Kapitalisasi Ibadah Haji dan Solusi Islam sebagai Pengurus Rakyat
Oleh: Sarah Fauziah Hartono
Pemerintah Indonesia berupaya menurunkan besaran Ongkos Naik Haji (ONH) dengan berbagai program, termasuk melobi pemerintah Arab Saudi, membangun kampung Indonesia di Tanah Suci, serta memindahkan pengelolaan dana haji ke Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), (cnnindonesia.com, 06/05/2025).
Melalui BPKH, dana ONH yang dibayarkan masyarakat akan dikelola dengan pendekatan investasi yang lebih cerdas untuk menghasilkan keuntungan yang diklaim dapat meringankan biaya haji (cnnindonesia, 06/05/2025).
Namun, langkah ini justru malah menunjukkan ke arah kebijakan yang semakin berorientasi pada bisnis, bukan pelayanan ibadah.
Tingginya ONH sesungguhnya tidak lepas dari pengelolaan haji yang tidak profesional. Proses administrasi yang berbelit dan teknis pelaksanaan yang tidak efisien menjadi beban tersendiri bagi jamaah.
Di balik upaya penurunan biaya, pemindahan pengelolaan ke BPKH memperjelas bahwa negara menjadikan ibadah haji sebagai objek kapitalisasi.
Rakyat dibebani skema bisnis, di mana niat beribadah menjadi peluang investasi, dan ini menandai pergeseran peran negara dari pengurus rakyat menjadi pedagang yang mencari untung dari rakyatnya.
Inilah buah dari sistem kapitalisme yang menjangkiti pengelolaan urusan umat. Dalam sistem ini, negara tidak lagi fokus mengurusi kebutuhan rakyat, melainkan menjadi pemain dalam pasar bebas, termasuk dalam hal yang sakral seperti ibadah.
Kapitalisme mengikis nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual dalam pelayanan negara, menggantinya dengan logika untung-rugi.
Sebaliknya, dalam Islam, negara berkewajiban menjadi raa’in, yaitu pengurus dan pelayan urusan umat. Penguasa dalam sistem Islam bertanggung jawab penuh untuk mempermudah akses rakyat dalam menunaikan ibadah, termasuk haji.
Dalam naungan Khilafah, urusan haji akan dikelola secara serius sebagai amanah, bukan komoditas. Prosesnya akan dibuat sederhana, cepat, dan ditangani oleh orang-orang yang profesional dan amanah.
Sistem Islam menempatkan pelayanan terhadap rakyat sebagai prioritas, bukan sekadar proyek bisnis. Inilah solusi hakiki untuk mengembalikan fungsi negara sebagaimana mestinya: melayani, bukan menjual.