MAFIA PAGAR LAUT BUKTI MAKIN ERATNYA CENGKRAMAN KORPORATOKRASI
Oleh : Ummu Afra
(Pengamat Sosial, Politik dan Lingkungan)
Pagar laut yang membentang sekitar 30 km di perairan Tangerang merupakan tindakan illegal karena laut seharusnya milik publik yang bisa diakses oleh siapa saja. Ini menjadi bukti kuatnya cengkraman korporasi di negeri ini.
Dilansir dari BBC.com (30/1/20250), warga dan kelompok advokasi memberi kesaksian bahwa sejak Juli 2024 telah mengetahui deretan pagar bambu yang berdiri di perairan Kabupaten Tangerang. Namun setelah viral di media sosial, pemerintah baru mencabut pagar tersebut.
Ketua Front Kebangkitan Petani dan Nelayan, Heri Amrin Fasa, mengatakan bahwa pada September 2024 kelompok nelayan tradisional telah menemukan deretan pagar bambu di perairan Kabupaten Tangerang. Kemudian mereka mengadu ke Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten. Selain telah menyulitkan mereka melaut, kelompok nelayan juga cemas jika pagar dan petak-petak itu didirikan untuk proyek reklamasi. Pejabat dinas saat itu hanya menyebut pagar bambu itu didirikan tanpa izin, tetapi mereka mengklaim tidak berwenang mencabutnya. Merasa tidak menemukan solusi dari DKP, Heri dan kelompok nelayan lantas mengadu ke Ombudsman di Jakarta. Langkah itu yang belakangan membuat persoalan ini viral dan ramai dibicarakan publik.
Dari hasil pertemuan dengan sejumlah stakeholder, Heri menyimpulkan bahwa pejabat DKP, ATR /BPN (Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional), kelurahan, bahkan semua aparatur negara diam sebelum isu ini mencuat. Sedangkan pagar laut itu jelas ilegal, sangat kasat mata, dan bukan barang kecil.
MAFIA PAGAR LAUT
Kasus pagar laut ini sejatinya sudah jelas ada pelanggaran hukum, namun tidak segera ditindaklanjuti dan dibawa dalam aspek pidana. Bahkan nampak adanya beberapa pihak yang dijadikan kambing hitam, namun otaknya tidak tersentuh oleh hukum. Para pejabat pun sibuk bersilat lidah dan berlepas tangan.
Ternyata kasus pagar laut tidak hanya terjadi di Tangerang. Pagar laut juga ditemukan di daerah lain, seperti Bekasi, Surabaya, Bali, dan Makassar. Namun, mencermati hasil pertemuan kelompok nelayan Tangerang dengan pejabat terkait tadi, diduga kuat latar belakang pembangunan maupun pelaku di balik keberadaan pagar laut itu juga sama.
Khusus kasus pagar laut di Tangerang, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Pung Nugroho Saksono mengatakan, pemagaran laut tersebut ilegal jika merujuk izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Sebab pagar tersebut berada di Zona Perikanan Tangkap dan Zona Pengelolaan Energi yang diatur Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang DKP Provinsi Banten 2/2023. Selain itu, menurutnya, pemagaran juga tidak sesuai dengan praktik internasional di United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Alasannya, keberadaan pagar laut itu berpotensi menimbulkan kerugian bagi nelayan dan merusak ekosistem pesisir.
Sayang, meski kasus pagar laut di sejumlah daerah itu menunjukkan adanya pelanggaran hukum, kasus ini tidak segera ditindaklanjuti dan dibawa ke ranah pidana. Andai tidak viral, pemerintah seolah-olah membiarkan dan malah mengkambinghitamkan pihak lain.
KUATNYA CENGKRAMAN KORPORATOKRASI
Sebagaimana kasus penjualan area pesisir laut di berbagai pulau di Indonesia, kasus pagar laut ini menunjukkan kuatnya korporasi dalam lingkaran kekuasaan, atau yang disebut dengan istilah korporatokrasi. Para korporat super kaya mengalahkan negara, bahkan aparat/pegawai negara menjadi fasilitator kejahatan terhadap rakyat. Mereka bekerja sama melanggar hukum negara membawa kemudharatan buat rakyat dan mengancam kedaulatan negara. Korporatokrasi bisa terjadi pada sistem ekonomi kapitalisme yang dengan prinsip liberalisme menghasilkan aturan yang berpihak pada korporat.
Hingga kini otak pelaku pemagaran laut di Tangerang masih belum tersentuh oleh hukum, meski pelanggaran hukum sudah jelas. Fenomena hari ini hukum sering dikalahkan oleh kekuatan uang dan koneksi “orang dalam. Sehingga pejabat dari pusat, daerah, hingga kelurahan hanya sibuk saling melempar tanggung jawab, bersilat lidah, dan berlepas tangan. Alih-alih menjalankan tugas jabatannya dengan amanah, mereka malah menjadi agen para kapitalis untuk menyengsarakan rakyat.
Kasus pagar laut di Tangerang yang diduga menjadi bagian dari proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) hanya salah satu contoh praktik korporatokrasi. Pembangunan PIK 2 telah dinyatakan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Mengutip Katadata (24-3-2024), Jokowi menetapkan Pengembangan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) menjadi PSN, bersamaan dengan Kawasan Terpadu Bumi Serpong Damai (BSD). PSN di PIK 2 tentu saja hanya memihak kaum berduit. Pasalnya, sudah jamak dikenal bahwa PIK (PIK 1 dan PIK 2) adalah kawasan elite, tidak hanya dari sisi penghuni, tetapi juga pihak pengembangnya (developer). PIK 1 dan PIK 2 diketahui dibangun oleh Agung Sedayu Group dan Salim Group. PIK 2 bahkan digadang-gadang sebagai pengembangan besar yang menghubungkan Indonesia dengan negara di seluruh dunia. Ini karena PIK 2 dibangun sebagai waterfront city yang didesain berkelas dunia, juga smart city yang didesain dengan teknologi modern sekaligus pengembangan properti dengan peluang investasi yang menjanjikan.
Dari nama pembangunnya, kita sudah sejak dahulu mengenalnya sebagai jejaring konglomerat taipan di Indonesia. Selain memihak para kapitalis, PSN di PIK 2 jelas proyek titipan mereka. Dengan kata lain, daya gunanya mustahil untuk masyarakat luas, kendati judul proyeknya menggunakan embel-embel “nasional”. Namun sebaliknya, semua itu tidak ubahnya proyek dengan modal dari taipan, dibangun oleh taipan, dan untuk kawan-kawan taipan.
PENGATURAN LAUT DALAM SISTEM ISLAM
Islam memiliki sistem ekonomi Islam dengan konsep kepemilikan lengkap dengan aturan pengelolaannya. Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, Islam mengakui adanya harta milik umum dan memandang air, termasuk laut, sebagai nikmat Allah yang menjadi kepemilikan umum. Dan penguasa di dalam Islam dilarang menyentuh/mengambil harta milik umum dengan alasan apa pun. Sedang Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah menjelaskan bahwa harta yang keadaan asalnya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya, terkategori milik umum.
Hal tersebut diperkuat dengan beberapa Hadits berikut ini:
"Tiga hal yang tidak dapat dimiliki oleh individu: air, api, dan padang rumput."(HR. Ibn Majah)
"Air adalah hak milik umum, tidak ada hak milik individu atasnya." (HR. Al-Bukhari)
Berdasarkan hal tersebut laut terkategori milik umum bagi seluruh rakyat. Tidak boleh ada individu (perorangan maupun korporasi) yang memiliki laut. Demikian pula, tidak boleh ada individu yang menguasai/memagari laut. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.”
Selain itu dalam sistem Islam, negara atau pemerintah berfungsi sebagai raa'in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyat. Hal tersebut akan terwujud ketika aturan bersumber pada hukum syara’ dan bukan pada akal manusia. Rasulullah SAW bersabda:
“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”(HR Bukhari).
“Sesungguhnya imam (khalifah) itu junnah (perisai), (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam rangka mengurus urusan rakyat itu, negara Islam (Khilafah) akan menerapkan tata aturan menurut syariat Islam kafah. Khilafah adalah negara mandiri dan bebas dari kepentingan tertentu. Khilafah tidak tunduk kepada manusia, alih-alih para kapitalis, melainkan hanya tunduk kepada aturan Allah dan Rasul-Nya karena kedaulatan hanya ada di tangan hukum syara’. Dengan ini, pengaruh gurita kepentingan seperti taipan maupun kapitalis lainnya sebagaimana dalam korporatokrasi bisa dicegah. Apalagi Islam menetapkan penguasa wajib menjalankan aturan Islam saja, dan haram menyentuh harta rakyat atau memfasilitasi pihak lain mengambil harta miliki rakyat.
Wallahu a’lam bishshawab.