang turut menunjangnya, juga ide kebebasan berperilaku dan mandulnya sistem sanksi. Sistem sanksi yang berlaku tidak mampu memberi efek jera pada pelaku. Predator seksual setelah bebas dari penjara bukannya bertobat, malah bisa lebih jahat dan buas dalam mencari mangsa.
Faktor ketakutan korban untuk melapor juga menguntungkan pelaku. Dalam hal ini, korban harus berani mengungkapkan tindakan kemaksiatan yang menimpanya, setidaknya kepada orang terdekat yang benar-benar bisa dipercaya.
Faktor-faktor yang mempercepat proses terjadinya pun harus diberantas hingga tuntas. Selain itu, perlu peran strategis dari penguasa, mereka harus menerbitkan kebijakan agar terjadinya kekerasan seksual bisa dihentikan secara sistemis.
Berbeda ketika didalam Islam, generasi adalah aset peradaban sehingga harus dijaga, dibina, dan diberdayakan dengan sebaik-baiknya. Islam bahkan memposisikan generasi tidak hanya sebagai aset dunia, tetapi juga akhirat.
Islam memberikan solusi komprehensif untuk menanggulangi kekerasan seksual yang dalam hal ini terdiri atas tiga pilar. Pertama, individu yang bertakwa. Kedua, masyarakat yang memiliki pemikiran dan perasaan Islam sehingga aktivitas amar makruf nahi mungkar adalah bagian dari keseharian mereka. Ketiga, negara yang menerapkan sanksi tegas sehingga keadilan hukum akan tercapai.
Dengan demikian jelas bahwa hanya sistem Khilafah yang mampu mewujudkan perlindungan hakiki bagi anak-anak dari kejahatan predator seksual.
Allah SWT berfirman :
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An-Nisa :9). Wallahu alam[]