Pesantren Sebagai Pendidikan Ulama, Diarahkan Lebih Moderasi


Oleh; Ummu Atiqa (Aktivis Muslimah Kalsel)

Jika kita menelisik lebih jauh dan detail. Dunia pendidikan sekarang terlihat lebih baik dan modern, akan tetapi melihat outputnya sangat amat berantakan. Bagaimana tidak, dari sekolah umum, swasta hingga pesantren banyak sekali ditemukan kasus-kasus tertentu yang membuat hati kian miris dan teriris. 

Pesantren dan sekolah tempat menimba ilmu dan mendidik karakter anak bangsa, mengapa sekarang seringkali terjadi tindakan bullying, kekerasan, dan bahkan kriminal.  Salah satu contoh yang baru ini, Aprizal Wahyudi Diprata diamankan Tim Subdit Renakta Ditreskrimum Polda Jambi, usai mencabuli 12 santri. Pimpinan Pondok Pesantren Sri Muslim Mardatillah itu ternyata bergelar doktor (Dr) muda. 

Namun siapa sangka dibalik latar belakang pendidikan tingginya, Aprizal tega mencabuli 12 orang santrinya. Sebanyak 11 orang santri laki-laki ia sodomi, sedangkan 1 orang santriwati diperkosanya (www.detik.com, Selasa 29/10/2024).

Kasus diatas salah satu contoh miris yang terjadi didalam negeri ini. Bahkan sekelas pesantren terjadi hal yang menjijikan tersebut. 

Pesantren Didesain Sedemikian Rupa

Untuk mempercepat pengembangan dan pemberdayaan pesantren agar makin berdaya, bermutu, dan layak menjadi lembaga pendidikan keagamaan disusun UU Pesantren No. 18 Tahun 2019. Dalam UU tersebut, ditentukan pula lembaga penjamin mutu pendidikan pesantren yang dinamakan Majelis Masyayikh.

Namun, mubaligah nasional Ustazah Kholisoh Dzikri menilai, UU tersebut justru membentuk arah pendidikan pesantren menjadi moderat.

“UU Pesantren No. 18 Tahun 2019 menjadikan arah pendidikan pesantren menjadi moderat dengan tujuan untuk membentuk pemahaman agama dan keberagamaan yang moderat (Pasal 3),” tuturnya kepada MNews, Jumat (8-11-2024)

Ia melanjutkan, output yang dihasilkan adalah santri yang memiliki paham Islam moderat. “Pasal 10 UU tersebut menyebutkan bahwa santri dididik untuk menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., menyemaikan akhlak mulia, memegang teguh toleransi, keseimbangan, moderat, rendah hati, dan cinta tanah air,” bebernya.   

Fungsi dakwah pesantren di UU ini, jelasnya, juga diarahkan pada dakwah Islam moderat sebagaimana disebutkan  dalam Pasal 38  bahwa dakwah pesantren harus mengajarkan pemahaman dan keteladanan pengamalan nilai keislaman yang toleran (tasamuh), keseimbangan (tawazun), dan moderat (tawasut).

“Moderasi beragama ini melemahkan kualitas pesantren dalam mencetak ulama warasatul anbiya’ (pewaris para Nabi). Padahal, pesantren adalah lembaga tafaqquh fiddin untuk mencetak santri menjadi ulama warasatul anbiya’ yang berakhlak mulia dan terdepan dalam amar makruf nahi mungkar,” tegasnya.

Dikehendaki Barat

Dalam analisisnya, moderat adalah karakter yang dikehendaki Barat yang direkomendasikan oleh Rand Corporation untuk membentuk jaringan muslim moderat.

“Muslim moderat yang dimaksudkan adalah yang akomodatif terhadap pemikiran barat berupa HAM, kesetaran gender, pluralisme, dan menerima sumber hukum selain Islam,” jelasnya.

Ia menambahkan, di negeri-negeri muslim, ide ini dikemas untuk menyembunyikan kesesatannya agar diterima masyarakat muslim dengan kemasan tawasut (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan it’idal (adil).”

“Adanya UU Pesantren, alih-alih meningkatkan mutu pendidikan pesantren, yang ada justru menguatkan proyek Barat untuk mengokohkan peradaban sekular yang kapitalistik dengan proyek moderasi beragama. Nauzubillah min dzalik,” pungkasnya. 

Visi Pesantren 

Kemenag RI tengah merumuskan Peta Jalan Pengembangan Pendidikan Pesantren yang dibahas dalam sebuah focus group discussion (FGD) bertajuk “Tata Kelola Kelembagaan Pendidikan Diniyah dan Ma’had Aly”. Pembahasan Peta jalan kali ini difokuskan pada pemahaman dan penguatan tafaqquh fiddin, serta peran pendidikan dan dakwah pesantren. Dengannya, diharapkan pesantren sebagai entitas yang sangat adaptif untuk bisa berperan makin dalam guna mendukung pembangunan bangsa Indonesia.

Hadir sebagai narasumber, Alissa Wahid memantik diskusi dengan menyoroti peran pesantren dalam konteks UU Pesantren. “Dengan hadirnya Undang-Undang Pesantren, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi dan melayani pesantren sebagai bagian integral dari kehidupan bangsa,” ungkapnya.

Ia juga mengajak audiens untuk menuliskan visi pesantren 10 tahun ke depan yang diharapkan dapat menjadi pusat pengembangan sumber daya yang unggul dengan kurikulum progresif. “Kita perlu negara untuk mengonsolidasikan sumber dayanya untuk pesantren. Visi ini akan membantu mengkristalisasi peran pesantren yang dapat melahirkan santri unggulan dalam pembangunan bangsa,” tuturnya.


Penderasan Moderasi dan Deradikalisasi

Perumusan Peta Jalan Pengembangan Pendidikan Pesantren pada dasarnya sudah dimulai dilakukan sejak kurang lebih tiga tahun terakhir. Peta Jalan Pengembangan Pendidikan Pesantren ini menyatu dalam proyek lain yang saling berkaitan, yaitu Peta Jalan Moderasi Beragama dan Peta Jalan Kemandirian Pesantren.

Berbagai forum diskusi telah diselenggarakan. Di dalamnya membahas tema-tema seputar moderasi beragama dan pemberdayaan ekonomi untuk kemandirian pesantren. Misalnya, (1) membangun kemandirian pesantren sebagai kekuatan dalam mewujudkan moderasi beragama, (2) strategi penguatan dan implementasi moderasi beragama, (3) peran strategis Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam mewujudkan kerukunan umat beragama melalui pengarusutamaan moderasi beragama, dan sebagainya.

Sementara itu, untuk perumusan Peta Jalan Pengembangan Pendidikan Pesantren kali ini lebih fokus pada penguatan pemahaman dan tafaqquh fiddin. Proyek ini digagas oleh tokoh-tokoh yang sudah dikenal moderat.

Oleh karena itu, bisa dipastikan pengembangan pemahaman dan penguatan tafaqquh fiddin yang dikehendaki akan dibawa ke arah yang lebih moderat.

Terlebih dalam FGD, perumusan Peta Jalan Pengembangan Pendidikan Pesantren juga dikaitkan dengan pendanaan yang ini bisa menjadi persyaratan untuk memaksa pesantren menjadi lebih moderat jika ingin mendapatkan bantuan anggaran pendidikan.

Dengan demikian, melalui peta jalan ini, penderasan moderasi dan deradikalisme akan makin masif terjadi di pesantren yang akhirnya akan melahirkan ulama-ulama moderat yang akan mengukuhkan eksistensi sistem sekularisme, demokrasi, dan kapitalisme. Bisa dikatakan bahwa pada dasarnya perumusan peta jalan ini menjadi jalan penderasan moderasi beragama dan deradikalisasi.


Santri Unggulan Bukan Corong Moderasi

Dengan mencermati gagasan peta jalan tersebut, maka apa yang dikatakan sebagai “santri unggulan” yang dimaksud, pada dasarnya adalah proyek yang bertujuan untuk mencetak para santri dan ulama yang akan menjadi corong moderasi.

Jika kita mengamati kondisi pesantren, sejak awal kemunculannya sangat kental dengan visi pendidikan untuk mencetak santri faqih fiddin. Faqih fiddin sendiri seharusnya dikembalikan pada pemahaman paham Islam kafah, bukan Islam moderat. Melalui hal ini, akan terbentuk para santri dan ulama yang sangat dekat dengan Al-Qur’an dan Hadis, penjaga Islam yang tepercaya, ulama yang mampu menjadi cahaya di tengah kegelapan, serta ulama yang terdepan dalam melawan kezaliman (amar makruf nahi mungkar).

Allah Swt. berfirman dalam QS Fatir ayat 28, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Santri unggulan harus berpegang teguh pada Islam yang lurus, dibangun dengan pemahaman Islam sebagaimana diajarkan langsung oleh Rasulullah, para sahabat, hingga para ulama terdahulu (salaf) yang hanya menyandarkan pada Al-Qur’an dan Sunah, serta didukung rujukan kitab-kitab turats yang tepercaya. Para santri dan ulama ini akan mempelajari Islam secara kafah, mendakwahkannya, hingga berjuang menerapkannya dalam institusi syar’i yang juga telah Rasulullah contohkan berupa Daulah Islam dan dilanjutkan oleh para sahabat dalam sistem Khilafah Islamiah.

Oleh karenanya, sangat tidak tepat jika menyiapkan santri unggulan melalui penguatan Islam moderat dalam proyek moderasi beragama dan deradikalisasi. Ini karena sejatinya, Islam moderat adalah cara pandang Barat atas Islam yang hendak ditanamkan pada umat Islam dan generasi mudanya. Proyek ini sejatinya adalah bagian dari proyek Indonesia Emas yang menjadikan bonus demografi dengan penduduk usia muda (Gen Z) sebagai salah satu tumpuannya sebab di tangan generasi mudalah terletak kepemimpinan masa depan.

Dengan mengarahkan cara pandangnya yang moderat (sekuler) ala Barat tersebut, akan menjadi jaminan eksistensi kapitalisme demokrasi tetap berkuasa atas dunia dan umat Islam. Alhasil, santri unggulan harus menyuarakan dan hanya mendakwahkan Islam kafah. Santri unggulan bukan corong moderasi.


Pesantren Mencetak Santri Berkepribadian Islam Kafah

Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara, pesantren yang didirikan oleh para wali, kiai, dan penyebar agama Islam, telah menempa para santri menjadi pribadi yang tafaqquh fiddin dengan Ikhlas. Istilah pesantren merujuk pada tempat belajar bagi kaum intelektual muslim yang dinamakan “santri”. Mereka mewarisi dan memelihara keberlanjutan tradisi keilmuan Islam sehingga sampai kepada dakwah Rasulullah (saw.).

Tujuan pendidikan pesantren sama dengan dasar-dasar penetapan tujuan pendidikan Islam. Pesantren adalah bagian yang tidak terpisahkan atau bentuk lembaga pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah membentuk kepribadian Islam. Sedangkan kepribadian islami itu hakikatnya adalah mengandung nilai perilaku manusia yang didasari oleh iman dan takwa kepada Allah Swt. sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Ketika tujuan hidup manusia adalah ibadah, dalam pengertian pengembangan potensi, maka ditemukan pula tujuan menurut Islam, yaitu menciptakan manusia abid.

Sepanjang sejarahnya, pesantren melahirkan banyak ulama faqih fiddiin pewaris Nabi. Mereka menjadi mercusuar umat yang memiliki tsaqafah, leadership, dan wawasan politik sehingga mampu melakukan amar makruf nahi mungkar dan memimpin umat. Sebagaimana peristiwa bersejarah Resolusi Jihad. K.H. Hasyim Asyari yang menjadi pelopor, mengomandani para kiai dan santri untuk melawan penjajah di Tanah Jawa. Ini menjadi sebuah pelajaran bagi generasi selanjutnya bahwa Islam dan kaum muslimin berjuang melawan segala bentuk penjajahan di muka bumi.

Keberadaan pesantren saat ini sungguh masih sangat dibutuhkan umat. Dari pesantrenlah didapat sebuah proses bagi generasi umat mendapatkan pemahaman terhadap tsaqafah Islam lebih banyak daripada lembaga pendidikan umum. Di pesantren, mereka idealnya diajari menjadi pribadi-pribadi yang memiliki pemahaman Islam secara utuh.

Tsaqafah keislaman pesantren diperoleh dari kitab-kitab kuning yang mengajarkan akidah dan keimanan secara utuh, juga syariat Islam yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Bukan hanya pembahasan soal ibadah, tetapi juga ekonomi dan pendidikan dari kacamata Islam dengan kurikulum yang mampu membentuk kepribadian Islam.

Demikian pula sistem sosial yang mengatur pergaulan laki-laki dan perempuan, visi misi penataan kehidupan berkeluarga, bahkan sistem politiknya—tata pemerintahan—diatur sedemikian terperinci dalam Islam.

Sejatinya, yang membutuhkan pemahaman Islam yang utuh bukan hanya anak-anak yang mengenyam pendidikan di pesantren, melainkan juga seluruh anak-anak umat. Semua elemen bertanggung jawab mengupayakan terpenuhinya hak mereka untuk mendapatkan pemahaman utuh tentang Islam.

Sementara itu, anak-anak umat hari ini juga memiliki tantangan kehidupan masa kini. Mereka membutuhkan penguasaan sains dan teknologi, juga kecakapan istimewa dalam menjalani kehidupan. Hal semacam ini pada kenyataannya lebih banyak diperoleh dalam sekolah umum yang diselenggarakan oleh negara.

Hanya saja, dengan alasan menjawab tantangan zaman, pemerintah justru mengesahkan Perpres No. 82 tentang Pendanaan Pesantren yang merupakan turunan dari UU 18/2019 tentang Pesantren. UU ini sendiri masih menyisakan persoalan karena membingkai pesantren dalam kerangka filosofis moderat yang secara tertulis dalam UU tersebut mendorong pesantren untuk mengusung Islam moderat.

Walhasil, Islamlah yang sejatinya dibutuhkan oleh para santri, generasi, dan bangsa ini untuk keluar dari berbagai persoalan kehidupan. Bukan dengan peta jalan pesantren yang justru akan mencetak para santri dan ulama yang menjadi corong moderasi dan menjadikan kurikulum Pendidikan Nasional berlandaskan sekularisme. Wallahualam.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel