Nestapa Aceh-Sumatera Warisan Kejayaan Islam di Era Imperialisme Demokrasi
Indriani, S.Pd
(Aktivis Dakwah, Ngaglik, Sleman)
Aceh, daerah yang disebut sebagai “serambi Makkah”, tidaklah muncul secara tiba-tiba. Melalui proses panjang sejak abad ke 7 hingga masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke 16-17. Julukan ini menggambarkan bahwa Aceh dianggap sebagai gerbang awal masuknya ajaran Islam di Nusantara. Sehingga, Aceh menjadi pusat dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara terutama Indonesia, berperan penting dalam pendidikan dan dakwah Islam (tertua). Serta penerapan syariat Islam yang mengakar dalam budaya dan pemerintahan.
Semua itu menjadikan Aceh bukan hanya sebagai pusat peradaban Islam di Indonesia, tetapi juga representasi kecil dari nilai-nilai Makkah di Nusantara. Selain karena perkembangan pendidikan Islam yang sangat kuat, banyak masyarakat dari Nusantara yang menuntut ilmu. Ulama Aceh banyak yang mengajar di Masjidil Harom, sementara jama’ah haji dari seluruh Nusantara berangkat dari pelabuhan Aceh.
Aceh di Tangan Turki Ustmani
Aceh juga mempunyai hubungan erat dengan dunia Islam, terutama Makkah-Madinah dan Turki Ustmani. Hubungan Aceh dengan kekhilafahan Turki Utsmani merupakan hubungan diplomatik yang sangat erat, strategis, religius dan kompleks sejak abad ke 16. Kedua kesultanan ini saling membantu, terutama dalam menghadapi penjajah Portugis dan Belanda. Adapun bentuknya meliputi, permintaan bantuan militer dari Aceh yang terhubung dengan Turki Utsmani melalui pemenuhan senjata dan juga ahli militer. Selain itu Aceh juga mendukung Turki secara ekonomi dengan komoditas dagang seperti lada.
Saat Aceh meminta bantuan militer dari Turki Utsmani untuk menghadapi imperialisme Eropa, yakni Portugis. Turki Ustmani mengirim persenjataan, teknisi meriam, dan infrastruktur militer. Sebagai simbol kemitraan, Acehpun mengirimkan hadiah ke Istanbul berupa lada berkualitas, yang diabadikan dalam kisah “Meriam Lada Secupak.” Aceh resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Turki Utsmani pada abad ke 19, sebagai dua negara yang setara. Terdapat pula kesamaan simbol persaudaraan dengan visi penerapan Islam Kaffah, yakni seperti bulan sabit dan bintang yang menyimboliskan pertalian historis pemerintahan yang kuat.
Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani merupakan bukti kemitraan yang kuat antara dua kekaisaran Islam di masa lalu, yang dibentuk berdasarkan kepentingan bersama dan nilai-nilai persaudaraan Islam. Hingga kita kenal dengan sebutan Aceh “Serambi Makkah.”
Aceh di Tangan Demokrasi Barat
Namun, kontak intensif mulai berakhir, setelah Turki Utsmani runtuh pada tahun 1924, Aceh pun bergabung ke wilayah Indonesia yang masih Federal 1945. Secara legalitas ada penyebutan DIA (Daerah Istimewa Aceh), yang perda-perda otonomi daerah diberikan hak istimewa totalitas diatur secara syariat Islam. Namun, lambat laun, perda-perda tersebut mulai luntur, dan justru tergantikan dengan Undang-undang Barat bernuansa demokrasi, terlebih di tata kelola ekonomi dan industri. Penjajahan gaya baru dibalik program industrialisasi imperialisme Barat, telah meluluh lantahkan kehidupan Aceh-Sumatra.
Imbas dari maraknya pembangunan pabrik-industri asing, di bulan November 2025 telah menyeret wilayah Aceh-Sumatra dalam pusaran banjir yang luar biasa. Seperti yang beritakan CNN Indonesia (28/112025), bahwa banjir dan longsor parah melanda beberapa wilayah di Pulau Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Utara (Sumut), hingga Sumatera Barat (Sumbar) menimbulkan korban jiwa hingga memutus akses komunikasi dan transportasi.
Khatimah
Kondisi Aceh-Sumatra saat ini sangat memprihatinkan. Bak tsunami kedua, “serambi Mekkah” terkikis nyata menjadi nestapa. Ketika Aceh-Sumatra warisan kejayaan Islam, di bawah sistem kepemimpinan imperialisme modern, hutan yang disebut sebagai jantung dunia diperkosa hingga gundul tak tersisa. Rakyat dipaksa beradaptasi dengan polusi udara, air dan berbagai bencana. Demokrasi, telah menggerogoti, menghabisi dan menghisap darah dan bumi rakyat muslim di berbagai wilayah. Sehingga tidak ada lagi yang perlu ditolerir dengan sistem busuk demokrasi, yang selalu memberikan karpet merah para feodal modern untuk memperpanjang imperialisme modern.
Sudah saatnya, Islam dan kekuasaan digabungkan dalam bingkai kekhilafahan Islam. Semua lini yang memang mengaku muslim harus bersama-sama membuka mata atas kezaliman binal ini, mengganti dengan sistem Khilafah Islam warisan Nabi Muhammad Saw.. Dengan tujuan dan thoriqoh yang jelas, serta menyerahkan kekuasaan kepada partai yang shohih untuk diatur dan diselenggarakan kehidupan Islam kembali.
Wallahu’am bi showab.
.jpeg)