Program ‘Food Estate’: Mengukir Kegagalan Baru
Senin, 11 November 2024
Edit
Oleh : Rini
Swasembada pangan menjadi salah satu poin yang di angkat oleh presiden Prabowo Subianto dalam pidato pertamanya usai dilantik sebagai Presiden Indonesia pada 20 Oktober 2024 lalu. Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmen Indonesia menuju swasembada pangan dan energi sebagai langkah utama guna menghadapi tantangan global yang makin kompleks. Presiden Prabowo pun optimis 4-5 tahun Indonesia akan swasembada pangan. Bahkan kita siap menjadi lumbung pangan dunia, harapnya (www.kominfo.go.id, 20/10/2024)
Untuk mewujudkan hal ini, Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan bahwa pemerintah tengah mempersiapkan program cetak sawah atau lumbung pangan (food estate) yang menargetkan pengembangan 3 juta hektar lahan sawah hingga tahun 2029. Kementerian Pertanian fokus memanfaatkan lahan potensial yang belum tergarap optimal, seperti rawa dan lahan suboptimal, untuk mendukung produksi pangan nasional. Pada tahap awal, 150.000 hektare akan dicetak pada tahun 2025 di Kalimantan Tengah ( www.antaranews.com, 25/10/2024)
Perjalanan Panjang Program Food Estate
Program cetak sawah atau lumbung pangan (food estate) bukanlah hal baru. Program ini telah lama ada dan terdiri dari tiga periode, yaitu food estate era I, food estate era II, dan food estate era III.
Program Food Estate Era I diluncurkan pada masa Presiden ke-2 Republik Indonesia (RI) Soeharto mencanangkan Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah. Keberadaan PLG tersebut pada akhirnya dinyatakan selesai dan gagal pada 1998 melalui Keppres No. 33 Tahun 1998 di masa kepemimpinan BJ Habibie. Pada akhirnya lahan gambut yang sudah disiapkan berubah menjadi perkebunan sawit hingga ini lantaran kurangnya kajian sosio-ekologi pada ekosistem gambut.
Program Food Estate Era II terjadi di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2010 dalam Program bertajuk Merauke Integrated Energy Estated (MIFEE). Program ini membuka lahan seluas 1,2 juta hektare untuk sawah di Merauke, Papua. Dalam implementasinya, program food estate MIFEE justru menghancurkan hutan sagu rakyat yang berakibat masyarakat lokal mengalami kesulitan mendapatkan bahan pangan.
Kendati gagal, presiden SBY kembali menyelenggarakan program ketahanan pangan Bulungan, Kalimantan Utara pada 2011 dengan membuka lahan untuk sawah seluas 30.000 hektare lahan transmigrasi di kawasan Kota Terpadu Mandiri Salim Batu. Pada tahun 2013 Program food estate dilanjutkan di Ketapang, Kalimantan Barat pada 2013. Namun dari 100.000 hektare, hanya sekitar 0,11 persen lahan yang berhasil dimanfaatkan. ketidaksesuaian sosial budaya masyarakat dan belum tersedianya infrastruktur pendukung menjadi faktor gagalnya program ini.
Program Food Estate Era III dimulai pada masa Presiden Jokowi di Kalimantan pada 2020 dengan 20.000 hektare lahan sawah yang digunakan berasal dari bekas Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar warisan Soeharto. Pada 2021, Pemerintah juga mulai menggaungkan program untuk mencetak cadangan karbohidrat dengan membuka perkebunan singkong seluas 31.000 hektare di daerah Gunung Mas bekerjasama dengan Korea Selatan. Kemudian, program food estate dilaksanakan pula di Humbang hasundutan, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dan Pakpak Bharat dengan menyediakan Lahan seluas 30.000 hektare kepada petani.
Hasil dari semua program ini, kondisi alam menjadi terganggu karena ratusan hektare hutan alam beralih fungsi dan menyebabkan bencana banjir di sejumlah daerah yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Petani pun pada akhirnya terikat kontrak kerja sama dengan pemerintah dengan harga yang sudah ditentukan. Imbasnya, petani lebih memilih untuk menjual hasil panen ke pasar karena memiliki harga jual lebih tinggi.
Melanjutkan program, Pada masa pemerintahan baru Prabowo-Gibran, Food Estate termasuk dalam pos program Ketahanan Pangan yang dipilih, terutama untuk meningkatkan komoditas padi, jagung, singkong, kedelai, dan tebu dengan total anggarannya mencapai Rp 108,8 triliun pada 2024 (www.kompas.id, 20/02/2024)
Lantas mampukah food estate pada era Prabowo Subianto mewujudkan kesejahteraan?
*Kegagalan berulang Food estate*
Food estate menjadi hal yang terus digaungkan setiap pergantian pemerintah, ini menandakan bahwa ada perhatian khusus pada proyek ini. Kondisi ini tidak bisa dimungkiri karena food estate bertujuan untuk mewujudkan lumbung pangan yang melimpah demi menguatkan ketahanan pangan nasional. Kekayaan sumber daya alam Indonesia yang melimpah menjadi sebuah keyakinan bahwa lumbung pangan amat sangat mudah diwujudkan.
Namun seakan bermimpi di siang hari, program food estate justru dinilai proyek serampangan oleh banyak pengamat. Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori, menyebut bahwa dalam praktiknya program food estate dikerjakan serampangan alias sembarangan. Kendati pun ingin dilanjutkan, perlu dilakukan banyak evaluasi perencanaan hingga eksekusi di lapangan.
Kegagalan ini terbukti sejak awal hingga tiga tahun proyek ini berjalan di masa pemerintahan sebelumnya tak menghasilkan apapun. Justru yang terjadi adalah Ribuan hektare lahan di Kalimantan Tengah kembali ditemukan terbengkalai. Lahan yang telah dibuka kini ditumbuhi semak belukar. Bahkan, ada ratusan hektare yang beralih menjadi perkebunan sawit swasta. Para petani mengaku menyerah menanam padi di lahan gambut setelah beberapa kali gagal panen. Menurut pengakuan petani kegagalan ini karena lahan tidak sesuai untuk pertanian dan pengelolaan yang buruk.
Tak hanya itu, perluasan area lumbung pangan ini telah menyebabkan hilangnya tutupan pohon seluas hampir 3.000 hektare atau setara 4.207 lapangan bola. Kegagalan ini membuat masyarakat kapok dan jera dan lebih memilih menanam sawit yang dirasa lebih cocok ditanam di lahan gambut.
Tak ingin mengulang kesalahan yang sama, banyak pengamat mendesak pemerintah untuk mengevaluasi dan menghentikan proyek lumbung pangan. Petani sendiri pun sudah berargumen bahwa menanam di lahan gambut tidak akan berhasil. Bukannya meraih panen besar-besaran justru Indonesia terbukti mengimpor beras. Pada periode awal tahun 2023, pemerintah memerintahkan Bulog mengimpor 2 juta ton beras. Kemudian pada Oktober 2023, pemerintah memerintahkan lagi Bulog mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton. Ini membuktikan Indonesia masih belum cukup mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangannya.
Bukan untuk rakyat
Pemerintah nampaknya bertekad bulat untuk melanjutkan kembali program food estate dengan berbagai program yang sudah disiapkan. Bersikerasnya pemerintah mewujudkan kembali program ini, membuktikan bahwa program ini bukan didesain untuk kepentingan rakyat namun untuk kepentingan segelintir orang.
Banyaknya anggaran yang telah dan akan dikeluarkan untuk program food estate menjadikan pemerintah harus berpikir cerdas menutupi anggaran di tengah krisis keuangan Indonesia. Tercatat selama pemerintahan Jokowi sekitar 600 triliun telah digelontorkan untuk program ketahanan pangan dan khususnya yang dikelola oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian. Tahun depan (2025) dianggarkan 124 triliun untuk program ketahanan pangan.
Program food estate tidak bisa mengandalkan anggaran negara saja. Pangkalnya adalah akan dipilihkan investor sebagai penyuntik dana. Hadirnya investor ini dipandang akan meringankan beban negara. Kehadiran Investor diharapkan akan membangun infrastruktur agar proyeknya bisa berjalan lancar.
Namun kehadiran investor bukanlah jaminan program ini akan berhasil. Justru para investor akan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Akibatnya, keuntungan hanya akan ada di pihak pemilik modal saja bukan rakyat. Rakyat tetap harus merogoh kocek untuk mendapatkan makanan diantara melimpahnya sumber daya alam Indonesia.
Islam menjanjikan kesejahteraan rakyat
Negara harusnya hadir untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Kecukupan akan kebutuhan pangan seharusnya menjadi urusan sentral negara. Sayangnya penerapan kapitalisme demokrasi Justru menghadirkan kesengsaraan rakyatnya terlebih dalam urusan pangan. Hadirnya kapitalisme demokrasi menjadikan Negara hanya berfokus pada kepentingan si penguasa dan rakyat hanya menanggung derita. Maka sudah menjadi rahasia umum bahwa kehadiran dan penerapan sistem demokrasi tidak menghadirkan kesejahteraan rakyat.
Kebutuhan akan pangan adalah persoalan pokok rakyat. Negara seyogyanya hadir dalam memperhatikan produksi dan distribusinya pangannya. Islam memiliki konsep yang paripurna dalam mewujudkan kestabilan ketahanan pangan dari hulu ke hilir. Islam menjadikan negara sebagai pemegang utama dalam mengatur urusan rakyat. Islam Dalam mewujudkan ketahanan pangan, menjadikan kehadiran kepala negara untuk mendorong produktivitas pertanian dan perkebunan.
Dalam sistem Islam, untuk mewujudkan ketahanan pangan, islam hadir dengan menjamin pemanfaatan lahan pertanian dengan baik. Distribusi tanah dimaksimalkan menurut hukum ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati) dan larangan menelantarkan lahan. Hal ini dilakukan agar lahan dapat dimaksimalkan fungsi dan pengelolaannya. Sebagaimana dalam hadis dari Abu Hurairah ra. Yang berkata, “Nabi saw. Bersabda, ‘Siapa yang memiliki tanah maka hendaknya ia menanaminya atau memberikannya kepada saudaranya. Jika tidak, maka boleh menahannya.’” (HR Bukhari-Muslim).
Selain lahan, Negara juga akan memudahkan akses modal serta perhatian terhadap peningkatan skill petani. Peningkatan pengetahuan petani terkait perkembangan teknologi, kemandirian alat-alat produksi pertanian perlu dimasifkan agar tak bergantung dengan pihak lain. Sistem Islam akan memaksimalkan penggunaan anggaran dengan baik. Pemasukan baitulmal yang melimpah dan bersumber dari banyak jalur akan menjadikan kemandirian negara yang tidak membutuhkan hutang dari negara lain.
Kepala negara dalam sistem Islam tidaklah melarang impor pangan namun dalam aturannya tidak akan seperti yang terjadi saat ini. Dalam sistem Islam tidak akan ditemukan bentuk kerjasama dengan negara kafir harbi fi’lan. Ini dilakukan untuk menjaga kedaulatan negara agar tetap terjaga. Inilah bentuk aturan yang sangat kompleks dan konsisten dalam menyejahterakan rakyatnya.
Mewujudkan swasembada pangan adalah niat mulia. Hanya saja mewujudkan niat mulia ini dalam sistem kapitalisme demokrasi tidak akan terwujud.
Menciptakan ketahanan pangan sekaligus menyejahterakan petani dan rakyat secara luas hanya akan menjadi angan-angan kosong belaka jika masi terbelenggu sistem kapitalisme. Hal itu hanya bisa terjadi jika negara mengambil Islam sebagai aturan yang sempurna. Untuk itulah Kaum muslim harus berjuang bersama-sama dengan energi penuh untuk keluar dari belenggu sekularisme dan kembali kepada Islam. Wallahualam bissawab.