Bencana Sumatra, Ungkap Fakta Keserakahan Manusia
Penulis : Ika Kusuma
Sepekan terakhir, laman berita terutama media sosial dipenuhi kabar banjir bandang dan longsor yang menerpa saudara kita di beberapa daerah Sumatra, seperti Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra utara. Bencana alam yang terus meluas telah banyak menelan korban jiwa. Data terbaru BNPB menyebut 836 korban meninggal dunia, 518 korban hilang serta 2.700 orang terluka. (detiknews.com, 3 Desember 2025). Jumlah tersebut kemungkinan masih terus bertambah mengingat masih banyak daerah yang belum dapat dijangkau karena akses terputus dan terisolir.
Sayangnya, meskipun telah banyak menelan korban jiwa serta dampak kerusakan yang terus meluas, entah mengapa sampai saat ini status bencana Sumatra belum dinaikkan menjadi status bencana nasional. Hal ini tentu berdampak pada penanganan bencana yang kurang maksimal, terbukti dari banyaknya korban yang belum tersentuh bantuan.
Selain itu, fakta yang beredar luas di media sosial bahwa banjir bandang didominasi kayu hutan yang terkesan terpotong rapi menjadi bukti, bencana yang terjadi bukanlah sekadar faktor cuaca ekstrem, namun adanya kerusakan lingkungan yang masif.
Bencana Sumatra ini telah mengungkap kejahatan lingkungan yang selama ini terselubung dan telah berlangsung lama. Kejahatan ini tersembunyi rapi di balik legitimasi pemerintah lewat kebijakan pemberian hak konsesi lahan, obral izin perusahaan sawit, izin tambang terbuka, tambang untuk ormas, UU minerba, UU cipta kerja, dan lain-lain. Akibatnya, kekayaan alam dieksploitasi habis-habisan tanpa peduli dampak buruknya di kemudian hari. Ironisnya, rakyat tidak bisa merasakan banyak manfaat dari semua ini, meskipun pemerintah berdalih bahwa semua kebijakan itu dibuat untuk pembangunan dan mensejahterakan rakyat .
Inilah potret pemerintahan dalam sistem demokrasi kapitalisme sekular. Kongkalikong antar penguasa dan pengusaha untuk menjarah hak milik rakyat dengan dalih pembangunan kerap terjadi dan lumrah.
Sistem kapitalisme sekular telah menciptakan pemerintahan yang zalim sebab mindset mereka adalah mendapatkan keuntungan materi sebanyak-banyaknya, tanpa peduli akan kerusakan. Budaya korup pun telah mengakar dan niscaya terjadi dalam sistem ini sehingga penegakan hukum yang adil pun sulit bahkan mustahil. Tokoh tokoh utama di balik pengrusakan alam tak pernah tersentuh hukum, bahkan kebal hukum. Ketika bencana akibat kerusakan alam terjadi, mereka seolah mencuci tangan dan mengkambinghitamkan faktor cuaca. Inilah efek ketika negara meninggalkan hukum Allah dalam mengelola alam. Dampak kerusakan begitu masif dan lagi-lagi rakyat yang jadi korban, sementara penguasa dan pengusaha yang menikmati hasilnya.
Allah telah jelas mengingatkan kita dalam Firman-Nya yang artinya: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar Rum: 41).
Dalam Islam, menjaga kelestarian lingkungan adalah kewajiban dan wujud keimanan bagi umat muslim.
Negara dalam sistem Islam menjadikan hukum Allah sebagai dasar aturan dalam semua aspek kehidupan, termasuk bagaimana seharusnya memanfaatkan kekayaan alam tanpa merusak dan tetap menjaga kelestarian alam. Pengelolaan alam dan penataan hutan yang tepat tanpa merusak ekosistem yang ada adalah suatu keharusan.
Negara tak hanya mengunakan teknologi dan tenaga ahli untuk mengekploitasi kekayaan alam, namun juga bagaimana melestarikannya. Negara akan merancang blue print tata ruang yang tepat dan menyeluruh dengan bantuan para ahli, melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya sebagai bentuk pencegahan.
Negara juga wajib menyediakan segala sarana dan prasarana penanggulangan bencana agar lebih cepat dan tepat mengevakuasi ketika bencana terjadi. Budaya korup serta kongkalikong demi keuntungan pribadi sangat mungkin diminimalkan dengan penegakan hukum Islam yang tegas sekaligus mampu memberi efek jera. Sistem Islam membentuk setiap individu memiliki kepribadian Islam sehingga mampu menjadi kontrol pribadi untuk melakukan hal yang melanggar syariat.
Maka jelas, selama hukum Allah belum ditegakkan, kerusakan alam akibat ulah tangan manusia serakah akan terus terjadi. Hanya hukum Allah yang jelas rinci dan sempurna mengatur kehidupan manusia, tidak hanya hubungan manusia dengan sesama, manusia dengan Tuhannya, namun juga dengan alam semesta. Ketika Allah telah menyediakan aruran yang sempurna, lalu mengapa masih berharap pada sistem buatan manusia yang jelas merusak? Islam adalah rahmatan lil alamin ketika ditegakkan secara kafah.Wallahualam bishawab.
.jpeg)