ILUSI FOOD ESTATE MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN

 



Oleh: Ummu Afra

(Pemerhati Masalah Sosial dan Politik)


Proyek Food Estate (FE) yang merupakan proyek lumbung pangan skala besar dinilai gagal mewujudkan ketahanan  pangan.  Demi proyek ini, beberapa daerah harus babak belur karena perampasan lahan dan kerusakan lingkungan. Namun proyek ini tetap dijalankan.


Dilansir dari Betahita.id (16/10/24),  Presiden Joko Widodo pada penghujung kekuasaannya  mempercepat pembangunan FE di Merauke, Papua Selatan. Proyek itu meliputi 2,29 juta hektar petak sawah, perkebunan tebu dan pabrik gula serta bioethanol. 


Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) beranggapan bahwa FE Merauke itu merupakan pengulangan proyek gagal yang dilakukan oleh pemerintah, baik di masa Presiden Jokowi maupun lainnya. Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, proyek serupa dinamakan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) namun gagal dan justru menyisakan masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat Papua. Jokowi melanjutkan MIFEE dengan kemasan baru Food Estate (lumbung pangan), dan memperluasnya ke Maluku, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Sumatera dan Jawa. Dan tahun 2025 dianggarkan Rp 124 triliun untuk program ketahanan pangan. Sedang selama pemerintahan Jokowi telah digelontorkan sekitar Rp 600 triliun untuk program ketahanan pangan dan food estate, yang dikelola oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian.


FOOD ESTATE GAGAL DAN TIMBULKAN MASALAH

Berbagai Proyek Food Estate ternyata mengalami kegagalan karena  rencana membangun lumbung pangan tak terwujud. Kegagalan proyek ini disebabkan oleh banyak hal.  

BBC.com (20/10/2024) memberitakan bahwa ribuan hektar lahan proyek food estate di Kalimantan Tengah ditemukan terbengkalai setelah 3 tahun berjalan. Lahan yang telah dibuka kini ditumbuhi semak belukar. Bahkan ada ratusan hectare yang beralih menjadi perkebunana sawit swasta. Para petani mengaku menyerah menanam padi  di lahan food estate setelah beberapa kali gagal panen.  

Pemerintah seharusnya belajar dan menyadari bahwa proyek food estate merupakan proyek yang tidak layak karena hanya berujung kegagalan. 

Rencana pembangunan lumbung pangan tidak akan terwujud meskipun proyek 

ini diteruskan. Yang ada justru mengancam pangan lokal, pembukaan hutan, deforestasi, kerusakan lingkungan dan terjadinya bencana. Semua dampak ini tentu membawa kerugian dalam kehidupan masyarakat. Alih-alih mewujudkan kedaulatan pangan, ruang hidup rakyat dirampas melalui proyek ini. Ada banyak penyebab kegagalan tersebut, diantaranya lahan yang dijadikan objek bertani tidak cocok untuk pertanian.

Dari hasil uji laboratorium dan analisa spatial yang dilakukan Pantau Gambut, hanya 1% dari 243.216 hektar lahan eks PLG (Proyek Lahan Gambut) yang cocok untuk pertanian karena memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Sedangkan padi varietas irigasi dan tadah hujan, yang menjadi komoditas andalan program food estate, biasanya tumbuh di lahan yang punya tingkat keasaman netral. Namun pemerintah tetap memaksakan proyek ini di lahan gambut(BBC.com, 20/10/2024).


MENGAPA FOOD ESTATE GAGAL

Peneliti Pantau Gambut, Juma Maulana, mengatakan bahwa proyek FE gagal karena minimnya melibatkan petani. Para petani hanya dijadikan objek tanpa pendampingan dan penyuluhan. Menurut pantauannya ada petani yang menerima sosialisasi tapi tidak ada keberlanjutannya. Bahkan Pantau Gambut menemukan pembukaan lahan yang justru dilakukan oleh kontraktor. Anggaran dihabiskan seolah untuk perluasan dan pembukaan, tetapi tidak sampai menghasilkan padi. 

Masyarakatpun dipaksa menebang hutan dan menanam satu jenis varietas padi yang tidak biasa mereka tanam. Hal ini akan memicu bencana berupa karhutla (kebakaran hutan dan lahan), yang menurut Pantau Gambut hampir 250 hektare area ekstensifikasi food estate terbakar pada 2023. Selain itu Pemerintah meminta rakyat mandiri dalam mengelola lahan setelah diberi lahan dan bibit (BBC.com, 20/10/2024).

Menurut sekjen  KPA  Dewi Kartika yang dinukil dari Betahita.id (16/10/24), proyek food estate ini menyebabkan empat masalah besar. Pertama, masalah politik pangan nasional. Konsep dan praktek FE mengganti produsen pangan dari tangan petani ke tangan korporasi. Hal ini akan menghancurkan sentra pertanian rakyat. Permasalahan ini sudah terjadi pada sektor sawit. Bisnis sawit selama ini dikuasai dan didominasi korporasi-korporasi raksasa, akibatnya pemerintah justru dikontrol pebisnis sawit. Sampai-sampai pemerintah tidak bisa mengontrol harga minyak goreng. 

Kedua, masalah perampasan tanah. Orang asli Papua adalah pemilik tanah dan hutan adat yang juga diakui dalam otonomi khusus Papua. Kehadiran FE justru merampas tanah Masyarakat Adat Papua dengan mengatasnamakan ketahanan pangan nasional. Pemerintah melegalkan perampasan ini melalui Pasal 123 UU Cipta Kerja yang telah merevisi Pasal 10 UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Demi Kepentingan Umum. Pembangunan kawasan ketahanan pangan yang sarat kepentingan bisnis dikategorikan sebagai kepentingan umum. 

“Akibat dilakukan secara ugal-ugalan, penuh mal-administrasi, kolusi, korupsi dan manipulasi proses di lapangan maka beragam PSN termasuk FE menjadi episentrum konflik agraria di berbagai daerah. Tercatat sampai dengan per Juli 2024, PSN telah menyebabkan 134 ledakan konflik agraria. Tanah terdampak PSN seluas 571 ribu hektar dan masyarakat yang menjadi korban 110 ribu keluarga”, ucap Dewi.

Ketiga, masalah kerusakan lingkungan. Sebagian besar pengadaan tanah untuk FE berasal dari pembukaan hutan dan penebangan kayu secara massif, yang bersifat destruktif terhadap alam dan habitat satwa. Orang asli Papua pun menjadi korban karena kehilangan hutan alami, wilayah adat dan sumber pangan.

Keempat, berulangnya kegagalan FE yang tak membuat kapok. Kegagalan ini dimulai ketika Soeharto memaksakan proyek lahan gambut sejuta hektar (PLG) pada 1995. Hutan di atas tanah gambut dibabat dan mengakibatkan karhutla besar karena ditinggalkan setelah sawah gagal dicetak. 

Semua ini menjadi bukti bahwa pembangunan dalam Kapitalisme bukan untuk kepentingan rakyat namun untuk kepentingan elit oligarki. Proyek yang berbasis kapitalisme hanya ditujukan untuk memuluskan kepentingan kapitalis korporasi yang sangat tamak untuk menguasai sumber daya alam (SDA) termasuk lahan. Maka wajar jika proyek ini justru memunculkan konflik dengan rakyat setempat dan tak menutup kemungkinan lahan food estate yang sudah dibuka dan gagal dibangun digunakan oleh para korporat untuk memperluas usahanya.


ISLAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN

Kedaulatan pangan sesungguhnya akan terwujud dalam penerapan Islam kaffah. Sistem politik Islam akan menghadirkan pemerintah yang berperan sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (pelindung) bagi umat. Dengan penerapan Islam secara kaffah pasti akan terwujud kesejahteraan bagi umat. Pembangunan Islam ditujukan hanya untuk kepentingan rakyat. Pengurusan rakyat oleh penguasa berdasarkan mafhum ra’awiyah yaitu mengurus rakyat dan sebagai amanah yang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah SWT.

Pembangunan dalam Islam, termasuk pembangunan ketahanan pangan, akan memperhatikan berbagai aspek, seperti kelestarian lingkungan, keseimbangan alam, kestabilan kehidupan sosial, dll. Terutama proyek pembangunan lumbung pangan tentu saja akan sangat dikaitkan dengan penyediaan bahan pangan yang merupakan kebutuhan pokok rakyat. Sebab negara bertanggung jawab mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya sehingga negara akan berupaya mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. 

Negara Islam memiliki kemandirian dalam membiayai pembangunan, sehingga tidak bergantung pada swasta atau asing. Dengan kemandirian ini negara tidak akan bisa disetir oleh kepentingan mereka.  Islam menetapkan  sumber anggaran yg banyak dan memiliki aturan bagaimana pemanfaatannya.

Terkait penyediaan pangan, negara akan menentukan kebijakan terkait produksi hingga distribusi pangan yang didasarkan pada Al Qur’an dan As-Sunnah. Untuk peningkatan produksi pangan, Khilafah akan melakukan kebijakan ekstensifikasi lahan dengan memperhatikan konsep pengaturan lahan dalam Islam. Kebijakan tersebut diambil semata untuk kemaslahatan rakyat bukan para kapitalis. Syariat Islam menetapkan bahwa tanah memiliki 3 status kepemilikan, yaitu tanah yang boleh dimiliki individu, tanah milik umum dan  tanah milik negara. Tanah hutan termasuk tanah milik umum karena didalamnya terkandung harta milik umum. Oleh karena itu ijin konsesi atas tanah hutan tidak boleh diberikan kepada pihak swasta, tetapi akan dikelola oleh negara dan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat.  

Disi lain Khilafah akan memberi bantuan berbagai hal yang dibutuhkan para petani, baik modal, sarana-prasarana produksi, hingga infrastruktur pendukung secara murah bahkan gratis. Tujuannya adalah untuk memudahkan aktivitas produksi petani. Semua ini akan membuat rakyat hidup sejahtera karena terwujud kedaulatan pangan tanpa perampasan ruang hidup masyarakat. Wallahu a’lam bishshawab.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel