Logo Merdeka: Potret Haru Dunia Pendidikan.
Indriani, S.Pd
(Praktisi Pendidikan, Ngaglik, DIY)
Baru-baru ini warganet dibuat haru dengan tiga siswa SDN 084 Amballong, Desa Emboatana, Kecamatan Seko, Luwu Utawa, Sulawesi Selatan yang bermain saat waktu belajar akan dibuka (13/08/2025). Kondisi sekolah tersebut mewakili potret haru dunia pendidikan berwajah Indonesia merdeka 80 tahun lamanya. Salah seorang pengajar, sebut saja Leonard Pepa tengah mengajar di ruang kelas yang berlantai tanah dan berdinding papan, jauh dari kata layak, dinding mulai rusak, papan tulis kayu di bagian depan sudah tua, ada dua bagian bolong tepat di tengah. Akses jalanpun hanya tanah, tidak ada aspal. Sehingga, untuk menjangkau dari desa-desa hanya kendaraan roda dua yang memungkinkan. Kendaraan pun didesain modifikasi untuk bisa diakses melewati jalur ekstrem berupa kubangan lumpur, tanah becek, mendaki, menurun, hingga melewati sungai. Beberapa akses jembatan juga sangat kecil dan mulai lapuk (kompas.id, 15/08/2025).
Pendidikan adalah jantung negara. Pada peringatan 80 tahun kemerdekaan RI disampaikan visi Indonesia Emas 2045 adalah cita-cita besar bangsa Indonesia untuk menjadi negara maju, berdaulat, dan berkelanjutan pada tahun 2045. Namun, layakkah Indonesia menyandang visi tersebut sebagai barometer 10 tahun ke depan dengan kualitas pendidikan baik secara fasilitas, akses pendidikan, mutu kurikulum, yang memprihatinkan? Belum bicara gaji guru yang sebagaimana zaman perbudakan di kota Athena, cikal bakalnya lahirnya sistem demokrasi, secara sistemik diminimkan dan dipaksa mengajar anak-anak dari penguasa yang kapitalis.
Pendidikan di wilayah penganut paham demokrasi memberikan ruang pendidikan politik dengan parameter merata, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak dan kewajiban demokrasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "merata" memiliki beberapa makna, yaitu: rata, datar, atau tersebar luas ke seluruh bagian. Selain itu, "merata" juga bisa berarti tetap atau mantap. Namun, Secara teori dan aplikasi di lapangan dikatakan “zonk/ tidak sinkron.”
Bicara masalah sistem jadul dan rusak demokrasi, sangat melelahkan. Sistem tersebut secara teori sudah rusak, apalagi diaplikasikan. Beda halnya dengan sistem Islam berikut dengan tatanan struktur daulah yang sangat memprioritaskan pendidikan, sebagaimana disebutkan dalam HR. Ibnu Majah “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.”
Struktur Daulah Islam sangat memperhatikan aspek dan fasilitas pendidikan. Anggarannya masuk dalam pos APBN dari kas baitulmal, baik dari kurikulum, pembangunan infrastruktur, laboratorium, perpustakaan, akses pemerataan pendidikan, maupun gaji guru. Mengacu dari hadits tersebut, negara lah yang memang bertanggungjawab penuh akan penyelenggaraan pendidikan, serta menjadikan generasi dan para guru memiliki tanggungjawab akan keberlangsungan pendidikan dan kehidupan Islam. Sehingga, untuk apa berlelah-lelah memperpanjang demokrasi, jika realitanya hanya omong kosong. Kembalilah pada sistem kehidupan Islam yang Allah ridhoi, negara makmur, masa depan generasi tertata dengan rapi, dan menjadi para cendikiawan muslim yang terfasilitasi. Secara histori, sstem tersebut telah terealasi selama kurang lebih 1400 tahun, warisan Rosulullah SAW..
Wallahu A'lam bish showab