MENYEMAI CINTA PADA NABI PASCA RABIUL AWWAL

 



Oleh: Inge Oktavia Nordiani

Semarak peringatan Maulid Nabi membahana di jagad raya. Tidak ada hari yang utama untuk dikenang melainkan hari dimana dilahirkannya seorang Nabi terakhir nan mulia, Muhammad Saw. Hari dimana saat itu patung-patung berhancuran dengan sendirinya. Api sesembahan orang-orang majusi mati seketika. Cahaya meliputi rumah Ibu Siti Aminah, Ibunda Muhammad Saw yang tengah menjalankan proses persalinan tanpa didampingi seorang suami. Abdullah, suaminya telah wafat ketika usia kandungan Ibunda Aminah berusia 6 bulan.


Rasulullah Saw merupakan karunia terbesar bagi umat akhir zaman. Bulan Rabiul Awwal adalah momentum mengingat kembali perjuangan besar Nabi yaitu perjuangan keimanan hingga peradaban. Bukanlah hal sepele yang dibawa nabi melainkan sebuah kehidupan sepanjang usia manusia di muka bumi. Sebagai umat akhir zaman rasanya tidak cukup bagi kita untuk sekedar kagum pada Rasulullah Muhammad Saw, melainkan sudah seharusnya senantiasa membuka lembaran-lembaran Al-Qur`an dan Al-Hadist, membaca sekaligus mentadaburinya di tengah kondiisi kehidupan yang semakin tampak kerusakannya. Sebagaimana hadist nabi: 

“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya (Hadits Shahih Lighairihi, HR. Malik: al Hakim, al Baihaqi Ibnu Nashr, Ibnu Hazm)”.

Will Durrant dalam Buku _The Story of Civilization_, menyebut Nabi Saw sebagai pemimpin yang membimbing umat dengan ajarannya, pejuang yang mengangkat harkat dan martabat bangsa jahiliyah yang biadab karena panas dan kegersangan gurun, pembaharu yang paling sempurna, belum pernah ada orang yang begitu berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya seperti Nabi. Ia adalah imam masjid, kepala Negara di Pemerintahan, panglima di medan pertempuran, psikolog yang merubah jiwa manusia yang biadab menjadi jiwa yang memancarkan tinggi peradaban, politikus yang cemerlang, berhasil menyatukan bangsa-bangsa yang saling bermusuhan, hanya kurang dari seperempat abad, pemimpin rohani yang melalui peribadatannya telah mengantarkan jiwa pengikutnya kea lam kelezatan samawiyah dan keindahan suasana ilahiyah.  Oleh karena itu, tidak cukup hanya sekedar kagum melainkan juga memperbaharui cinta serta ittiba` (mengikuti) atas segala hal yang dibawa nabi. 


Kaum muslimin telah lama hidup dalam bayang-bayang sekulerisme. Sekulerisme sendiri adalah paham yang memisahkan agama dari urusan publik, khususnya dalam politik dan pemerintahan. Ranah ibadah dan diri sendiri masih sangat melekat pada diri tiap-tiap pribadi muslim. Namun tidak untuk ranah kehidupan sosial tidak berdasar agama. Dari sekulerisme inilah tampak kerusakan demi kerusakan bahkan hingga masalah sistemik. Hal ini mengkonfirmasi semakin mempertahankan sekulerisme, semakin jauh pula kaum muslimin meninggal ajaran Nabi. Dampaknya pun meliputi indivudu, masyarakat juga Negara. Secara individu, banyak kaum muslim yang tidak lagi menjadikan islam sebagai pedoman hidup hingga menyebabkan hidup tidak tentu arah. Bahkan rusak dan merusak. Bagi masyarakat, memunculkan masyarakat yang individualis dan tidak peduli terhadap sesame apabila secara kolektif meninggalkan ajaran Nabi. Sebab islam mengajarkan aturan-aturan yang menjaga keharmonisan sosial, keadilah dan kesejahtraan. Sedangkan bagi Negara meninggalkan ajaran Nabi Saw dan tidak menerapkan syari`at secara menyeluruh akan menghadapi berbagai krisis baik dari sisi moral, politik, hukum, sosial maupun ekonomi.  Sebab, syari`at islam bukan hanya mengatur hubungan antara individu tetapi juga memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana sebuah Negara harus dikelola. 


Pandangan sekulerisme ini bertentangan dengan ajaran islam yang menuntut keterpaduan antara agama dengan kehidupan sehari-hari, termasuk dalam urusan pemerintahan dan masyarakat. Oleh karena itu sekulerisme tidak bisa dianggap sebagai bentuk cinta kepada Nabi Saw. Sebaliknya penerapan sekulerisme justru menafikan peran besar yang diajarkan oleh Nabi Saw tentang pentingnya mengintegrasikan agama dalam semua aspek kehidupan termasuk politik dan hukum. Inilah yang menjadikan PR besar bagi umat islam bagaimana agar  bisa menyemai cinta pada Nabi Muhammad Saw pasca bulan Rabiul Awwal?


Sebagai Umat islam seharusnya juga senantiasa memperhatikan derajat kecintaannya kepada Nabi Saw. Dalam Shahih Al-Bukhari diriwayatkan, Umar bin Khatthab ra pernah berkata kepada Nabi Saw, “Sungguh engkau, wahai Rasulullah adalah orang yang paling aku cintai daripada segala sesuatu selain diriku sendiri”. 

Rasulullah bersabda, “Tidak, Demi zat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri”.

Umar ra pun berkata kepada beliau, “Sekarang ini engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri”

Nabi Saw pun bersabda, “Sekarang telah sempurna kecintaanmu (imanmu) kepadaku, wahai Umar” (HR. Al-Bukhari).

Dari hadits di atas bisa dijelaskan bahwa mengaku cinta kepada Nabi Saw tidak cukup hanya pernyataan, tapi lebih dari itu adalah bagaimana menempatkan cinta itu sendiri. Jika masih ada yang lebih dicintai dibandingkan Allah dan RasulNya itu artinya cinta itu masih belum sempurna. Bahkan demi cinta kepada Nabi Saw, cinta kepada diri sendiri pun harus dikalahkan sebagaimana pesan Nabi pada Umar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel