Mafia Tanah: Krisis Amanah dan Solusi Islam Kaffah
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)
Praktik mafia tanah di Kalimantan Selatan (Kalsel) yang masih marak menunjukkan betapa rapuhnya sistem birokrasi dan hukum dalam mengatasi permasalahan ini. Tahun 2024, Kejaksaan Tinggi Kalsel membidik beberapa pelaku, dengan lima laporan yang sedang diproses. Namun, minimnya transparansi dan sistem yang lemah justru semakin membuka celah bagi kejahatan ini untuk terus berulang.
Para mafia tanah beroperasi dengan memanfaatkan kelemahan sistem dan kolusi dengan oknum pejabat pemerintah daerah. Mereka mencari celah pada tanah yang belum bersertifikat, lalu memalsukan dokumen seperti girik, akta tanah, hingga akta peralihan. Alhasil, hak milik rakyat dirampas secara tidak sah, menimbulkan keresahan yang meluas.
Kasus ini bukan sekadar masalah hukum, melainkan juga cerminan buruknya amanah para pejabat publik. Ketika pejabat negara, termasuk di Badan Pertanahan Nasional (BPN), lebih mengedepankan kepentingan pribadi daripada tanggung jawab kepada rakyat, sistem birokrasi yang mestinya melindungi justru menjadi alat penindasan.
Solusi Islam dalam Pengelolaan Tanah
Islam memiliki sistem yang komprehensif dalam mengatur kepemilikan, pengelolaan, dan distribusi tanah. Dalam pandangan Islam, tanah adalah sumber daya yang harus dimanfaatkan secara produktif untuk kesejahteraan umat, bukan sebagai alat akumulasi kekayaan pribadi yang bersifat konsumtif.
Pertama, hak kepemilikan tanah dalam Islam bersifat terbatas. Jika tanah tidak dikelola atau dibiarkan telantar selama tiga tahun berturut-turut, negara berhak mengambil alih dan memberikannya kepada pihak lain yang mampu mengelolanya. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah ﷺ:
"Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Dan tidak ada hak bagi orang yang hanya menelantarkan tanah." (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua, Islam melarang keras praktik kecurangan, termasuk pemalsuan dokumen atau penguasaan tanah secara tidak sah. Firman Allah SWT:
"Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil." (QS. Al-Baqarah: 188).
Ketiga, Islam menetapkan negara sebagai pengelola utama tanah, dengan memastikan distribusinya adil dan sesuai kebutuhan umat. Negara bertanggung jawab mencegah monopoli dan memastikan rakyat memiliki akses terhadap tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Kebutuhan Sistem Islam Kaffah
Kasus mafia tanah menunjukkan urgensi penerapan Islam sebagai sistem kehidupan yang menyeluruh (kaffah). Regulasi dan lembaga yang ada saat ini sering kali tumpul menghadapi kolusi dan korupsi karena tidak berlandaskan nilai keimanan dan ketakwaan.
Dalam Islam, pejabat yang tidak amanah akan dimintai pertanggungjawaban berat di akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Seorang pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya." (HR. Bukhari).
Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, sistem birokrasi yang korup akan tergantikan dengan mekanisme yang adil, transparan, dan bertujuan menyejahterakan umat. Penyelesaian mafia tanah dan berbagai masalah lainnya hanya akan tercapai ketika Islam menjadi landasan utama dalam mengatur kehidupan manusia, termasuk urusan tanah dan kepemilikan.
Saatnya umat menyadari bahwa solusi Islam bukan sekadar teori, melainkan jalan keluar yang nyata untuk menghentikan kezaliman dan mewujudkan keadilan yang hakiki. Wallahu a'lam []