NORMALISASI PLURALISME, MERUSAK IDENTITAS ISLAM
Oleh : Inge Oktavia Nordiani
Program yang diluncurkan oleh Kementrian Agama (Kemenag) bukanlah ide brilliant yang patut diapresiasi. Hal tersebut justru membuat umat Islam terciderai secara akidah. Pasalnya Kemenag mengumumkan akan menggelar Natal bersama di Kantor Kementrian Agama. Bahkan dengan bangganya menyebutkan bahwa hal tersebut merupakan kali pertama dalam sejarah. Nasaruddin Umar selaku Menteri Agama dalam acara pembukaan jalan sehat lintas agama menegaskan bahwa kebahagiaan, kejayaan dan kedaulatan sebuah bangsa tidak mungkin terwujud tanpa kerukunan beragama.
Ada apa dengan negeri ini? Indonesia bukanlah negara yang intoleransi. Indonesia telah sejak lama mampu hidup berdampingan antar agama. Kalaupun terjadi gesekan hanya permasalahan izin bangun tempat peribadatan yang tidak sesuai prosedur. Tidak pernah ditemukan orang Islam melarang orang kristen, Budhha, dan lainnya merayakan hari besarnya. Begitupun sebaliknya. Masing-masing agama saling memahami. Jadi mengangkat isu toleransi sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan tampak lemah. Justru dari sini tercium adanya upaya pluralisme dan sinkretisme.
Pluralisme agama yaitu pengakuan bahwa semua agama adalah sama. Berasal dari Tuhan yang sama. Oleh karena itu tidak boleh ada klaim agamanya yang benar sementara yang lain salah. Di sisi lain, sinkretisme adalah usaha untuk mencampur-adukkan agama. Belakangan ini telah banyak ternyata do'a lintas agama, sholawatan di gereja, dan yang akan dirilis Kemenag yaitu gelaran Natal bersama. Semua itu dinarasikan atas nama kerukunan, harmoni dan toleransi.
Dalam Islam Allah melarang keras kedua hal di atas yaitu pluralisme dan sinkretisme. Secara tegas Allah SWT melarang praktik ini. Sebagaimana dalam QS. AL-Baqarah: 42
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ٤٢
Janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (jangan pula) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahui(-nya).
Jelas untuk masalah akidah Islam punya tuntunan. Upaya untuk mencari-mencari celah longgar terhadap akidah umat Islam, keberhasilannya akan menimbulkan kefatalan. Sebab hidup meniscayakan menyampaikan kebenaran. Apabila klaim semua agama adalah sama-sama benar dan bebas memilih agama apa, maka pintu terbukanya hati seseorang untuk memeluk Islam akan teramat kecil. Beruntung bagi seseorang yang mau memikirkan. Di dalam Al-Qur'an juga banyak ayat-ayat yang mengajak manusia berfikir. Dalam Al-Qur'an: 44 Allah SWT berfirman,
بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِۗ وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Artinya: “(Kami mengutus mereka) dengan (membawa) bukti-bukti yang jelas (mukjizat) dan kitab-kitab. Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.”
Umat harus jeli di dalam memahami problema yang sebenarnya dialami negeri ini. Bukanlah intoleransi melainkan buah penerapan sistem kapitalisme yang membuat munculnya kebijakan-kebijakan dzolim. Tidak pro rakyat bahkan menyengsarakan. Hal inilah yang penting untuk ditelisik dan dirumuskan jalan pemecahannya. Sistem hari membuat perasaan pemimpin terpisah dari rakyatnya sehingga harapan untuk menyejahterakan rakyat ibarat jauh panggang dari api.
Berkaitan dengan toleransi dalam Islam telah nampak secara histori hingga kini penerapannya. Lebih-lebih dalam wilayah-wilayah futuhat. Umat diluar Islam sangat merasakan betapa merdekanya mereka diperlakukan oleh seorang Kholifah di dalam beragama. Segala bentuk interaksi antara umat beragama tidaklah dilihat dari sisi apa agamanya, melainkan semua sama-sama diperlakukan sebagai warga negara di bawah daulah Islam. Oleh karena itu hari ini umat tidak perlu terjebak dalam normalisasi toleransi yang bermakna pluralisme dan sinkretisme. Sudah saatnya umat kembali pada tuntunan Islam yang murni dan solutif di dalam memandang segala problematika kehidupan.
.jpeg)