Menyoal Diskriminasi Guru hingga Hilangnya Perlindungan Negara
Oleh: Hamsina Ummu Ghaziyah
Menjadi presiden, dokter, polisi, pengacara, dan berbagai macam jabatan yang didapati seseorang semua berkat guru. Guru adalah sosok yang begitu luar biasa jasanya dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya. Guru juga ibarat orang tua yang sosoknya harus dipatuhi, dihargai, dan dihormati. Tanpa peran guru, kita tidak akan pernah tahu bentuk huruf dan angka. Tanpa peran guru pula, seseorang tidak akan menjadi siapa-siapa dengan jabatannya.
Namun sayang, peran guru saat ini seolah tiada artinya. Nasib guru semakin pilu tatkala dibelenggu dengan berbagai diskriminasi. Diskriminasi yang dialami oleh guru paling sering orang tua murid. Padahal guru hanya menjalankan profesinya dan memberikan kedisiplinan terhadap setiap murid yang melakukan pelanggaran. Tetapi hal demikian ternyata berujung pada tindak diskriminatif terhadap guru.
Fakta demikian belum lama ini terjadi terhadap salah satu guru honorer yang dituduh telah melakukan pemukulan di area paha terhadap salah satu anak polisi di sebuah SD di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Namun tuduhan yang dilayangkan terhadap Guru Supriani tidak terbukti sehingga guru honorer tersebut dibebaskan tanpa unsur pidana apapun. Hal ini juga merujuk pada putusan Mahkamah Agung No. 1554/PID/2013, yang menyatakan guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan kedisiplinan terhadap muridnya.
Lika-liku permasalahan guru saat ini semakin kompleks. Sebagai contoh, masalah gaji guru yang tak manusiawi terutama bagi guru honorer yang hanya mendapat upah Rp250 ribu perbulan dan ini pun diberikan setiap tiga bulan. Jadi, selama tiga bulan dari mana mereka mendapatkan penghasilan selain dari pekerjaan sampingan. Dari sini kita sudah menilai bahwa kesejahteraan guru benar-benar tidak diperhatikan oleh negara.
Di tengah ketidakpastian kesejahteraan guru dan tenaga pengajar kini mereka harus dihadapkan dengan responsif diskriminatif dari lembaga sekolah maupun orang tua murid karena menjalankan profesinya sebagai guru. Guru yang menerapkan kedisiplinan terhadap murid yang melakukan pelanggaran justru kini dianggap sebagai tindakan kriminal. Padahal, kedisplinan berupa hukuman yang diberikan oleh guru terhadap muridnya adalah sesuatu yang wajar dan normal diberikan kepada murid yang melakukan pelanggaran selama hukumannya masih dalam.nats yang wajar.
Seperti tuduhan yang dialami oleh guru honorer Supriani, berikut ada beberapa kasus guru yang dianggap melakukan tindakan kriminal terhadap muridnya yang dilansir dari laman resmi Kompas.com, (30/10/2024).
Pertama, seorang guru honorer bernama Mubazir di SMAN 2 Sinjai Selatan dipenjara akibat laporan orang tua wali. Kasusnya, guru Mubazir memotong paksa rambut seorang muridnya yang gondrong mengingat telah diberi peringatan sebelumnya selama satu Minggu. Namun siswa tersebut ternyata tidak mengindahkannya.
Kedua, guru Darmawati di SMAN 3 Parepare juga harus mendekam dipenjara dan terpaksa harus menjalani panjangnya proses persidangan karena tuduhan melakukan pemukulan terhadap siswa yang membolos shalat jamaah Zuhur. Dan pada faktanya, guru Darmawati hanya menepuk pundak siswa tersebut dengan menggunakan mukena. Hasil visum juga menunjukkan tidak ada luka sedikitpun di pundak siswa tersebut.
Beginilah potret guru dalam sistem demokrasi yang menghadapi dilema dalam mendidik siswanya. Pasalnya beberapa upaya dalam mendidik siswa sering disalahartikan sebagai tindakan kekerasan terhadap anak. Hal ini juga karena adanya dukungan UU perlindungan anak yang mengakibatkan guru yg menerapkan kedisiplinan terhadap muridnya rentan mendapatkan diskriminasi hingga dikriminalisasikan oleh berbagai pihak.
Disisi lain, ada kesenjangan makna dan tujuan pendidikan antara orang tua, guru, masyarakat dan juga negara karena masing-masing memiliki persepsi terhadap pendidikan anak. Akibatnya, muncul gesekan antara berbagai pihak termasuk langkah guru dalam mendidik anak tersebut. Guru pun ragu dalam menjalankan peran guru khususnya dalam menasehati siswa.
Melihat maraknya pelaporan dan kriminalisasi terhadap guru saat ini, PGRI pun sigap mengambil langkah untuk mengusulkan adanya UU perlindungan terhadap guru. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk tidak terjadinya kasus serupa lainnya yang menimpa para guru.
Unifah Rosyidi selaku Ketua Umum PB PGRI melalui unggahan video pada akun Instagram resmi @pbpgri_official mengatakan kami sedang menyiapkan naskah akademik dan akan bersurat ke DPR dan Kemendikdasmen untuk mendorong Komisi X DPR menggodok UU perlindungan guru. (Medcom.id,1/11/2024)
Unifah Rosyidi berharap UU perlindungan guru ini nantinya tidak hanya melindungi guru tetapi juga melindungi para siswa. Lebih lanjut, ia menjelaskan UU itu juga diusulkan agar tak ada lagi kasus kekerasan terhadap guru dan tenaga pendidik.
Namun bercermin pada sistem demokrasi langkah demikian akan sama persis dengan UU perlindungan anak. Karena pada faktanya, keberadaan anak-anak dalam sistem demokrasi sekuler saat ini pun masih ternodai dengan berbagai kasus kekerasan terhadap anak meskipun sudah ada UU yang melindunginya. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan nasib guru dari berbagai tindakan diskriminasi dan kriminalisasi yakni hanya dengan menerapkan sistem Islam. Hanya dalam sistem Islam guru dimuliakan dan dihormati bahkan hidupnya pun sejahtera didalamnya.
Dimasa kegemilangan Islam, negara sangat menghormati dan memuliakan ilmu, pengajar dan pembelajarnya. Tidak seperti dalam sistem rusak saat ini, ilmu dibayar sangat mahal, sementara gaji guru dibayar sangat murah. Beda halnya dalam sistem Islam, gaji guru dibayar sangat mahal karena Islam memandang tugas seorang guru adalah pekerjaan yang sangat mulia. Karena dari jasa gurulah banyak manusia menjadi cerdas, mulia dan terhormat. Oleh karena itu, mengapa Islam menempatkan guru pada posisi yang sangat mulia kedudukannya.
Dalam sebuah hadits pula dikatakan " Sesungguhnya Allah, para malaikat, dan semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai semut yang ada di ilangnya dan juga ikan besar, semua bersholawat kepada muallim (orang yang berilmu dan mengajarkannya) yang mengajarkan kebaikan kepada manusia." ( HR. At-Tirmidzi)
Islam memandang guru sebagai sosok yang di karuniai ilmu oleh Allah SWT. Dengan ilmu tersebut menjadi perantara bagi guru untuk mengajarkan banyak manusia untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat. Guru tidak hanya sekedar mendidik muridnya menjadi cerdas secara akademis semata tetapi guru juga mendidik agar muridnya cerdas secara spiritual sehingga murid tersebut memiliki kepribadian Islam.
Sejarah telah mencatat, guru mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara. Di riwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dari al-Wadl-iah bin Atha bahwasanya ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak, dan Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji 15 dinar (1 Dinar=4,25 gram emas) yang setara dengan 63,75 gram emas. Jika dihitung saat ini, harga emas per gram dihargai Rp1.500.000. Jadi gaji guru jika dihitung selama perbulan pada saat itu sebesar Rp95.625.000.
Beda lagi di zaman kejayaan Sultan Shalahuddin Al Ayyubi, gaji guru diberikan jauh lebih besar. Di dua madrasah yang didirikannya yaitu Madrasah Suyufiyah dan Madrasah Shalahiyyah gaji guru yang diberikan bekisar antara 11 Dinar hingga 40 dinar. Artinya jika gaji guru dikurskan dalam bentuk rupiah bekisar antara Rp 70.125.000 hingga Rp255.000.000.
Dimasa puncak kejayaan kekhalifahan Abbasiyah yang berlangsung lebih dari lima abad, gaji para pengajar saat itu benar-benar sangat fantastis. Gaji para pengajar dimasa itu sama dengan para Mu'azin yaitu 1.000 dinar pertahun. Jika dikurs dengan nilai saat ini berarti sekitar Rp. 3,9 miliar pertahun atau Rp325 juta perbulan.
Dalam sistem Islam, negara benar-benar memberikan kesejahteraan bagi para tenaga pengajar. Penghargaan yang diberikan pun tak main-main yakni dengan gaji yang begitu besar sehingga kesejahteraan yang dirasakan oleh para guru/tenaga pengajar kala itu sama dan tidak dibeda-bedakan oleh negara. Hal ini karena guru/tenaga pengajar dimasa keemasan Islam memiliki tugas dan hak yang sama dalam mendidik generasi sehingga pendidikan dan ilmu pengetahuan kala itu berkembang dengan pesat.
Selain memberikan penghargaan yang tinggi bagi para guru, negara juga tak luput memberikan pemahaman terkait sistem pendidikan Islam terhadap semua pihak. Sebab, pendidikan Islam memiliki tujuan yang jelas dan meniscayakan adanya sinergi semua pihak sehingga menguatkan tercapainya pendidikan dalam Islam. Kondisi ini menjadikan guru lebih optimal dalam menjalankan perannya dengan tenang karena akan terlindungi dalam mendidik siswanya.
Sungguh semua ini akan terwujud tatkala negara menerapkan sistem Islam secara kaffah yang tentunya akan memberikan jaminan keselamatan dan kesejahteraan bagi para guru. Karena pada faktanya, hanya dalam sistem Islam guru dimuliakan, dihormati, dan dihargai jasa-jasanya.
Wallahu A'lam Bishshowab