Penyamaan Pajak, Zakat, dan Wakaf: Analisis Kapitalisme dan Solusi Islam
Oleh: Surni
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025 menyatakan bahwa kewajiban membayar pajak sama halnya dengan menunaikan zakat dan wakaf. Menurutnya, ketiganya memiliki tujuan yang sama: menyalurkan sebagian harta untuk kepentingan masyarakat, khususnya kelompok berpendapatan rendah (Cnbcindonesia.com, 13/8/2025).
Sekilas, pernyataan ini terdengar logis karena baik pajak, zakat, maupun wakaf sama-sama terkait dengan distribusi harta. Namun, bila ditelaah secara lebih , terdapat perbedaan mendasar yang tidak bisa disamakan begitu saja. Menyamakan ketiganya justru berpotensi menyesatkan pemahaman publik mengenai hakikat distribusi kekayaan, terutama dalam perspektif Islam.
Perbedaan: Pajak, Zakat, dan Wakaf
Zakat adalah kewajiban ibadah bagi Muslim yang hartanya telah mencapai nishab dan haul. Subjeknya jelas, objeknya terbatas, dan penerimanya ditetapkan syariat kepada delapan golongan. Dengan aturan yang spesifik ini, zakat menjadi mekanisme distribusi kekayaan yang adil, terarah, dan menyejahterakan mustahik. Zakat bukan instrumen fiskal negara, sehingga tidak bisa digunakan untuk proyek pembangunan atau pelunasan utang pemerintah.
Wakaf berbeda lagi. Ia bukan kewajiban, melainkan amal jariyah sukarela. Seorang Muslim dapat mewakafkan tanah, bangunan, atau aset lainnya untuk kemaslahatan umat. Harta wakaf bersifat abadi, tidak boleh dijual atau diwariskan, dan hasil pengelolaannya diperuntukkan bagi kepentingan umum seperti pendidikan, kesehatan, dan sarana ibadah. Dengan demikian, wakaf adalah instrumen pemberdayaan ekonomi umat, bukan alat fiskal negara.
Sementara itu, pajak dalam sistem kapitalisme bersifat memaksa dan dikenakan kepada seluruh warga negara tanpa membedakan kaya atau miskin. Bahkan di sejumlah daerah, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mencapai ratusan persen. Hal ini menunjukkan bahwa pajak lebih sering menjadi instrumen fiskal ketimbang sarana distribusi keadilan. Pemerintah memang mengklaim bahwa pajak kembali ke masyarakat melalui subsidi dan bantuan sosial, tetapi pada kenyataannya beban pajak kerap memperparah penderitaan masyarakat kecil, apalagi ketika kondisi ekonomi melemah.
Dengan demikian, penyamaan pajak dengan zakat dan wakaf jelas mengabaikan perbedaan fundamental dari sisi subjek, objek, tujuan, dan mekanisme penyaluran.
Pajak dalam Islam
Pertanyaan penting yang muncul adalah: apakah dalam Islam dikenal pajak? Jawabannya, Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara. Sumber keuangan dalam sistem Islam berasal dari zakat, fai’, kharaj, jizyah, ghanimah, dan pengelolaan sumber daya alam.
Meski begitu, Islam mengenal konsep dharibah, yaitu pungutan sementara yang dapat diambil negara ketika kondisi darurat, misalnya jika baitul mal kosong dan kebutuhan umat mendesak. Pungutan ini hanya diambil dari Muslim yang mampu, bukan dari semua lapisan masyarakat. Artinya, dharibah bukanlah pajak dalam pengertian kapitalis yang bersifat permanen dan wajib dipungut setiap saat.
Di sinilah perbedaan mendasar: pajak kapitalis adalah tulang punggung keuangan negara, sedangkan dalam Islam, pajak (dharibah) hanya instrumen darurat yang sifatnya temporer dan terbatas.
Solusi Islam
Islam menawarkan paradigma berbeda dalam mengatur perekonomian. Negara Islam tidak bertumpu pada pajak, melainkan pada distribusi kekayaan yang adil dan pengelolaan sumber daya sesuai syariat. Negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyat pangan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan tanpa membebani mereka dengan pungutan yang menjerat.
Stabilitas ekonomi dalam Islam dibangun melalui larangan riba, penghapusan monopoli, serta penguatan sektor riil. Zakat dan wakaf memainkan peran besar dalam menumbuhkan kesejahteraan, sementara pajak hanya hadir dalam kondisi darurat. Dengan demikian, rakyat tidak dijadikan objek pemerasan fiskal, tetapi benar-benar dilindungi dan disejahterakan.
Karena itu, solusi dari persoalan bukan sekadar memperbaiki regulasi pajak, melainkan mengganti paradigma ekonomi secara menyeluruh. Sistem kapitalisme yang menempatkan pajak sebagai tulang punggung negara terbukti menindas rakyat. Sebaliknya, sistem Islam menjanjikan keadilan dengan aturan ilahi yang berpihak kepada manusia.
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, serta supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5).
Dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh, kesejahteraan sejati dapat diwujudkan. Negara tidak lagi bergantung pada pajak kapitalis, melainkan pada sistem distribusi kekayaan yang adil, manusiawi, dan sesuai dengan tuntunan Allah SWT.