Derita Rakyat Bertambah Berkedok Tabungan Rumah
Oleh : Annisa Al Maghfirah
(Freelance Writer)
Di tengah harga kebutuhan hidup yang mahal, juga tak sebanding dengan besarnya penghasilan, pemerintah malah akan menambah pungutan atas penghasilan rakyat. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024, akan ada pelaksanaan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Pungutan ini hingga kini ramai penolakan.
Bentuk Nyata Kedzoliman
Koordinator Dewan Buruh Nasional KASBI, Nining Elitos mengatakan jika buruh mendapatkan pemotongan upah melalui program Tapera ini,sedangkan masih jauh dari kata layak. Jelas ini menambah beban kaum buruh dan rakyat (sindonews.com,29/5/2024)
Tidak hanya buruh dan para pekerja yang menolak kebijakan tak masuk akal ini.Para pengusaha pun yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) juga menolak dan merasa keberatan. Pungutan sebesar 3% ini dinilai akan menjadi beban tambahan bagi pekerja dan pengusaha. Ini karena pungutan Tapera 2,5% ditanggung pekerja, sedangkan 0,5% dibayar pengusaha.
Pemerintah berdalih bahwa Tapera ini adalah solusi penyediaan perumahan bagi masyarakat yang belum memiliki perumahan. Ada 9,9 juta orang Indonesia yang belum memiliki rumah. Ada 14 juta warga berpenghasilan rendah yang tinggal di rumah yang tidak layak huni. Ada 81 juta penduduk usia milenial (usia 25-40 tahun) kesulitan memiliki rumah. Sedangkan dalam program Tapera, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali.
Watak Negara Kapitalisme
Para pekerja sangat menolak ini sebab mereka sudah dihadapkan pada berbagai pungutan. Diantaranya, Pungutan BPJS Ketenagakerjaan, Pajak Penghasilan (PPH), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan alami kenaikan. Presiden Jokowi juga baru menyetujui kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras. Otomatis adanya tapera menambah beban pengeluaran warga.
Seharusnya tanggungjawab pemerintah adalah menyiapkan dan menyedikan rumah untuk rakyat. Bukan malah rakyatnya yang dituntut untuk menabung tapi terkesan memaksa. Belum lagi, gaji bahkan insentif bagi para komite tapera atau yang mengurus dana tapera yang luar biasa. Wajar jika rakyat menganggap program Tapera ini terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat. Dan perlu diwaspadai, bisa menjadi ladang korupsi baru di Tapera sebagaimana terjadi di Asabri dan Taspen.
Untuk memuluskan ambisinya, pemerintah bahkan menyiapkan sanksi tegas untuk para pekerja dan pengusaha yang menolak program ini. Sanksi administratif, denda hingga ancaman pencabutan izin usaha menanti. Bukankah ini menambah derita rakyat? Menabung kok maksa?
Secara matematis, iuran Tapera tidak akan mencukupi untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK. Jelas tapera ini bentuk nyata lepas tangan negara dan watak kapitalisme itu sendiri dari membantu rakyat memiliki hunian. Rakyat dipaksa saling menanggung, yang mampu kepada yang tidak mampu, sama seperti BPJS.
Dalam sistem kapitalisme, pajak dan pungutan terhadap rakyat adalah suatu hal yang wajar dan menjadi nadi pemasokan harta untuk negara. Namun faktanya, di satu sisi para pejabat negara makin kaya, rakyatnya malah semakin sengsara. Belum lagi tentang kepemilikan lahan, banyak dikuasai korporasi dan dengan sistem ribawi. Sehingga menjadikan harga tanah bahkan rumah makin mahal.
Solusi Islam tentang Hunian.
Dalam Islam hunian adalah salah satu kebutuhan utama selain sandang dan pangan. Bahkan setiap kepala rumah tangga diharuskan menyediakan tempat tinggal bagi keluarga mereka sesuai kemampuannya.
Syariah Islam menetapkan bahwa seseorang bisa memiliki tempat tinggal baik dengan cara membangun rumah sendiri atau bantuan pihak lain. Melalui jual-beli, pemberian, ataupun warisan. Hunian itu juga bisa berupa milik pribadi atau sekadar hak guna pakai seperti rumah pinjaman atau rumah kontrakan.
Pemerintahan islam (Khilafah) wajib untuk membantu rakyat agar mudah mendapatkan rumah. Pertama, negara mengkondisikan agar iklim ekonomi sehat sehingga rakyat punya penghasilan yang cukup untuk memiliki rumah baik rumah pribadi maupun rumah sewa. Kedua, negara melarang dalam jual beli kredit perumahan berpraktik ribawi. Sebab untuk tujuan apapun, riba adalah dosa besar. Dan justru menyengsarakan.
Ketiga, negara akan menghilangkan penguasaan lahan yang luas oleh segelintir orang/korporasi. Pembatasan ini berguna agar rakyat bisa memiliki lahan. Di dalam syariah Islam juga diatur bahwa lahan yang selama tiga tahun ditelantarkan oleh pemiliknya akan disita oleh negara. Dan diberikan kepada orang yang sanggup mengelolanya dan ini ditetapkan berdasarkan Ij'ma Sahabat.
Keempat, negara memberikan insentif atau bantuan kepada rakyat untuk kemaslahatan hidup mereka, termasuk untuk memudahkan mereka memiliki rumah. Beginilah solusi Islam atas masalah perumahan bagi rakyat. Dan akan terwujud dalam sistem pemerintahan islam.
Wallahu a'lam.