Miris! Ayah Jual Anak Demi Judi Online


_Oleh: Vina A. Nabilah,  Aktivis Dakwah dan Pegiat Literasi_

Seorang ayah di Tanggerang berinisial RA (36) ditangkap polisi lantaran tega menjual bayinya yang berusia 11 bulan senilai 15 juta. Transaksi tersebut terjadi setelah RA menemukan sebuah unggahan di akun facebook mengenai permintaan pembelian anak oleh sepasang suami istri. Motif dari kasus penjualan bayi tersebut dilakukan sang Ayah lantaran terlibat permainan judi online (CNN, 07/10/2024)


Judi online tak pernah surut, pasalnya Pusat pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan jumlah warga RI pemain judi online menembus angka 3,2 juta. PPATK juga mencatat perputaran uang judi online yang terakumulasi telah menembus Rp600 triliun pada kuartal 1 tahun 2024 (CNBC, 15/06/2024).


Besarnya keterlibatan rakyat Indonesia dalam judi online hari ini sangatlah memprihatinkan. Seperti sebuah candu, sebagaimana disampaikan oleh Psikolog Meity Ariyanti M.Psi, bahwa kemenangan yang didapatkan oleh para pemain dapat menstimulus otak untuk melepaskan dopamin yang dapat memunculkan sensasi senang (IDX Channel.com, 17/06/2024). 


Melihat adanya kasus penjualan bayi oleh seorang ayah demi judi online ini  merupakan wujud nyata atas kerusakan moral dan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan yang terjadi di tengah masyarakat. 


Menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa begitu banyak orang dapat dengan mudah terjerat judi online?


Jika ditelisik lebih dalam, maka dapat ditemukan bahwasannya salah satu alasan mendasar keterlibatan individu dalam judi online adalah karena keinginan untuk mendapatkan uang secara instan di era ketidakpastian ekonomi dan kompleksitas masalah hidup yang sedang terjadi saat ini. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari sistem ekonomi yang berjalan saat ini, dimana sistem ekonomi memainkan peran dalam menciptakan kondisi yang memicu banyak orang untuk mencari solusi instan melalui judi online.


*Masalah Sistemik dalam Kapitalisme*


Dalam konteks ini, kita melihat bagaimana sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan saat ini berkontribusi besar terhadap kemunculan fenomena judi online yang masif. Kapitalisme memandang bahwasannya kesejahteraan materi dan keuntungan adalah tujuan utama dalam segala aktivitasnya, hal tersebut tentu berpotensi mengakibatkan jurang ketimpangan ekonomi yang besar. 


Di lain sisi, sebagian besar masyarakat menghadapi kesulitan ekonomi bahkan kemiskinan struktural, sementara solusi-solusi cepat yang muncul seperti judi online, justru begitu masif  dipromosikan melalui kemudahan akses teknologi yang terbuka lebar tanpa diiringi pengawasan ketat. Kondisi tersebut tentunya menciptakan celah bagi perilaku berbahaya seperti berjudi untuk berkembang.


*Butuh Solusi Tepat*


Langkah pemerintah untuk memutusan akses ataupun pemblokiran pada akun-akun judi online nyatanya tak menyurutkan para pemain untuk membuat situs ataupun akun baru. Pasalnya, dilansir dari CNBC (15/06/2024), MUI menilai, penindakan hukum harus holistik, tidak tebang pilih. Hal ini dikarenakan terdapat platform digital judi online yang masih bergerak namun dikemas dalam bentuk permainan. 


*Lantas bagaimana solusi yang tepat untuk persoalan judi online?*

Sebagai seorang muslim, semestinya menjadikan halal haram sebagai standar perbuatan. Negara sebagai raa’in dan perisai umat sudah semestinya memberantas secara tuntas dengan beragam mekanisme yang dipadukan oleh Islam dalam semua aspek kehidupan dan upaya-upaya yang menyentuh akar masalah. 

Berkaitan dengan aktivitas judi, Islam secara tegas menetapkan bahwa judi adalah perkara yang diharamkan. Allah ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah:90).


Allah ta’ala juga berfirman:

Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.’ Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, ‘Kelebihan (dari apa yang diperlukan).’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan.” (QS Al-Baqarah: 219).

Merenungi ayat tersebut, kita mendapati fakta bahwasannya kehidupan sekuler atau memisahkan agama dari kehidupan lah yang menyebabkan manusia memiliki standar perbuatan yang hanya bersandar pada asas manfaat semata. Maka tak heran jika pelarangan aktivitas judi hanya disandarkan pada dampak kerusakan yang diperoleh bukan pada standar halal dan haram. Sebagai seorang muslim, segala perbuatan harusnya terikat dengan syariat Islam.  

Islam menyerukan bahwasannya perlu adanya masyarakat yang senantiasa melakukan amar makruf nahi munkar. Segala perilaku kemaksiatan tidak boleh ditoleransi atas dasar asas manfaat. 

Selain itu, negara memiliki andil yang sangat besar dalam memberantas persoalan judi online. Seperti halnya menerapkan sistem pendidikan Islam yang akan mencetak lulusannya memiliki pola pikir dan pola sikap sesuai arahan Islam. 

Negara sebagai perisai umat dalam sistem Islam akan menutup semua akses judi online dan melarang segala konten yang beredar jika memuat keharaman di dalamnya. Negara akan memberikan sanksi pidana yang mampu memberi efek jera bagi tiap pelaku seperti halnya ta’zir yang diputuskan oleh qadhi, disamping itu juga menjamin kebutuhan pokok masyarakatnya sebagai langkah preventif terhindar dari aktivitas perjudian. Begitulah Islam hadir menjadi solusi dan menjaga kehidupan manusia. Hal tersebut hanya akan terwujud dalam negara yang menerapkan Islam Kaffah. 


Wallahu a’lam bishawab

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel