Ironi Tunjangan DPR Fantastis di Tengah Ekonomi Rakyat yang Kian Terhimpit
Penulis : Ika Kusuma
Kabar tentang gaji anggota DPR yang fantastis menjadi topik hangat di masyarakat. Kendati Wakil Ketua DPR Adies Kadir mengatakan bahwa tidak ada kenaikan pada gaji pokok anggota DPR, namun sejumlah tunjangan memang mengalami kenaikan, seperti tunjangan bensin dari Rp 4-5 juta menjadi Rp 7 juta per bulan, tunjangan beras dari Rp 10 juta menjadi Rp 12 juta per bulan. Anggota DPR juga mendapatkan tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan sehingga total pendapatan mereka mencapai lebih dari Rp 100 juta per bulan.
Sejumlah pengamat menilai kenaikan tunjangan ini tak layak di tengah sulitnya ekonomi masyarakat saat ini.
Terlebih masyarakat tengah dihadapkan pada gelombang PHK massal, hingga kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang merupakan efek domino dari kebijakan pemerintah terkait efesiensi anggaran (beritasatu, 20/08/2025 dan tempo.co.id, 19/08/2025).
Gelombang protes tentu tak bisa dielakkan, terlebih melihat kinerja anggota DPR yang jauh dari kata memuaskan. Mirisnya, reaksi sejumlah oknum anggota DPR di akun sosmed pribadi mereka seolah meremehkan dan mengolok-olok protes masyarakat. Tentu hal ini makin membuat masyarakat geram dan hilang respek.
Kesenjangan seperti ini menjadi keniscayaan dalam sistem kapitalisme sekularisme saat ini.
Politik transaksional adalah bentuk manifestasi asas kemanfaatan dalam sistem kapitalisme. Materi adalah tujuan utamanya. Terlebih mereka mempunyai kuasa menentukan anggaran dan bebas mengutak atik aturan sesuai kehendak mereka. Maka tidak mengherankan, ketika mereka mendapatkan jabatan, mereka akan sibuk memperkaya diri, tanpa lagi peduli atas amanat mewakili rakyat. Bahkan mereka pun tak lagi berempati dengan kesulitan yang tengah dihadapi rakyatnya.
Wakil rakyat yang seharusnya amanah menjalankan tugasnya mewakili rakyat dalam pemerintahan, nyatanya hanya sebatas retorika kosong. Janji manis mereka hanya untuk meraih simpati masyarakat demi memuluskan jalan mereka untuk berkuasa.
Tujuan mereka berkuasa tak lebih dari memuaskan kebutuhan mereka secara materi semata sejalan dengan asas kemanfaatan dalam sistem kapitalisme yang mereka anut.
Ada perbedaan fungsi dan tugas wakil rakyat dalam pandangan Islam. Dalam pemerintahan Islam, rakyat bisa menyampaikan pendapat dan kritiknya (syura) kepada penguasa melalui Majelis Umat. Pemerintah harus meminta pendapat rakyat dalam berbagai urusan. Jika tidak, maka akan dinilai sebagai bentuk kelalaian. Ini berbeda dengan parlemen (DPR/MPR) dalam sistem demokrasi. Syura dalam Majelis Umat adalah media pengambilan pendapat, bukan untuk menentukan kebijakan atau undang-undang. Sebab dalam Islam, aturan hanya berasal dari syara' (aturan Allah) dan negara tidak boleh membuat aturan selain aturan Allah. Hal ini juga dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin An- Nabhani dalam kitab Nidhamul Islam yang menyebut bahwa parlemen merupakan bentuk manifestasi kedaulatan di tangan rakyat dalam sistem pemerintahan demokrasi, sedangkan Islam meletakkan kedaulatan hanya pada hukum Allah (syara').
Dalam Islam, khalifah, mu'awin (pembantu) khalifah, dan para wali bukanlah abdi negara, jadi mereka tidak berhak mendapat upah. Tugas mereka adalah tugas pemerintahan, bukan pekerja. Namun, mereka berhak mendapatkan santunan sebatas keperluan mereka. (Kitab Mafahim, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani). Pengangkatan mereka juga tidak melalui praktik politik transaksional yang jelas memakan biaya mahal sehingga menimbulkan rasa pamrih dan keinginan mengembalikan modal ketika menjabat.
Selain itu, Islam menjadikan akidah sebagai asasnya. Setiap penguasa dalam sistem Islam paham jika semua tindakan mereka harus sesuai dengan syariat Allah yang kelak harus mereka pertanggungjawabkan. Mereka paham jika tugas mereka adalah raa' in, yakni mengurusi kemaslahatan umat. Mereka bertanggung jawab penuh atas kebutuhan umat sehingga ketika mereka berkuasa, tujuannya bukan materi, namun untuk kemaslahatan umat.
Selain itu, banyaknya oknum pejabat yang korup dan tidak amanah saat ini akibat sistem sekuler yang memisahkan agama dari aturan kehidupan. Mereka tak lagi punya pedoman dan menghalalkan segala cara demi kepuasan semu, bahkan tak lagi berempati dan individualis.
Dalam Islam tidak ada kekuasan politik yang terpisah dari agama. Islam adalah agama dan menempatkan negara sebagai bagian dari agama itu sendiri.
Negara menjadi satu-satunya metode untuk menerapkan hukum Islam dan menyebarluaskan dakwah dan menjadikannya rahmatan lil alamin.
Maka jelas, hanya dalam penerapan Islam kafah keadilan bisa dirasakan oleh semua rakyat sebab aturan Allah satu-satunya aturan yang sempurna mengatur kehidupan manusia. Selama manusia masih enggan menerapkan hukum Allah dan lebih memilih hukum buatan manusia yang lemah, maka segala problematika umat akan terus muncul. Wallahu alam bi shawab.