Selamatkan Generasi dengan Sistem Islam
Oleh: Ahsani Pramudita
(Aktivis Dakwah, Sleman, DIY)
Makin memilukan! Baru-baru ini Kepolisian Resor Bantul DIY menangkap 101 tersangka dari 97 kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang selama 8 bulan sepanjang tahun 2025. Efek penyalahgunaan narkoba juga ditemukan pada pelaku penyerangan depan Mapolda DIY, Sabtu (30/8/2025). Kebidhumas Polda DIY Kombes Polisi Ihsan menyebutkan bahwa puluhan pelaku penyerangan terdiri dari dewasa dan anak-anak berstatus pelajar SMP, SMA/SMK telah diamankan oleh Polda DIY dan beberapa diantaranya positif mengonsumsi narkoba (rri.co.id. 04/09/2025).
Bukan hanya kasus narkoba, saat ini semakin banyak remaja yang terlibat tindak kejahatan. Di Lampung misalnya, ada dua remaja menjadi pelaku pembunuhan terhadap seorang waria. Korban ditemukan tergeletak bersimbah darah di salon miliknya dengan tubuh penuh luka tusukan dan sayatatn bekas senjata tajam, termasuk pada organ vitalnya. Kedua pelaku yang ditangkap masih duduk di bangku SMP yakni R (14) dan D (15). Menurut interogasi penyidik, kedua remaja itu mengaku sudah merencanakan pembunuhan karena sakit hati dan dendam pada korban (kompas.id, 05/09/2025).
Miris, realitas di atas menunjukkan kegagalan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. 80 tahun Indonesia merdeka belum juga berhasil mengantarkan kehidupan masyarakat, khususnya generasi muda pada kehidupan yang bermartabat. Padahal, tertuang dalam Pasal 3 UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik supaya menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun sayangnya, nilai demokrasi itu sendiri telah membuat peserta didik jauh dari iman dan takwa.
Produk Gagal Pendidikan Sekuer.
Diakui atau tidak, sistem demokrasi lahir dari ideologi kapitalisme yang berasaskan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Lalu, bagaimana mungkin sistem pendidikan dalam demokrasi mampu melahirkan peserta didik yang beriman dan bertakwa, jika keimanan mereka tergantikan oleh asas manfaat, materialistik, dan pragmatisme.
Remaja kehilangan visi akhirat. Identitas diri yang seharusnya telah mantap sejak usia pra baligh tak kunjung mereka temukan. Standar dewasa menurut ideologi kapitalisme seolah mendiamkan kenakalan mereka, "wajar, masih muda masih mencari jati diri". Jiwa para pemuda kosonh dari keimanan dan nilai-nilai Islam. Jadilah mereka generasi yang mudah galau, mudah meledak-ledak, emosinya labil, dan nir-empati.
Pendidikan tidak lagi dilihat sebagai jalan meraih kemuliaan di hadapan Allah SWT.. Tujuan mereka bersekolah untuk mengejar dunia (harta dan kedudukan). Kalau pun mereka sudah bisa mendapatkannya mesti tanpa bersekolah, maka mereka tak akan segan untuk meninggalkan bangku sekolah itu sendiri. Bahkan, jika dunia harus mereka dapatkan dengan kekerasan, mereka akan mengabaikan moral dan kemanusiaan.
Jika keimanan mereka tergadaikan, demikian juga dengan ketakwaan mereka. Standar baik-buruk bukan lagi terletak pada hukum syara'. Tak mengherankan, karena sekularisme meniscayakan lahirnya liberalisme. Aturan agama ditinggalkan, digantikan oleh aturan buatan manusia. Mestipun disusun secara kolektif/perwakilan, aturan buatan manusia tidak akan lepas dari kelemahan dan keterbatasan manusia itu sendiri. Manusia tidak mampu mengetahui segala sesuatu. Pemahaman manusia terhadap tata aturan sangat mungkin sekali memicu perbedaan, perselisihan, dan pertentangan. Ujung akhirnya akan berakibat pada kesengsaraan manusia.
Terbukti, berbagai aturan yang lahir dari rahim demokrasi telah membuat rakyat menderita. Sistem pendidikan semakin kacau. Sistem sosial melahirkan kehidupan bebas tanpa batas. Arus media yang merusak. Sistem politik yang zalim. Sistem ekonomi yang mencekik. Dan, sistem sanksi yang bisa diperjualbelikan.
Inilah dampak dari penerapan sistem kapitalisme liberal. Alih-alih melihat bencana yang terus menumpuk sebagai bukti kegagalannya dalam mewujudkan cita-cita liberalisme, mereka justru harus melihat dengan jelas bahwa kehancuran yang ditimbulkan itu adalah bukti keberhasilan sistem liberal. Karenanya jelas, menyerukan solusi untuk penyakit liberalisme dengan menerapkan langkah-langkah yang lebih liberal sama saja dengan menyiramkan gas ke api yang berkorbar. Ini hanya akan memperdalam krisis politik, sosial, ekonomi, dan moral.
Perbaikan Kompleks Menurut Islam
Paradigma sistem kapitalisme sudah pasti jauh berbeda dengan sistem aturan Islam. Aturan Islam memiliki sejumlah mekanisme menyeluruh untuk mewujudkan generasi yang mulia. Pertama, menerapkan sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam. Tujuan pendidikan Islam adalah membangun kepribadian Islam serta penguasaan ilmu kehidupan seperti sains, matematika, dan teknologi bagi peserta didik. Output (hasil) pendidikan dalam sistem Islam akan menghasilkan peserta didik yang kukuh keimanannya dan mendalam pemikiran (Islam) nya. Sedang, pengaruhnya (outcome) adalah keterikatan mereka terhadap hukum Allah SWT. Sementara, impact (dampaknya) adalah tegaknya amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat serta tersebarnya dakwah Islam dan jihad di berbagai penjuru dunia.
Kedua, negara memberikan akses pendidikan untuk seluruh rakyat secara gratis. Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara. Negara wajib memfasilitasinya tanpa memungut biaya dari rakyat. Peserta didik bisa lebih tenang menempuh pendidikan sesuai bidang yang diminati. Orang tua pun akan lebih bisa fokus dalam mendidik anak-anak mereka tanpa merasa risau dengan biaya pendidikan. Dengan begitu, peran keluarga dapat berjalan lebih efektif.
Ketiga, suasana masyarakat dan lingkungan yang kondusif. Negara dalam sistem Islam tidak akan menoleransi segala bentuk pemikiran dan tsaqofah asing yang merusak. Suasana yang dibangun adalah masyarakat yang terbiasa berdakwah. Dalam sistem Islam, masyarakat merupakan salah satu elemen penting penyangga tegaknya syariat Islam. Masyarakat berperan mengawasi anggota masyarakat lain maupun penguasa dalam pelaksanaan hukum syara'. Karenanya, budaya amar makruf nahi mungkar menjadi hal yang melekat dalam diri individu masyarakat Islam.
Selain itu, kebijakan negara dalam naungan sistem Islam akan berfokus pada pembangunan generasi untuk menumbuhkan ketakwaan sekaligus produktifitas generasi muda. Mereka akan paham betul tentang hakikat hidup seorang muslim, bahwa seorang muslim harus membaktikan hidupnya di jalan Islam yaitu dengan mewujudkan ketaatan totalitas kepada Allah SWT. Bukan hanya menjadi generasi emas tapi juga generasi pembebas. Para pemudanya akan menyibukan hidupnya di jalan Islam dengan menjadi ulama, ilmuwan, mujahid, penguasa yang menerapkan syariat Islam, atau menjadi apapun yang berkontribusi terhadap kejayaan Islam.
Keempat, menegakkan sanksi tegas pada pelaku kejahatan. Sistem sanksi akan berlaku sebagai upaya kuratif jika berbagai upaya preventif masih dilanggar. Sistem sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir), sehingga membuat pelaku jera dan tidak akan pernah berpikir untuk mengulangi kejahatannya. Setiap pelaku kejahatan yang sudah terkategorikan akil baligh dan mukalaf bisa diterapkan sanksi Islam atasnya termasuk jika pelakunya adalah remaja.
Tiap perbuatan tercela menurut syariat Islam terkategorikan sebagai kejahatan. Sebagaimana penjelasan Syekh Abdurrahman Al Maliki dalam kitab An Nidzam al-Uqubat al-Bayyinat fi al-Islam, hal.3, "Ketika syariat sudah menetapkan perbuatan itu tercapai, sudah pasti perbuatan itu disebut kejahatan. Hal ini tanpa memandang tingkat tercelanya, yakni tanpa memandang besar kecilnya kejahatan. Hukum syara' telah menetapkan perbuatan tercela sebagai dosa yang harus dikenai sanksi".
Demikian syariat Islam menyelamatkan generasi dari kerusakan. Mafhum Islam harus disebarkan ke tengah tengah umat, supaya semakin banyak yang menyadari akan kewajiban dan kebutuhan untuk menerapkannya.
Wallahu A'lam Bish Shawab.