Dari PPDB Ke SPMB: Eksperimen Kebijakan Pendidikan

 


Oleh: Jelvina Rizka

tirto.id - Pemerintah kembali merombak sistem penerimaan siswa untuk tahun ajaran baru mendatang. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi bakal diganti dengan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) mulai tahun ajaran 2025/2026. Dalihnya menciptakan sistem penerimaan siswa yang lebih transparan, objektif, akuntabilitas tinggi, serta lebih inklusif bagi semua calon siswa.

Namun, perubahan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas dan konsistensi kebijakan pendidikan di Indonesia. Sistem zonasi sebelumnya diperkenalkan dengan tujuan pemerataan akses pendidikan, tetapi kini justru digantikan dengan sistem baru tanpa evaluasi yang jelas terhadap kelemahannya. Apakah SPMB benar-benar mampu mewujudkan transparansi dan objektivitas yang dijanjikan, atau justru membuka celah baru bagi ketimpangan dalam penerimaan siswa? Selain itu, perubahan sistem yang terlalu sering dapat membingungkan masyarakat dan menimbulkan ketidakpastian bagi orang tua serta sekolah. Pemerintah seharusnya memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan memiliki landasan riset yang kuat, serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan agar perubahan ini tidak sekadar menjadi eksperimen kebijakan tanpa arah yang jelas.


SPMB: Pemerataan Pendidikan Hanya Retorika Belaka

Perubahan kebijakan penerimaan siswa dari sistem zonasi ke SPMB mencerminkan ketidak konsistenan pemerintah dalam merancang sistem pendidikan yang stabil dan berpihak kepada rakyat. Alih-alih melakukan evaluasi mendalam terhadap sistem yang ada, kebijakan ini berubah tanpa kejelasan apakah benar-benar akan memperbaiki masalah atau justru menciptakan problematika baru. Dalam sistem kapitalis, pendidikan kerap diperlakukan sebagai komoditas alih-alih hak dasar warga negara. Pergeseran kebijakan seperti ini sering kali membuka peluang bagi pihak-pihak berkepentingan, termasuk sekolah unggulan dan institusi pendidikan swasta, untuk mengambil keuntungan dengan sistem seleksi yang menguntungkan mereka. Hal ini semakin menegaskan bahwa negara dan pemimpin abai dalam menjamin akses pendidikan yang merata dan berkualitas bagi seluruh rakyat. Alih-alih bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan, negara justru menciptakan ketidakpastian yang semakin membebani masyarakat, terutama mereka yang berasal dari kalangan kurang mampu. Jika pendidikan terus dibiarkan tunduk pada kepentingan pasar dan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, maka ketimpangan akses pendidikan hanya akan semakin lebar, menjauhkan masyarakat dari hak mereka atas pendidikan yang layak.

Di tengah dominasi sistem kapitalis, kebijakan pendidikan seperti SPMB berpotensi semakin memperdalam kesenjangan sosial. Dalam sistem ini, pendidikan bukan lagi alat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa secara merata, melainkan menjadi sarana seleksi yang menguntungkan kelompok tertentu. Sekolah-sekolah unggulan dan institusi pendidikan dengan fasilitas terbaik akan semakin diminati, sementara sekolah-sekolah dengan sumber daya terbatas kian terpinggirkan. Alih-alih menjamin akses yang adil bagi semua, sistem baru ini bisa saja menciptakan persaingan tidak sehat di mana hanya mereka yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya pendidikan seperti bimbingan belajar atau jalur khusus yang akan diuntungkan.

Lebih jauh, kebijakan ini menunjukkan bagaimana negara semakin melepas tanggung jawabnya dalam mengelola pendidikan sebagai hak dasar rakyat. Dengan perubahan sistem yang tidak berdasar pada kepentingan jangka panjang, negara tampak lebih sibuk merancang kebijakan pragmatis ketimbang membangun sistem pendidikan yang benar-benar inklusif dan berkeadilan. Jika pola ini terus berlanjut, pendidikan akan semakin tunduk pada mekanisme pasar, di mana akses dan kualitas bergantung pada daya beli, bukan pada kebutuhan dan hak warga negara. Sementara itu, masyarakat terutama dari kalangan bawah dipaksa untuk terus beradaptasi dengan kebijakan yang berubah-ubah, tanpa ada jaminan bahwa sistem yang diterapkan benar-benar membawa manfaat bagi mereka.


Menata Ulang Sistem Pendidikan Dengan Islam

Islam memandang pendidikan sebagai hak mendasar bagi setiap individu dan tanggung jawab negara untuk menjaminnya tanpa diskriminasi.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an: "...Katakanlah: 'Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?'" (QS. Az-Zumar: 9).

Ayat ini menegaskan pentingnya ilmu dalam kehidupan manusia, yang seharusnya diperoleh tanpa hambatan ekonomi atau kebijakan yang merugikan masyarakat. Dalam sistem pendidikan Islam, negara bertanggung jawab penuh untuk menyediakan pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat, tanpa biaya dan tanpa seleksi yang diskriminatif. Sistem ini bukan hanya bertumpu pada aspek akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter dan pemahaman Islam yang kokoh, sehingga menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia.

Namun, penerapan sistem pendidikan yang benar-benar adil dan merata hanya mungkin terwujud dalam naungan Khilafah, sebuah sistem pemerintahan Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan sesuai dengan syariat. Dalam Khilafah, pendidikan tidak tunduk pada mekanisme pasar atau kepentingan elite tertentu, melainkan dikelola sebagai layanan publik yang dijamin oleh negara. Negara akan memastikan bahwa setiap individu memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas, tanpa ada ketimpangan akibat faktor ekonomi atau kebijakan yang berubah-ubah. Oleh karena itu, solusi mendasar dari problematika pendidikan saat ini bukan sekadar pergantian sistem penerimaan siswa, tetapi perubahan sistemik yang hanya bisa diwujudkan melalui penerapan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.


Wallahu ‘Alam Bissawab

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel