Kematian Raya, Bukti Negara Abai
Oleh: Fatinah Rusydayanti (Aktivis Muslimah)
Akhir - akhir ini, sosial media dihebohkan dengan nama “Raya”. Raya (4 tahun) sendiri adalah balita asal Sukabumi yang terinfeksi ribuan cacing dalam tubuhnya yang berujung pada kematian. Kasus ini menjadi cermin betapa rapuhnya sistem perlindungan anak di Indonesia, khususnya bagi mereka yang lahir dari keluarga miskin dan lemah.
Kondisi keseharian Raya pun tak kalah memilukannya, Ia tinggal bersama keluarganya di sebuah rumah sederhana yang jauh dari kata layak huni. Sang ayah menderita sakit-sakitan, sementara ibunya mengalami gangguan jiwa, membuat kondisi keluarga semakin terpuruk tanpa ada support system yang memadai. Dalam kondisi itu, Raya menderita sakit parah yaitu ribuan cacing telah menggerogoti organ dalamnya hingga akhirnya nyawanya tak tertolong.
Kasus ini baru mendapat sorotan setelah ramai diberitakan media. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebut penderitaan Raya sebagai sesuatu yang sangat memilukan. (Kompas.Com/22/8/2025)
Gagalnya Layanan Kesehatan
Lalu apa yang harus dibenahi? Kematian Raya menegaskan bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia belum sepenuhnya mampu menjamin hak dasar rakyat, khususnya anak-anak. Infeksi cacingan sebenarnya bukan penyakit baru dan dapat dicegah dengan intervensi kesehatan dasar, edukasi, serta lingkungan yang bersih. Faktanya, akses layanan kesehatan belum merata dirasakan.
Masyarakat tak butuh empati kosong, empati yang dibumbui dengan bahasa harapan, dengan berbagai pernyataan yang dikemukakan di depan puluhan kamera. Atau bahkan saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab, yang biasa dilakukan oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung.
Dalam konteks ini, negara seolah abai. Padahal, perlindungan terhadap anak bukan sekadar retorika dalam pidato pejabat, melainkan kewajiban konstitusional yang harus diwujudkan dalam kebijakan nyata. Kematian seorang anak akibat penyakit yang seharusnya bisa dicegah adalah bentuk kegagalan negara.
Tragedi yang menimpa Raya, bukan hanya terjadi sekali dua kali, kasus serupa seringkali berulang dengan pola yang mirip, sulit dan mahalnya akses kesehatan. Kondisi memilukan ini tak lepas dari sistem kapitalisme yang menjadikan akses kesehatan sebagai barang mahal. Mereka yang memiliki privilege dapat dengan mudah mendapatkan layanan medis terbaik. Sebaliknya, masyarakat miskin kerap harus menerima kenyataan pahit: sulit mengakses layanan, terlambat mendapat pertolongan, bahkan kehilangan nyawa.
Sistem ini melahirkan ketidakadilan struktural. Anak-anak seperti Raya, yang lahir dari keluarga miskin dan tidak memiliki daya tawar, akhirnya dibiarkan hidup dalam lingkungan yang tidak sehat dan berakhir tragis.
Perspektif Islam
Dalam Islam, kesehatan dan kesejahteraan rakyat merupakan tanggung jawab negara sepenuhnya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari). Ini berarti negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat, termasuk hak atas layanan kesehatan yang layak.
Sejarah mencatat, pada masa Khilafah, negara menyediakan fasilitas kesehatan gratis dan terbaik untuk semua kalangan. Bahkan, negara juga mengatur mekanisme sosial agar masyarakat saling peduli. Seorang Muslim tidak akan membiarkan tetangganya kelaparan atau sakit tanpa bantuan. Sistem ini membangun ikatan sosial yang kuat dan menjamin tidak ada rakyat yang terabaikan.
Bagaimana bisa gratis? Sistem keuangan sistem Khilafah ditopang oleh Baitul Mal, yakni kas negara dengan sumber pemasukan yang stabil. Dana untuk membiayai layanan kesehatan diperoleh dari berbagai pos, mulai dari fai’, kharaj, jizyah, hingga keuntungan pengelolaan kepemilikan umum seperti tambang, minyak, gas, air, dan listrik. Dengan demikian, negara tidak perlu bergantung pada pinjaman luar negeri ataupun investasi asing untuk membiayai kebutuhan rakyatnya, sehingga ia mandiri dan berdaya dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Sejarah mencatat, di masa kejayaan Khilafah berdiri bimaristan, yaitu rumah sakit Islam yang memberikan layanan gratis kepada siapa pun. Bimaristan Baghdad pada era Khalifah Harun ar-Rasyid, misalnya, dikenal sebagai pusat pengobatan sekaligus pendidikan kedokteran yang sangat maju. Di masa Khilafah Utsmaniyah, rumah sakit Süleymaniye di Istanbul juga memberikan pelayanan medis gratis, lengkap dengan obat-obatan, makanan, bahkan perawatan lanjutan tanpa pungutan biaya.
Lebih jauh, mekanisme Khilafah tidak hanya fokus pada pengobatan, tetapi juga pada aspek pencegahan. Negara membangun sanitasi yang baik, memastikan akses air bersih, serta mengelola pembuangan sampah secara teratur untuk mencegah penyakit menular. Edukasi kesehatan juga diberikan kepada masyarakat, sementara peredaran makanan dan obat-obatan diawasi secara ketat. Hal ini menunjukkan bahwa Khilafah memiliki pandangan menyeluruh dalam menjaga kesehatan rakyat, mulai dari lingkungan hidup hingga layanan medis.
Selain itu, layanan kesehatan dalam Khilafah bersifat mudah diakses. Rumah sakit dan pusat layanan medis didirikan di berbagai wilayah, tidak hanya di kota besar, agar masyarakat di pelosok pun dapat menikmatinya. Proses birokrasi pun sederhana; rakyat tidak harus melalui prosedur yang rumit untuk sekadar mendapatkan perawatan.
Mekanisme ini lahir dari asas keadilan sosial yang dijunjung tinggi dalam Islam. Tidak ada pemisahan antara kaya dan miskin, atau antara mayoritas dan minoritas. Seluruh warga negara diperlakukan sama. Bahkan, dalam banyak catatan sejarah, non-Muslim yang hidup di bawah naungan Khilafah mengakui bahwa mereka mendapatkan layanan kesehatan yang lebih baik dibandingkan di negeri asal mereka.
Kasus Raya bukanlah peristiwa pertama, dan dikhawatirkan bukan pula yang terakhir. Selama sistem yang berlaku tidak berpihak pada rakyat kecil, tragedi serupa akan terus berulang. Indonesia membutuhkan perubahan mendasar dalam cara pandang terhadap perlindungan anak dan kesehatan masyarakat.
Negara harus berhenti sekadar berduka setiap kali ada tragedi. Yang dibutuhkan adalah langkah konkret untuk memastikan tidak ada anak Indonesia yang kehilangan nyawa hanya karena lahir dalam kondisi miskin dan terpinggirkan. Dengan sistem yang adil dan berorientasi pada pelayanan, setiap anak akan terlindungi, dan tragedi memilukan seperti yang menimpa Raya dapat dicegah. Wallahu’alam bishowab.
.jpeg)