Tragedi Ponpes Al Khoziny: Bencana Struktural atau Cermin Lalainya Amanah Negara?
Oleh; Nur Zahra Al-Khair (mahasiswi Kalsel)
Ketika Tempat Ibadah Menjadi Kuburan Massal
BNPB melaporkan, ambruknya bangunan lantai empat musala Pondok Pesantren Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, menewaskan 37 orang dan ditemukan dua potongan tubuh manusia dari balik reruntuhan (BNPB, 5 Oktober 2025).
Dalam hitungan jam, tempat yang seharusnya menjadi ruang menuntut ilmu dan ibadah berubah menjadi kuburan massal.
Pertanyaannya: mengapa musibah semacam ini terus berulang? Apakah ini murni takdir—atau akibat kelalaian sistemik yang dibiarkan tumbuh subur?
Antara Pembangunan dan Pengawasan yang Lalai
Dalam euforia pembangunan, banyak lembaga pendidikan keagamaan tumbuh pesat tanpa disertai pengawasan struktur bangunan yang ketat.
Gedung empat lantai untuk santri, sering kali dibangun dengan dana terbatas, tanpa rekayasa teknis profesional, apalagi sertifikasi kelayakan dari pemerintah daerah.
Tragedi ini bukan sekadar soal tembok yang rapuh, tapi sistem pengawasan yang longgar.
Negara, yang seharusnya menjadi pelindung rakyat dan pengawas ketat atas bangunan publik, sering kali hanya hadir setelah korban berguguran.
Kapitalisme dan Prioritas yang Salah Tempat
Ironisnya, di saat lembaga pendidikan rakyat kecil berjuang dengan dana seadanya, anggaran besar sering dialokasikan untuk proyek mercusuar dan fasilitas elite.
Pendidikan agama di pelosok tak menjadi prioritas investasi.
Logika kapitalistik yang menilai pembangunan dari keuntungan ekonomi membuat pesantren—yang tak menghasilkan profit material—sering diabaikan dalam hal keamanan dan bantuan infrastruktur.
Di sinilah kita melihat akar masalahnya: orientasi ekonomi yang menilai hidup manusia lebih murah dari beton proyek besar.
Islam: Membangun dengan Amanah dan Keadilan
Islam mengajarkan bahwa pembangunan bukan sekadar menegakkan bangunan fisik, tetapi menegakkan amanah dan tanggung jawab sosial.
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang arsitek, pengawas proyek, pejabat perizinan, hingga pemimpin daerah—semuanya terikat amanah.
Membiarkan bangunan berdiri tanpa kelayakan berarti menggadaikan nyawa umat untuk efisiensi semu.
Negara dan Umat: Saatnya Bangun dari Reruntuhan
Tragedi Al Khoziny harus menjadi titik balik kesadaran struktural.
Negara tidak boleh hanya datang membawa kantong jenazah dan ucapan belasungkawa.
Perlu ada sistem audit keselamatan bangunan lembaga pendidikan keagamaan secara nasional.
Perlu ada prioritas anggaran untuk keamanan santri dan fasilitas publik, bukan hanya proyek prestisius.
Islam Menolak Kelalaian sebagai Takdir
Dalam pandangan Islam, musibah yang lahir dari kelalaian manusia bukan takdir, tapi pengkhianatan terhadap amanah.
Negara wajib melindungi nyawa setiap warganya, terlebih di lembaga yang mengajarkan nilai-nilai agama.
Ketika tempat menimba ilmu berubah jadi tempat kehilangan nyawa, itu bukan sekadar tragedi fisik—tetapi bukti lemahnya iman sosial dan tanggung jawab moral.
> “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Menegakkan Keadilan dari Puing-puing
Pembangunan sejati adalah ketika setiap dinding berdiri dengan izin Allah dan amanah manusia.
Bukan sekadar membangun cepat, tapi membangun selamat, adil, dan bertanggung jawab.
Reruntuhan Al Khoziny harus menjadi peringatan keras: bahwa tanpa sistem yang berkeadilan dan berbasis amanah, bangunan sekuat apa pun akan tetap rapuh.
