Listrik Tidak Merata, Kemaslahatan Rakyat Terabaikan

 


Oleh : Rini

Peringatan Hari Listrik Nasional (HLN) diperingati setiap tahun pada tanggal 27 Oktober 2024. Tujuan hari nasional ini untuk memperingati sejarah kehadiran perusahaan listrik di Indonesia sejak tahun 1945. Hari Listrik Nasional (HLN) 2024 adalah peringatan yang ke-79. Listrik merupakan kebutuhan utama bagi wilayah yang perekonomiannya sedang tumbuh, meningkatnya kebutuhan pasokan energi listrik bagi masyarakat yang akan terus meningkat seiring berjalannya waktu.


Namun Sebuah fakta baru diungkapkan langsung oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman P Hutajulu, yang mengatakan bahwa sampai triwulan I 2024 masih ada 112 desa/kelurahan yang belum teraliri listrik. Jumlah ini turun dari akhir 2023 yang masih sebanyak 140 desa/kelurahan yang semuanya terletak di Papua belum mendapat aliran listrik (www.kompasiana.com, 28/11/2024)  


Berdasarkan keterangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, konsumsi listrik per kapita Indonesia konsisten meningkat sejak 2017. Pada 2023, konsumsi listrik masyarakat menyentuh 1.337 kWh (kilowatt-hour) per kapita, tipis melebihi target yang sebesar 1.336 kWh/kapita. Capaian tersebut tumbuh sebanyak 13,98% dibandingkan realisasi 2022 yang sebesar 1.173 kWh/kapita. 


Seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat akan listrik, pemerintah pun terus berupaya untuk mencapai target rasio elektrifikasi 100 persen di akhir tahun ini. Upaya ini antara lain, dengan perluasan jaringan (grid extension) untuk melistriki desa-desa yang dekat dengan jaringan distribusi eksisting. Selanjutnya melalui pembangunan minigrid untuk melistriki desa-desa yang sulit dijangkau perluasan jaringan listrik PLN dan khususnya rumah tangga belum berlistrik yang bermukim di daerah 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal) (www.mediaindonesia.com, 27/10/2024)


Tak hanya itu, bentuk upaya pemerintah lainnya adalah menggunakan pembangkit Energi Baru dan Terbarukan (EBT), Stasiun Pengisian Energi Listrik (SPEL) dan Alat Pengisian Daya Listrik (APDAL) di desa-desa yang memiliki pemukiman tersebar dan tidak memungkinkan untuk dibangun jaringan listrik.


Kendati telah banyaknya usaha yang dilakukan, tetap saja fakta ini menjadi kenyataan yang cukup menyakitkan. Bagaimana mungkin negeri ini masih menghadapi masalah klasik, yaitu pemerataan fasilitas dan layanan publik di daerah pelosok atau terpencil pada era yang sudah serba digital? Padahal seyogyanya listrik telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat. 


Liberalisali listrik di Nusantara 


Persoalan listrik ini sendiri adalah masalah klasik. Namun pemarataannya tidak terasa hingga ke daerah- daerah tertinggal. Ini terjadi karena hajat hidup publik seperti energi listrik telah diliberalisasi sedemikian rupa menjadi layanan berbayar alias tidak gratis. Sejak tahun 2000-an, liberalisasi sektor energi listrik mulai dilakukan dengan banyak bekerja sama dengan pihak swasta. Pada tahun 1990-an, banyak independent power producer (IPP) berdiri melalui perjanjian jual beli listrik, juga dikenal sebagai  power purchase agreement (PPA).


Liberasasi listrik makin jelas dengan terbitnya UU 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Dengan UU ini, pemerintah menggandeng swasta untuk membuat pembangkit listrik dalam mempercepat pemerataan listrik di seluruh wilayah Indonesia. Terbitnya UU ini memberikan keleluasan kepada perusahaan swasta atau asing untuk berperan sebagai penyedia energi listrik berdampingan dengan negara sebagai penyuplai.  


Tentu saja pihak swasta memikirkan keuntungan yang lebih besar, mengingat biaya untuk membuat pembangkit listrik ini tidak murah. Pada akhirnya IPP hanya ingin berinvestasi dengan membangun pembangkit listrik di daerah yang menjadi pusat pasokan listrik, seperti Sumatra dan Jawa. Maka daerah terluar sumatra dan jawa terlebih daerah pelosok seperti Papua dianggap tidak menguntungkan bagi perusahaan pembangkit listrik dari segi infrastruktur dan ekonomi. Investor tidak tertarik membangun pembangkit listrik di daerah pelosok atau terpencil.


Pangkal dari skema kerja sama ini memaksa PLN selaku BUMN mesti membeli listrik kepada IPP sebagai perusahaan pembangkit listrik swasta dengan harga berlipat. Imbasnya biaya listrik menjadi mahal dan masyarakat makin terbebani. 


Proyek liberalisasi listrik ini makin menjadi setelah hadirnya power wheeling yang berkaitan dalam pembahasan tentang RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). Proyek EBET ini menuai pro dan kontra karena cenderung akan lebih menguntungkan kepada pihak swasta saja. 


Sebagai informasi, power wheeling merupakan mekanisme transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara atau PLN dengan memanfaatkan jaringan transmisi dan distribusi PLN. Bahkan, skema ini bisa menciptakan mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) yang memungkinkan pihak swasta dan negara menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir. Hal ini makin membuktikan bahwa kebutuhan listrik yang seharusnya menjadi kebutuhan utama masyarakat justru hanya menjadi barang jualan negara. 


Selain tidak meratanya pasokan listrik, kenaikan Tarif Dasar Listrik adalah salah satu imbas dari pengelolaan listrik oleh pihak swasta termasuk bahan bakar batu bara (PLTU). Begitu pun dengan PLTD yang berbahan bakar solar dan PLTG yang berbahan bakar gas alam. Pada kenyataannya, kepemilikan minyak bumi dan gas di negeri ini pun hampir keseluruhannya dimiliki asing. Inilah yang menyebabkan harga listrik begitu mahal sebab bahan bakarnya hampir semua bukan milik negara.


Tata Kelola Listrik dalam Islam


Indonesia merupakan negara dengan cadangan batubara terbesar ke-7 di dunia. Menurut BP Statistical Review 2021, cadangan batubara Indonesia mencapai 34,87 miliar ton. Batu bara merupakan sumber energi utama dan bahan baku industri yang penting bagi Indonesia termasuk dalam hal ini adalah listrik. 


Melimpahnya pasokan Sumber daya alam semestinya menjadikan pemerataan pasokan listrik menjadi merata keseluruh pelosok bahkan menjadikan tarif dasar listrik murah bahkan gratis dinikmati oleh semua kalangan. Namun akibat liberalisasi energi menjadikan Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator yang kerap berat sebelah. 


Listrik mahal dan tidak merata adalah hal yang wajar ketika pengelolaannya berada ditangan para kapitalistik dengan kebijakan zalimnya. Negara tak bisa menjadi raa’in (pengurus) umat. Di dalam istem pemerintahan Islam yang menjadikan fungsi negara sebagai pengurus sekaligus pelindung umat. Seluruh kebutuhan umat diurusi oleh negara termasuk persoalan pengelolaan listrik. Persoalan listrik ini dapat teratasi dengan melihat dua sisi: pengelolaan dan distribusi. 


Pertama, terkait pengelolaan sumber daya energi yang dimana aturan kepemilikannya tidak dibebaskan. Kepemilikan dibagi menjadi tiga, yaitu individu, umum, dan negara. 


 Adapun SDA melimpah, seperti minyak bumi, gas dan batu bara, merupakan milik umum dan pihak swasta tidak di bolehkan untuk mengurusi terlebih mengelola. 

Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api.”(HR Abu Dawud dan Ahmad). 


Listrik menghasilkan aliran energi panas (api) yang dapat menyalakan barang elektronik. Dalam hal ini, listrik termasuk kategori “api” yang disebutkan dalam hadis Rassul terkait pengelolaan Sumber daya alam diatas. Maka dengan pengelolaan SDA yang jelas ini maka negara akan mudah untuk mengelolanya dan dapat dirasakan ke seluruh sektor. Pengelolaannya pun mencakup dengan membangun sarana dan fasilitas pembangkit listrik yang memadai dan  melakukan eksplorasi bahan bakar listrik secara mandiri. 


Kedua, terkait distribusi energi listrik. Distribusi energi listrik harusnya menjadi hal pokok yang dinikmati oleh rakyatnya. Negara akan mendistribusikan pasokan listrik kepada rakyat dengan harga murah. Tanpa listrik, kehidupan hari ini akan banyak yang tidak bisa terealisasi dengan baik. Perihal mengambil keuntungan pengelolaan sumber energi listrik atau lainnya akan diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, sandang, pangan, dan papan.


Dengan pengelolaan sumber energi listrik yang jelas berdasarkan syariat Islam, sudah barang jelas Rakyat pun akan terpenuhi kebutuhan listriknya untuk keperluan sehari-hari. Tak seperti saat ini dimana tarif dasar listrik yang makin meningkat dan pemerataan energi listrik yang tidak merata, kesemuaanya adalah imbas diterapkannya liberalisasi energi yang dikukuhkan oleh negara kapitalis.  


 Hal itu hanya bisa terjadi jika negara mengambil Islam sebagai aturan yang sempurna. Untuk itulah Kaum muslim harus berjuang bersama-sama dengan energi penuh untuk keluar dari belenggu sekularisme dan kembali kepada Islam. Wallahualam bissawab.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel