Wakil Rakyat Harusnya Menjadi Representasi Masyarakat
Oleh: Irohima
Kehidupan dengan segudang persoalan telah menjadi santapan keseharian kita. Belum lagi selesai satu persoalan, tiba-tiba kita dihantam persoalan lain yang membuat kita makin tenggelam dalam lautan kezaliman. Seperti sekarang, sebuah kebijakan baru yang disahkan, di mana para penguasa akan memiliki pendapatan dengan kisaran yang sangat jomplang dengan keadaan rakyat yang terlilit kemiskinan. Tapi inilah kenyataan yang terpaksa kita telan akibat abainya kita pada aturan Tuhan.
Di tengah pergolakan ekonomi yang tidak menentu, kenaikan tarif berbagai varian pajak yang baru, jumlah pengangguran yang makin membengkak dan biaya hidup yang sering naik dengan cepat, rakyat kembali disuguhi fakta bahwa anggota DPR akan mendapatkan tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan, tunjangan beras senilai Rp 12 juta/bulan dan bensin Rp 7juta/bulan, hingga total pendapatan mereka menjadi Rp 100 juta lebih per bulan. Hal ini tentu memantik kemarahan rakyat, dan dinilai menyakiti perasaan rakyat. Di saat seruan efisiensi anggaran dilakukan hampir di seluruh kementerian/lembaga bahkan daerah, penambahan tunjangan justru diberikan kepada anggota dewan. Menurut Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, kondisi ini menunjukkan seolah-olah rakyat sedang dikorbankan oleh para elite, demi menunjang kebutuhan hidup gaya hedon para pejabat (Beritasatu.com, 20/08/2025).
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan bahwa diberikannya tunjangan anggota dewan karena anggota DPR RI sudah tidak mendapat fasilitas perumahan di Kalibata. Lebih lanjut Sufmi menegaskan bahwa tunjangan diberikan mulai Oktober 2024 hingga Oktober 2025, dan tunjangan selama setahun itu hanya untuk dipakai untuk mengontrak rumah selama 5 tahun. Meski telah mengeluarkan alasan tersebut, tunjangan rumah anggota dewan tetap menimbulkan polemik dan sampai membuat masyarakat melakukan demo.
Anggota DPR yang mendapat berbagai tunjangan dan menyebabkan kisaran pendapatan mereka bernilai fantastis. Di tengah masyarakat yang sedang dalam kondisi serba sulit serta kinerja DPR yang jauh dari kata memuaskan, tunjangan anggota dewan merupakan fakta yang sangat miris. Namun hal ini sangat lumrah terjadi dalam sistem demokrasi kapitalisme, karena sistem ini melahirkan kesenjangan dalam segala aspek, terutama ekonomi. Politik transaksional merupakan sebuah keniscayaan, karena tujuan dari sistem demokrasi kapitalisme adalah materi. Segala cara akan ditempuh untuk meraih materi sebanyak-banyaknya, termasuk memakai undang-undang ataupun peraturan sebagai tameng. Demokrasi kapitalisme juga meniscayakan setiap kebijakan akan selalu menguntungkan orang-orang maupun pihak yang berkepentingan, bahkan sistem ini juga bisa menentukan sendiri besaran anggaran yang mereka inginkan.
Dalam demokrasi kapitalisme, jabatan juga hanya dijadikan sebagai alat memuaskan keinginan dan menambah kekayaan. Individu yang lahir dalam sistem ini cenderung hilang empati, tidak berperasaan dan tidak amanah serta tidak bertanggung jawab, wajar jika kebijakan apa saja yang lahir akan tetap dilaksanakan meski mendapat berbagai penolakan. Padahal, mereka telah dipilih oleh rakyat sebagai wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat bukan malah mengkhianati rakyat.
Berbanding terbalik dengan sistem Islam. terdapat perbedaan dalam hal definisi wakil rakyat dan tugas-tugasnya, juga asas yang mendasarinya. Dalam Islam, terdapat struktur pemerintahan yang bernama Majelis Umat. Majelis Umat ini merupakan sebuah lembaga yang beranggotakan wakil dari umat dalam memberikan opini serta rujukan bagi pemimpin atau Khalifah untuk berbagai urusan. Tak hanya memberikan opini atau rujukan, mereka juga mewakili rakyat dalam melakukan muhasabah (kontrol dan koreksi)…