Praktik Kotor Pilkada dalam Sistem Demokrasi, Rakyat Makin Sengsara


Oleh: Hamsina Ummu Ghaziyah 

Dalam waktu dekat KPU akan menggelar pemilihan kepala daerah (pemilukada) untuk 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota di seluruh Indonesia secara serentak pada tanggal 27 November 2024. Pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi di Indonesia. Namun sayang, pelaksanaan pilkada maupun pemilu sering kali diwarnai dengan praktek-praktek kotor yang dilakukan oleh para kandidat atau figur politik.

Kenyataan demikian bukanlah rahasia umum dalam panggung demokrasi, seperti yang dilansir dari laman resmi tirto.id (26/10/2024), pilkada Jawa Tengah 2024 ternodai dengan munculnya dugaan mobilisasi kepala desa (kades) untuk memenangkan salah satu kandidat. Mirisnya, praktek Kotor semacam ini terjadi secara masif dalam beberapa pekan terakhir. 

Praktek Kotor lainnya yang tak kalah mencengangkan adalah ketika salah satu calon Bupati di salah satu daerah dalam kampanye kotornya menjanjikan masuk surga bagi calon pemilihnya. 

Hal ini jelas sangat berlebihan dan melampaui batas kepatutan. Masalah surga dan neraka itu bukan hak seseorang yang menentukan tetapi merupakan hak prerogatif Tuhan. Hendaknya semua kontestan pilkada menghindari kampanye dengan model seperti itu. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Zainut Tauhid Sa'adi dalam merespon calon Bupati yang viral saat kampanye menjanjikan pemilihnya masuk surga.

Lebih lanjut, "Kampanye seperti itu masuk dalam katagori mengeksploitasi agama untuk kepentingan politik," kata Kiai Zainut kepada Republika.co.id, Ahad (27/10/2024).

Sementara itu, untuk anggaran pilkada serentak 2024 yang ditaksir lebih dari 41 triliun rupiah. Jumlah ini dihitung berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 8 Juli 2024. Angka ini bersumber daribesar anggaran yang telah disepakati pemerintah daerah (Pemda) dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) pilkada 2024 masing-masing bersama KPU, Bawaslu, TNI, dan kepolisian setempat. (Kompas.com,20/7/2024)

Sejak tahun lalu, Kemendagri Tito Karnavian telah meminta setiap daerah menyiapkan anggaran pilkada serentak sebanyak 40 persen dari APBD 3023 dan 60 persen dari APBD 2024. Lebih lanjut, Tito Karnavian menjelaskan bahwa ini merupakan siasat supaya pemerintah daerah (Pemda) tak mengalami beban anggaran terlalu berat. 

Dalam Rapat Koordinasi Kesiapan Penyelenggara Pilkada Serentak 2024 Wilayah Sumatera di Medan, Sumatera Utara, Selasa (9/7/2024) yang dilansir dari laman resmi kompas.com (20/7/2024), Tito Karnavian memaparkan  sebanyak 541 Pemda sudah menganggarkan total Rp 28,75 triliun dana pilkada 20204 untuk KPU masing-masing wilayah. Sementara pada sisi pengawasan, 518 Pemda menyiapkan anggaran sebesar Rp 8,55 triliun buat Bawaslu setempat. Diluar itu, masih ada 23 Pemda yang seluruhnya ada di Aceh belum meneken NPHD dengan Panwaslu.

Sementara itu, dari sisi pengamanan, 314 Pemda sudah mengalokasikan dana sebesar Rp 871,77 miliar untuk TNI pada kesatuan setempat. Kemudian 333 Pemda telah menyediakan dana Rp 2,83 triliun untuk kepolisian setempat. Dan pada kemungkinannya, total sekitar 41 triliun rupiah dana Pemda untuk pilkada 2024 dimasing-masing wilayah masih akan bertambah. Karena sebagimana data diatas، belum semua Pemda meneken NPHD dengan pemangku kepentingan terkait.

Besaran biaya pesta demokrasi tidak sedikit yang harus dikeluarkan baik dalam pilpres hingga Pilkada yang jumlahnya mencapai miliaran hingga triliunan rupiah. Terlihat bahwa biaya pesta demokrasi tidak hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat lokal/daerah. Seperti halnya pilpres, tingginya biaya pesta demokrasi dalam pilkada pun menelan biaya yang cukup besar. Hal ini karena pilkada mencangkup wilayah yang lebih luas serta adanya persaingan ketat diantara para calon-calon kepala daerah maupun calon legislatif.

Oleh karena itu, untuk meminimalisir pengeluaran anggaran para calon kepala daerah atau calon legislatif mereka menjalin hubungan kerja sama dengan para pemodal/kapitalis. Bagaikan simbiosis mutualisme baik para calon yang mengejar kursi kekuasaan maupun para pemodal ini saling berharap dan saling menguntungkan. Para calon kepala daerah atau calon legislatif berharap mendapatkan suntikan investasi dari para pemodal sementara para pemodal sendiri berharap mendapatkan jatah proyek setelah calon tersebut terpilih. Kerja sama yang saling menguntungkan ini bagaikan politik balas budi yang sering kali terjadinya praktek korupsi  di pemerintah daerah maupun parlemen.

Selain mengharapkan suntikan dana dari para "investor politik" ini, banyak pula para calon melakukan praktek Kotor dengan melakukan serangan fajar atau politik uang kepada masyarakat. Praktek kotor seperti ini merupakan harapan bagi si calon untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Oleh karena itu, Badan Pengawasan Pemilu untuk daerah Kalimantan Tengah mengingatkan masyarakat agar tidak terlibat dalam praktek serangan fajar atau politik uang menjelang pilkada 2024. 

Bawaslu Kalteng juga menghimbau agar masyarakat harus memahami bahwa tindakan serangan fajar atau politik uang bisa dikenakan sanksi. Mulai dari sanksi pidana penjara hingga denda puluhan juta rupiah sesuai pasal 515 dan Pasal 523 Ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu.

koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Humas Bawaslu Kalteng Siti Wahidah mengatakan siapa saja yang memberi dan menerima serangan fajar sanksinya adalah pidana. (Tribunkalteng.com)

Namun pada faktanya praktek-praktek kotor seperti ini masih terjadi dilapangan. Sementara masyarakat begitu mudah tergiur dengan sejumlah uang, sembako hingga voucher yang diberikan oleh para pendukung calon pemilihan. Hal ini sejatinya karena masyarakat saat ini sangat jauh dari ajaran Islam. Agama hanya dijadikan sebagai formalitas belaka yang hanya mengatur ranah ibadah tetapi tidak dengan kehidupan. Inilah sekularisme, sistem yang memisahkan agama dari kehidupan sehingga agama tidak berhak mengatur kehidupan masyarakat.

Demikianlah begitu banyaknya kekisruhan yang mewarnai proses pilkada diberbagai daerah. Diantaranya mobilisasi kades untuk memilih Paslon tertentu, praktek suap, janji masuk surga, dan lainnya. Hal ini kemudian menjadikan masyarakat sebagai korban dari proses pemilihan kepala daerah dalam sistem demokrasi yang sejatinya hanya menguntungkan kepentingan tertentu atau oligarki. Padahal seperti yang kita ketahui, bahwasanya biaya yang digelontorkan untuk pesta demokrasi adalah uang rakyat . Sementara dibalik gempita pesta demokrasi tersebut justru rakyat mendapatkan banyak persoalan mulai dari konflik terpecah belah, konflik horizontal, hingga tidak terwujudnya kesejahteraan.

Inilah proses pemilihan kepala daerah dalam sistem demokrasi sudahlah menelan biaya mahal, banyak terjadi praktek-praktek kotor, rakyat pun hanya jadi korban kepentingan oligarki. Oleh karena itu, Islam memiliki mekanisme dalam memilih kepala daerah yang mana dalam proses pemilihan tersebut dilakukan secara praktis, mudah, sederhana dan hebat biaya.

Kepala daerah dalam Islam di duduki oleh dua struktur yaitu Wali dan Amil. Wali menduduki wilayah setingkat provinsi, sementara Amil menduduki wilayah setingkat kota/kabupaten. Seseorang yang diangkat menjadi Wali dan Amil harus memenuhi kriteria dan syarat yang ditentukan syariat untuk menjadi penguasa. Diantara kriteria dan syarat yang ditentukan syariat yaitu muslim, lelaki, merdeka, berakal, dewasa, adil dan memiliki kemampuan mengemban tugas Pemerintahan.

Di dalam Islam pengisian jabatan Wali dan Amil haruslah ditentukan oleh Khalifah sebagai penguasa khilafah. Islam memiliki mekanisme pengisian jabatan kepala daerah (Wali dan Amil) diantaranya:

Pertama, jabatan Wali dan Amil murni menjadi wewenang Khalifah. Hanya Khalifah yang berhak mengangkat Wali dan Amil dan berwenang pula dalam mencopotnya. Dna ini dilakukan dengan mempertimbangkan saran dan usulan dari Majelis Wilayah setempat.

Kedua, Khalifah juga dapat mendelegasikan jabatan Amil kepada Wali atau kepada Muawin Tafwidz yang ditunjuknya atau tetap mengangkatnya dan menetapkannya secara mandiri.

Ketiga, Khalifah dapat mengangkat dan terus mempertahankan jabatan Wali dan Amil jika dalam pandangan Khalifah wali dan amiltaat syariat dan sejalan dengan kebijakan Khalifah.

Keempat, jika Khalifah berkehendak baik atas pertimbangan adanya pelanggaran hukum Syara' atau pertimbangan lainnya maka Khalifah berhak mencopot jabatan Wali dan Amil setiap saat.

Kelima, selain itu Khalifah juga berhak mencopot jabatan wali dan Amil jika saja ada protes atau komplain dari masyarakat terhadap aktivitas pemerintahan yang dijalankannya . Selanjutnya, Khalifah dapat mengangkat Wali dan Amil baru baik atas usulan wilayah dan daerah atau atas pandangan kebijakan Khalifah sendiri.

Inilah mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dalam sistem Islam. Mekanisme pemilihan yang dijalankan begitu mudah, praktis, sederhana dan hemat biaya . Hal ini karena jabatan kepala daerah (Wali dan Amil) berada ditangan Khalifah dan dipilih langsung oleh Khalifah. Mereka yang terpilih tentunya merupakan individu yang amanah, berintegritas, dan memiliki kapabilitas. Dengan kepemimpinan yang tepat dan menerapkan hukum syariat maka rakyat akan diurus dengan baik dan tentunya akan hidup dalam sejahtera.


Wallahu A'lam Bishshowab

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel