Berulangnya Kebakaran Lahan, Refleksi Buruknya Pengelolaan Lahan ala Kapitalisme


Oleh Mahrita Julia Hapsari

(Aktivis Muslimah Banua)

Kebakaran lahan di Kalimantan Selatan (Kalsel) pada tahun 2024 telah mencapai lebih dari 100 hektar, sebagian besar terjadi di Banjar Baru, tepatnya di lahan kosong yang pemiliknya belum diketahui secara pasti. Menurut pemberitaan Radar Banjarmasin, kebakaran ini diduga sengaja dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab yang menganggap pembakaran sebagai metode paling murah untuk membuka lahan. Ironisnya, pemerintah hanya bertindak setelah kebakaran terjadi, tanpa adanya tindakan preventif maupun sanksi tegas bagi para pelaku. Hal ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum di tengah meningkatnya kebutuhan lahan untuk kepentingan ekonomi.

Alasan di balik kebakaran lahan di Kalsel umumnya melibatkan faktor ekonomi dan efisiensi dalam pembukaan lahan, terutama pada wilayah dengan potensi pertanian atau perkebunan tinggi. Pembakaran dianggap lebih murah dan mudah daripada metode pembukaan lahan lain, meski berisiko tinggi terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sekitar 99% dari kebakaran lahan di Indonesia disebabkan oleh aktivitas manusia, bukan oleh fenomena alam seperti petir, yang lebih umum di wilayah subtropis.

Tingginya frekuensi kebakaran lahan juga dipengaruhi oleh lemahnya penegakan hukum. Meskipun pemerintah menyediakan bantuan, seperti penggunaan helikopter dan modifikasi cuaca untuk menekan dampak karhutla, tindakan preventif dan sanksi tegas untuk mencegah pembakaran lahan belum optimal. Sering kali, pemilik lahan yang melakukan pembakaran untuk membuka lahan tidak dikenai sanksi yang signifikan, sehingga perilaku ini cenderung berulang.

Pembakaran lahan secara sengaja adalah perbuatan yang tidak bertanggung jawab, apalagi jika dilakukan tanpa memikirkan dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. Dalam perspektif kapitalisme yang liberal, pemilik lahan merasa bebas untuk melakukan apa saja terhadap properti miliknya, termasuk melakukan pembakaran. Sistem ini menjamin kebebasan individu tanpa batas. Siapapun berhak melakukan apapun selama dia suka, termasuk membakar lahan.

Di sisi lain, masyarakat yang individualis pun terbentuk dari sistem kapitalisme ini. Cirinya, mereka hanya mementingkan diri sendiri dan tak peduli pada orang lain termasuk lingkungan. Tak ada dorongan untuk mengajak orang lain berbuat kebaikan dan mencegah kerusakan. 

Dari sisi individu dan masyarakat sudah sedemikian abai, diperparah lagi dengan penerapan sanksi yang buruk oleh negara. Sistem liberal kapitalisme tegak di atas asas sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Asas ini menempatkan manusia sebagai pembuat aturan hidup yang relatif, termasuk dalam penentuan sanksi. Sistem hukum seperti ini kerap kali tidak efektif memberi efek jera karena terlalu longgar dan sarat dengan kepentingan individu maupun ekonomi.

Sebaliknya, dalam sistem Islam, pengelolaan lahan memiliki aturan yang tegas dan berorientasi pada kemaslahatan bersama. Dalam kitab Nizhamul Iqtishodi fii Al-Islam karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, dijelaskan bahwa individu yang memiliki lahan wajib mengelolanya hingga bermanfaat bagi dirinya serta orang lain. Berdasarkan ijma’ sahabat, jika lahan dibiarkan kosong atau tidak dikelola selama tiga tahun berturut-turut, maka negara berhak mengambil alih dan menyerahkan kepada yang mampu mengelolanya. Hal ini sesuai dengan prinsip dalam Islam untuk tidak menyia-nyiakan lahan, seperti yang terkandung dalam hadis Rasulullah Saw., “Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya” (HR. Abu Daud). Hadist ini menegaskan pentingnya pemanfaatan lahan yang produktif demi kesejahteraan bersama.

Sistem Islam yang berbasis akidah Islam, selain mencetak individu yang bertakwa juga membentuk masyarakat yang khas. Masyarakat di sistem Islam akan saling menjaga ketaatan pada Rabb-nya dengan saling menasehati, saling beramar makruf nahi mungkar. Mereka akan berlomba-lomba dalam kebaikan dan ketakwaan, bukan dalam dosa dan kerusakan.

Lebih lanjut, Islam memiliki sanksi tegas bagi para pelaku pembakar lahan. Dalam syariat Islam, tindakan yang membahayakan lingkungan hidup dan merugikan orang lain merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya” (QS. Al-A’raf: 56). Ayat ini mengingatkan agar manusia menjaga dan merawat lingkungan dengan sebaik-baiknya, termasuk dengan tidak melakukan pembakaran lahan yang dapat menyebabkan kerusakan dan kerugian besar bagi masyarakat.

Dengan demikian, kebakaran lahan di Kalsel adalah problem sistemik. Buah penerapan sistem liberal kapitalisme, baik dari sisi individu, masyarakat maupun negara. Demi menghentikan siklus berulangnya kebakaran lahan, diperlukan penerapan sistem Islam yang menjamin ketaatan individu dalam menjaga lingkungan, kepedulian masyarakat dan penerapan hukum yang tegas dari negara. Wallahu a'lam

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel