Affan Kurniawan dan Luka Kolektif Bangsa

 


Arista Indriani 

‎Indonesia kembali dikejutkan oleh kabar pilu. Seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas setelah dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob. Sosok muda ini bukan hanya tulang punggung keluarga, tetapi juga gambaran nyata rakyat kecil yang berjuang keras untuk sekadar bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi. Namun ironisnya, ia justru kehilangan nyawa bukan karena bencana alam atau kecelakaan lalu lintas biasa, melainkan karena tindakan aparat negara, pihak yang seharusnya hadir melindungi.

‎Peristiwa ini meninggalkan luka kolektif yang mendalam. Bukan hanya bagi keluarga korban, tetapi juga bagi hati nurani bangsa. Sebab, tragedi ini menegaskan kembali paradoks yang kian nyata: rakyat kecil kerap menjadi korban kebijakan, sistem, bahkan aparat negara. Bukankah amanat konstitusi jelas menyatakan negara harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia?

‎Antara Gaza dan Jakarta: Luka yang Sama

‎Ketika kita menoleh ke Gaza, kita melihat rakyat Palestina dijajah secara terang-terangan oleh rezim Zionis. Darah dan air mata tumpah setiap hari karena kekerasan yang dilakukan oleh penjajah asing. Namun, lebih memilukan lagi, di negeri kita sendiri, rakyat kecil juga kerap menjadi korban tindak kekerasan, hanya saja dilakukan oleh aparatur negara. Perbedaannya tipis: di Gaza, pelakunya jelas penjajah asing, sementara di Indonesia, pelakunya adalah mereka yang seharusnya menjadi pelindung.

‎Kondisi ini menunjukkan ada masalah mendasar pada paradigma kekuasaan dan aparat yang mengabdi padanya. Rakyat yang susah makin terpojok, sementara suara kritis sering dianggap ancaman. Peristiwa tragis Affan Kurniawan seharusnya membuka mata kita bahwa membiarkan ketidakadilan, meskipun bukan menimpa diri kita langsung, sama dengan membiarkan kezaliman berakar dan tumbuh semakin besar.

Diam?

‎Diam berarti mengkhianati nilai kemanusiaan. Diam berarti menormalisasi penindasan. Affan adalah bagian dari kita, bagian dari umat ini. Ia adalah anak bangsa yang berjuang menafkahi keluarganya dengan jerih payah, sebagaimana jutaan rakyat kecil lainnya. Jika hari ini kita menutup mata atas apa yang menimpanya, maka esok lusa tragedi serupa bisa menimpa siapa pun di antara kita.

‎Umat tidak boleh membiarkan persoalan ini berhenti sebatas headline berita. Keadilan harus diperjuangkan, bukan hanya untuk Affan dan keluarganya, tetapi juga untuk semua rakyat kecil yang kerap terpinggirkan. Inilah saatnya umat bersatu, melek, peduli, dan bergerak melawan ketidakadilan, dengan cara yang bermartabat dan berpegang pada nilai iman.

‎*Aparat dalam Peradaban Islam*

‎Sejarah penerapan Islam mencatat adanya departemen yang merupakan bagian dari struktur pemerintahan Islam yang pernah diterapkan selama berabad-abad lamanya. Dalam Islam, polisi disebut dengan syurthah, yaitu bagian dari departemen dalam negeri yang mengurusi segala bentuk gangguan keamanan di dalam negri dan merupakan sarana utama untuk menjaga keamanan (Nizhamil Hukmi Fil Islam, 2019).

‎Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Anas yang mengatakan, "Sesungguhnya Qais bin Sa'ad di sisi Nabi saw. memiliki posisi sebagai kepala polisi dan ia termasuk di antara para amir.

‎Pada masa Nabi shalallahu alaihi wasallam polisi adalah kesatuan yang lebih menonjol ketimbang tentara (jaisy). Az-Zuhri mengatakan, "Polisi adalah setiap kesatuan yang merupakan kesatuan terbaik. Di antara kesatuan pilihan tersebut adalah polisi, karena mereka merupakan prajurit pilihan, bahkan ada yang mengatakan bahwa mereka adalah kesatuan yang lebih menonjol ketimbang tentara, juga ada yang mengatakan bahwa mereka disebut polisi karena mereka memiliki ciri-ciri yang bisa dikenali, baik dari pakaian maupun gerakannya".

‎Syurthah bukanlah alat kekuasaan yang melindungi penguasa semata, melainkan pelindung rakyat dan penegak hukum syariat yang adil. Fungsi utamanya adalah menjaga keamanan masyarakat, melindungi jiwa dan harta, serta memastikan tidak ada seorang pun, baik kaya maupun miskin, yang dizalimi.

‎Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu bahkan menjadikan aparatnya sebagai pihak yang paling duluan dimintai pertanggungjawaban jika terjadi ketidakadilan. Polisi dalam Islam adalah simbol rahmat bagi rakyat, bukan alat represif yang menebar takut. Dengan paradigma seperti ini, rakyat akan merasa aman karena tahu bahwa aparat berdiri bersama mereka, bukan di atas mereka.

‎Tragedi Affan Kurniawan adalah alarm keras bagi bangsa ini. Kita bisa memilih untuk menutup mata, atau menjadikannya momentum refleksi dan perubahan. Sudah saatnya umat bersatu dan memperjuangkan sistem yang menempatkan aparat sebagai pelindung sejati rakyat, sebagaimana dicontohkan dalam peradaban Islam. Sebab, hanya dengan keadilan yang hakiki, nyawa rakyat kecil tidak lagi murah, dan bangsa ini benar-benar merdeka dari segala bentuk penindasan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel