Fenomena 'Marriage is Scary': Jeratan Luka Sistem Kapitalisme

.



H. Bonik Abdillah

(Aktivis Muslimah, Pegiat Literasi, Ngaglik, Sleman, DIY)


Angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam satu dekade terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pernikahan terus menurun sejak 2013, dari lebih dari 2 juta pasangan pada 2018 menjadi hanya sekitar 1,5 juta pernikahan pada 2023. Penurunan ini diperkirakan masih berlanjut hingga 2025 (dki.kemenang.go.id, 30/09/2025).


Takut Nikah


Fenomena generasi muda—khususnya Gen Milenium dan Gen Z banyak yang ragu atau menunda bahkan enggan untuk menikah. Jika dilihat dari data Kementerian Agama menunjukkan bahwa jumlah yang tercatat menurun dari tahun ke tahun. 'Takut menikah' tidak datang tiba-tiba. Bukan tanda bahwa generasi kita tidak ingin beribadah. Tetapi di balik sikap itu terdapat luka ekonomi struktural. Mereka ditahan beban hidup karena; kenaikan biaya hidup dan harga rumah tinggi, jauh lebih tinggi dari pendapatan generasi sehingga tergerusnya daya beli.


Tekanan ekonomi sebab pekerjaan makin tidak pasti, mendorong ketidakpastian finansial. Karena sempitnya lapangan pekerjaan, banyak generasi yang bekerja temporer, freelance, bahkan masih menganggur meski lulus menyandang gelar sarjana. Sehingga pendapatan yang fluktuatif membuat pernikahan terasa berisiko bagi mereka, di tengah sistem yang melelahkan.


Budaya konsumtif dari berbagai media, membuat akad sederhana dianggap “kurang layak”, bahkan dijadikan persaingan sosial. Budaya kapitalistik modern, membuat generasi merasa tidak mampu membangun rumah tangga. Jika hal ini terus dibiarkan, implikasinya bukan hanya personal (kebahagiaan atau pilihan hidup), tetapi juga demografis dan sosial-ekonomi nasional. Padahal di dalam Islam, kemuliaan akad nikah tidak diukur dari kemegahan dekorasi, tetapi dari ketaatan kepada Allah Swt..


Terjerat Sistem Ekonomi Kapitalis


Fenomena ini, sesungguhnya berakar pada sistem hidup yang menguasai kita; sistem kapitalis sekuler liberal. Sistem yang menjadikan hidup sangat materialistis, yang segala sesuatunya dinilai/diukur dari uang dan barang. Bahkan niat menikah pun dibebani dengan biaya gedung, dekorasi, hiburan, hingga konsumsi yang tidak perlu. Sistem yang menjadikan pasar kerja menciptakan ketidakpastian. Sistem yang menjadikan rumah bukan sebagai kebutuhan dasar, melainkan komoditas mewah/barang investasi hingga membuat harganya tinggi tak terkendali.


Kapitalisme menciptakan standar kebahagiaan palsu. Padahal kebahagiaan sejati ada dalam ketaatan, ketenangan, dan keberkahan. Sehingga, wajar jika banyak generasi muda merasa takut menikah. Bukan karena mereka buruk, tapi karena sistem hidup yang zalim menjerat mereka. Lalu, bagaimana agar generasi kita bisa mewujudkan kebahagiaan hakiki?


Solusi Dalam Perspektif Islam


Islam tidak membiarkan manusia mencari jalan sendiri dalam kegelapan ekonomi. Islam mampu memberikan solusi struktural, bukan hanya sekedar nasihat. Karena Islam memudahkan pernikahan. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda bahwa ; "Sebaik-baik wanita ialah yang paling ringan maharnya." (HR. Ahmad, ibnu Hibban, Hakim & Baihaqi).


Artinya, Islam menghapus standar-standar sosial yang memberatkan. Pun kedudukan mahar adalah sebagai hak istri yang wajib diberikan ketika ijab kabul. Meskipun tidak ada aturan terkait jumlah maharnya. Namun, seorang suami hendaknya menyiapkan mahar terbaik untuk sang istri. Islam mengembalikan makna pernikahan sebagai ibadah bukan ajang pamer, tapi gerbang menuju keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.


Dalam sistem Islam, negara wajib memastikan rakyat bisa memenuhi kebutuhan pokok seperti: pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan rasa aman. Dengan penyediaan lapangan kerja yang layak, memberi akses lahan garapan, serta mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan Publik, bukan konglomerat. Melalui pengaturan kepemilikan dan harga, Islam melarang adanya penimbunan, riba, monopoli, dan komersialisasi kebutuhan pokok. Ketika kebutuhannya dijamin negara, generasi muda tidak takut menikah.


Khatimah


Fenomena “Takut nikah” yang terlihat di kalangan generasi muda bukan sekadar masalah pribadi, moral atau perubahan nilai; ia adalah gejala—luka ekonomi—yang ditimbulkan dan diperparah oleh praktik kapitalisme modern: sistem yang membuat biaya hidup melambung, pekerjaan yang tidak stabil, dan budaya konsumtif yang menggerus kemampuan untuk merencanakan keluarga. Sehingga, pernikahan terasa menakutkan. 


Islam memberikan solusi yang tidak hanya menyentuh hati, tetapi memperbaiki akar masalah: sistem ekonomi yang menyejahterakan (perumahan, ketenagakerjaan), pernikahan yang dimudahkan dengan reformasi sosial (meruntuhkan tekanan konsumtif terhadap pernikahan), serta program pemberdayaan ekonomi untuk pemuda. Bila semua personal—pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil—bekerja bersama, akan terwujud keluarga yang penuh keberkahan. Generasi muda tak perlu lagi memilih antara kelangsungan hidup ekonomi dan hak mendirikan keluarga.


Maka, jika generasi muda kembali berani menikah, kita harus: memperkuat iman dan tawakal, menuntut negara menghadirkan sistem ekonomi yang adil, mengembalikan makna pernikahan sebagai ibadah. Karena ketika sistem yang diterapkan dalam kehidupan benar, anak muda tidak perlu takut menjalankan sunah Rasulullah Saw.. Semoga Allah Swt. memberikan kekuatan pada generasi kita untuk berani melangkah menuju kebaikan, memuliakan syariat-Nya, dan membangun keluarga sakinah mawadah warahmah.


Wallahu a’lam bishawab.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel