Rakyat Butuh Kinerja Melayani Bukan Pencitraan Diri
(Ummu Hafiz, Pemerhati Sosial)
Deputi Protokol dan Media Sekretariat Presiden Yusuf Permana menghargai hasil survei Indikator Politik Indonesia yang menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Joko Widodo. Sigi terbaru menyebut kepuasan publik terhadap Jokowi menjelang akhir masa jabatannya mencapai 75 persen. Menurutnya, hasil ini mencerminkan dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi serta kebijakan-kebijakan yang telah diimplementasikan selama ini. Betulkah demikian?
Yusuf mengatakan tingkat kepuasan yang tinggi ini merupakan bukti bahwa upaya keras pemerintah dalam berbagai bidang telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Misalnya soal infrastruktur, kesehatan, pendidikan, hingga penanganan pandemi, dan pemulihan ekonomi.
Dalam survey tersebut pemerintah dinilai berkinerja baik dalam mengurus rakyat. Hasil survei ini dinilai hanyalah pencitraan karena kondisi real penduduk tidaklah demikian. Negara sejatinya masih menghadapi banyak persoalan di tengah masyarakat. Namun pencitraan tersebut menutupi semua itu dan mengelabui rakyat.
Hal ini tergambar pada fakta kondisi ekonomi RI dinilai sedang tidak baik-baik saja di tengah ujung masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini dinilai dari sejumlah indikator data yang justru melemah. Indikator data tersebut dapat dilihat mulai dari turunnya pendapatan domestic bruto (PDB), PMI manufaktur yang masih terkontraksi, deflasi lima bulan berturut-turut dari bulan Mei sampai September 2024, hingga peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Di samping itu, ada banyak kebijakan yang menunjukkan keberpihakan negara lebih berpihak pada korporasi dan oligarki bukan kepada rakyatnya sendiri, seperti adanya UU cipta kerja, proyek IKN, naiknya PPN, pembatasan subsidi BBM, dll.
Namun di sisi lain, lembaga survei Indikator Politik juga menyampaikan bahwa mayoritas responden menilai pemberantasan korupsi di pemerintahan Presiden Joko Widodo buruk. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan, sebanyak 30,4 persen responden meyakini pemberantasan korupsi buruk. Sedangkan, sebanyak 7,3 persen responden meyakini pemberantasan korupsi sangat buruk.
Hasil survey yang kontradiktif tersebut menunjukkan buruknya kinerja pemerintah juga menjadi bukti kegagalan pemerintah meriayah/mengurusi rakyat. Hal ini akibat dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme sekuler. Sistem sekuler ini memisahkan agama dari kehidupan termasuk menjauhkan peran agama dari pemerintahan. Karenanya sistem ini terbukti telah gagal melahirkan pejabat/aparat yang shaleh dan bertakwa. Pejabat dalam sistem demokrasi ini menjadikan orientasi jabatan/pemerintah adalah kekuasaan untuk meraih materi semata bukan untuk mengurusi dan melayani rakyat. Para pejabat lebih berorientasi untuk mengembalikan modal politik dan mempertahankan kursi/jabatannya hingga 2 periode, karena cost (biaya) politik untuk menjadi pejabat dalam sistem demokrasi sangat mahal.
Jika modal politik dari ‘bantuan’ pengusaha/korporasi maka setelah menjabat, yang harus dilakukan adalah politik balas budi dengan memuluskan usaha dan proyek yang menguntungkan bagi korporasi/oligarki. Kepentingan rakyat hanya menjadi alibi.
Kondisi di atas tidak akan terjadi jika negeri ini mau menerapkan sistem hidup sesuai dengan aturan Islam. Islam mempunyai solusi tuntas mengatasi seluruh persoalan hidup manusia termasuk persoalan mengelola pemerintahan dan pemberantasan korupsi.
Islam menjadikan akidah sebagai landasan dalam setiap aktivitas, termasuk dalam jajaran pejabat dan aparat/pegawai pemerintahan. Islam juga memiliki sistem yang komprehensif dalam pencegahan tindakan kriminal termasuk tindak korupsi/penyalahgunaan jabatan dan sanksi yang memberi efek jera.
Dalam sistem Islam, pencegahan dan pemberantasan korupsi dilakukan dengan cara prepentif dan kuratif. Secara prepentif melalui penegakkan pilar penting dengan menggunakan sistem pengawasan yang ketat (waskat). Pertama: pengawasan dengan kontrol kesadaran/ketakwaan individu. Kedua, pengawasan dari lembaga/masyarakat, dan ketiga, pengawasan/penegakkan hukum (sistem sanksi) yang tegas oleh negara.
Dengan sistem pengawasan ekstra ketat seperti ini akan membuat peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil. Disamping itu, kesadaran ruhiah yang lahir dari keimanan yang kuat ketika menjalankan hukum-hukum Islam, dan budaya amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat menjadi penguat upaya mencegah tindakan korupsi
Dalam Islam tindakan kuratif, pemberantasan korupsi dilakukan dengan jalan negara (khilafah) memberlakukan sistem sanksi (uqubat) dengan menerapkan seperangkat hukuman pidana yang keras dan tegas tanpa pandang bulu. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi dan pencegah bagi calon pelaku, sehingga tidak ikut melakukan tindakan korupsi. Sistem sanksi yang berupa ta’zir yang didasarkan pada hasil ijtihad khalifah/qodli. Koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, atau bisa dengan ditayangkan di televisi seperti yang dilakukan sekarang), penyitaan harta dan hukuman penjara, bahkan sampai hukuman mati.
Sistem sanksi dalam Islam ini berfungsi sebagai pencegah (zawajir) sekaligus penebus dosa (jawabir) bagi para pelaku. sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem demokrasi sekuler yang diterapkan sekarang.
Negara dalam Islam (khilafah) juga sangat memperhatikan kesejahteraan para aparat/pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan secara layak dan bisa hidup sejahtera. Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, tentunya hal ini akan cukup menekan terjadinya tindakan korupsi.
Kemudian, untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pejabat/aparat, sistem Islam juga melakukan penghitungan harta kekayaan. Pada masa kekhilafahan Umar Bin khathab, hal ini rutin dilakukan. Beliau selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubernur dan Amil.
Sedangkan dalam upayanya untuk menghindari terjadinya kasus suap dengai berbagai modusnya, sistem Islam melarang pejabat dan aparat/pegawai negara untuk menerima hadiah/pemberian di luar gaji. Pendapatan yang di terima pejabat/pegawai diluar gaji, salah satunya adalah yang berupa hadiah adalah perolehan yang diharamkan. Pada masa sekarang ini banyak pejabat dan aparat/pegawai, ketika mereka melaporkan harta kekayaanya, kemudian banyak ditemukan harta yang tidak wajar, mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah/hadiah. Kasus seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam.
Islam menjadikan negara sebagai pengurus rakyat dalam berbagai aspek kehidupan. Negara Islam juga memiliki aparat yang handal, professional dan tentu saja amanah dan beriman. Aparat seperti ini adalah buah dari penerapan sistem pendidikan berdasarkan aqidah islam dan sistem sanksi serta sistem lainnya yang juga berdasarkan Islam.
Islam melarang pencitraan dan menjunjung tinggi kejujuran. Adanya pertanggungjawaban kepada Allah menjadikan penunaian semua Amanah oleh para pejabat/aparat pemerintah yang dijalankan dengan sebaik- baiknya dan secara professional.
Dengan sistem politik dan pemerintahan Islam (khilafah), pemerintah betul-betul berperan sebagai pengurus/pelayan rakyat (raa’in) dan melindungi kepentingan seluruh rakyat (junnah) bukan pelayan kepentingan korporasi/oligarki seperti dalam sistem demokrasi sekarang.
Wallahu a’lam bishshawab