Sistem Demokrasi Bukanlah Solusi

 



Oleh: Pipik Wulandari

(Aktivis Muslimah, Ngaglik, Sleman, DIY)

Jelang pilkada, masyarakat baru-baru ini mengampanyekan gerakan coblos semua (gercos). Gerakan ini tak lain dinilai sebagai bentuk kekecewaan masyarakat. Fenomena gercos ini muncul pada musim Pilkada 2024, khususnya di DKI Jakarta. Pengamat politik sekaligus Peneliti Utama Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Prof R Siti Zuhro berpendapat bahwa ini merupakan hukum sebab akibat. Komunitas masyarakat yang menyatakan gercos memiliki kekecewaan dan ketidakpuasan. Kompetisi kontestasi dirasakan tidak adil dan tidak setara. Akhirnya masyarakat ingin meluapkan (news.republika.co.id, 02/10/2024).

Masyarakat tampaknya sudah bosan dan paham akan muara politik sistem demokrasi. Seolah bisa ditebak muara perpolitikan ini akan kembali pada politik dinasti. Yang akan diuntungkan nya pun adalah para penguasa dan antek-anteknya. Sedangkan nyatanya dalam sistem demokrasi rakyat hanya dimanfaatkan salah satunya dari segi suara. Sebelum terpilih, rakyat dijanjikan dengan hal yang manis-manis  seolah menjadi penolong bagi rakyat miskin dan akan mampu memberikan solusi bagi problem masyarakat. Nyatanya setelah menjabat yang dirasakan oleh rakyat adalah hal yang sebaliknya. 

Wajar saja, sebetulnya ini adalah bentuk sikap masyarakat yang mulai membuka mata dengan kondisi negeri ini. Masyarakat mulai menyadari dan memahami kebobrokan sistem demokrasi yang berslogan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Terbukanya masyarakat dengan sistem rusak ini adalah sesuatu hal yang harus diapresiasi. Masyarakat sudah mampu melihat kerusakan serta berbagai dampak yang ditimbulkan akibat sistem yang tidak memiliki solusi kongkrit bagi masyarakat. Jangankan menjadi solusi bagi kesulitan hidup yang alami, naungan sistem demokrasi justru semakin membuat masyarakat sengsara. 


Puncaknya masyarakat yang menamakan diri mereka netizen mulai bersuara mengiring opini. Mereka mengkritik pemerintahan dan bersuara dengan ketidak adilan ini. Meskipun begitu, sayangnya masyarakat belum memahami bagaimana mengatasi kerusakan dan kebobrokan sistem demokrasi ini. Masyarakat belum tercerahkan dengan sistem yang paripurna yaitu sistem Islam secara kaffah. Bagaimana aplikasinya terhadap kehidupan dan bagaimana  penerapannya di dalam sebuah negara. 


Demokrasi sangat bertentangan dengan aturan Islam. Dari segi kemunculan demokrasi dan apa yang melatarbelakanginya saja sudah bertentangan dengan hukum Islam bahkan dari ide-ide yang dihasilkannya. Demokrasi menganggap bahwa merekalah yang berhak membuat hukum tanpa berdasarkan ketaatan kepada Allah SWT. Sistem ini memandang rakyat menjadi sumber kekuasaan dan pemilik kedaulatan. Alhasil, sumber kemunculan sistem demokrasi seluruhnya adalah buatan manusia dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan wahyu atau agama.


Berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab mengatur urusan rakyat dan melindungi rakyat dari sisi akidah, sosial, pergaulan ekonomi, dan keamanannya. Semua aturannya berlandaskan pada hukum Allah SWT. yang sebaik-baik pembuat hukum. Tidak ada kuasa manusia sebagai makhluk yang lemah dan terbatas untuk berpaling tanpa mempertimbangkan agama (Islam) sebagai pedoman hidup.


Umat harus menyadari sistem saat ini adalah sistem sekuler buatan manusia yang semakin menjauhkan manusia dari Sang Pencipta beserta aturan dari-Nya. Tanpa disadari dengan diterapkannya sistem demokrasi yang kufur ini, kita sudah bermaksiat terhadap Allah SWT. Semoga Allah SWT. mengampuni kita semua.


Allah SWT berfirman : 

"Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam." (QS Al A'raf :54)

"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS Al-Maidah:50).

Wallahualam bishawab.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel