Drama Pagar Laut Bukti Negeri Dicengkram Korporasi

 


(Afifah, S.Pd. Pemerhati Sosial)

Pada awal tahun ini kita dihebohkan dengan berita adanya temuan pagar laut misterius di Tangerang, Banten. Hingga kini tak jelas betul siapa yang bertanggung jawab atas pembangunan liar yang mengganggu mata pencaharian nelayan itu. Jika ditanyakan kepada para pemangku kebijakan mereka justru sibuk lempar pernyataan dan berbantahan di media. Penegak hukum setali tiga uang, tampak lesu dan tidak berdaya dalam menindak perkara ini.


Direktur Kajian Agraria Center of Economic and Law Studies (Celios) Zakiul Fikri, menilai sudah banyak indikasi pelanggaran hukum dan administratif dalam kasus ini. Dokumen hak atas tanah diterbitkan dengan cara melanggar hukum. Sebelumnya, pemerintah mengakui adanya temuan petak-petak hak guna bangunan (HGB) dan sertifikat hak milik (SHM) di sepanjang area pagar laut Tangerang, Banten. Sebagaimana disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid.


Nusron Wahid, menyatakan akan membatalkan izin 263 HGB yang berada di wilayah pagar laut pesisir Kabupaten Tangerang tersebut. Nusron menambahkan penerbitan sertifikat HGB ini menyalahi aturan karena wilayah di luar garis pantai termasuk ke wilayah common property yang tidak bisa disertifikasi. 


Meskipun sudah terang benderang temuan HGB serta korporasi dan individu di baliknya, tak menjamin penegakan hukum dalam kasus pagar laut berjalan cepat. Bahkan, sebelumnya kepolisian menyatakan belum menemukan pelanggaran dalam kasus pagar laut. Ditpolairud Polda Metro Jaya justru tampak pasif menunggu langkah KKP yang masih menyelidiki kasus ini.


Kasus pagar laut ini sejatinya sudah jelas ada pelanggaran hukum, namun  tidak segera ditindaklanjuti dan dibawa dalam aspek pidana. Bahkan nampak adanya beberapa pihak yang dijadikan kambing hitam, namun otaknya tidak tersentuh oleh hukum. Para pejabat pun sibuk bersilat lidah dan berlepas tangan.  


Kasus ini, sebagaimana juga kasus penjualan area pesisir laut di berbagai pulau menunjukkan kuatnya korporasi dalam lingkaran kekuasaan, atau yang disebut dengan istilah korporatokrasi. Negara kalah dengan para korporat yang memiliki banyak uang.  Bahkan aparat/pegawai negara menjadi fasilitator kejahatan terhadap rakyat, bekerja sama melanggar hukum negara membawa kemadaratan buat rakyat dan mengancam kedaulatan negara. Prinsip liberalisme dalam ekonomi kapitalisme membuka peluang terjadinya korporatokrasi, munculnya aturan yang berpihak pada oligarki.


Simpang siur polemik pagar laut ini disebabkan karena negeri ini menerapkan sistem demokrasi-kapitalisme  yang berstandarkan pada hukum buatan manusia, serta asas kepentingan membuat aturan bisa dipermainkan


Kapitalisme menjadikan negara tidak memiliki kedaulatan mengurus urusan umat. Kedaulatan itu tergadaikan akibat prinsip kebebasan kepemilikan dari sistem Kapitalisme. Negara hanya menjadi regulator yang bergerak sesuai dengan arahan para kapital, bahkan menjadi penjaga kepentingan kapital. Akibatnya negara tidak memiliki kuasa untuk menindak para kapital yang perbuatannya menyengsarakan rakyat.


Negara seharusnya berfungsi sebagai pelayan/pengurus rakyat (raa'in) dan pelindung (junnah) bagi rakyat. Semua ini akan terwujud ketika aturan bersumber pada  hukum syara’ (syariat Islam, dan bukan akal manusia.


Islam memiliki serangkaian aturan dan mekanisme pengelolaan harta milik umum.  Pelanggaran terhadap hukum tersebut adalah kemaksiatan, dan ada sanksinya bagi pelakunya


Islam memiliki sistem ekonomi Islam dengan konsep kepemilikan lengkap dengan aturan pengelolaannya. Menurut  sistem ekonomi Islam, kekayaan alam termasuk air adalah bagian dari kepemilikan umum. Sumber-sumber air seperti mata air, sungai, laut dan pantai, selat, teluk, danau merupakan kepemilikan umum, tidak boleh dikapitalisasi. 


Dalam Islam, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan sumber daya alam tersebut yang termasuk dalam  kepemilikan umum itu kepada individu, swasta apalagi asing. 

Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk


memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan rakyat secara umum. 


Pedoman Islam dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw., yaitu “Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api. (HR Ibnu Majah). Kemudian,Rasul saw juga bersabda: Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, padang rumput dan api. (HR Ibnu Majah). 


Islam juga memiliki sistem sanksi yang tegas bagi pelanggar hukum. Semua sama di hadapan hukum. Dengan prinsip kedaulatan di tangan syara’, maka korporatokrasi dapat dicegah.  Apalagi Islam menetapkan penguasa wajib menjalankan aturan Islam saja, dan haram menyentuh harta rakyat atau memfasiliasi pihak lain mengambil harta miliki rakyat.


Negara Khilafah merupakan negara yang memiliki kedaulatan penuh untuk mengurus urusan negara dan menyejahterakan rakyatnya. Kedaulatan penuh ini membuat negara Khilafah tidak akan tunduk pada korporasi.


Khilafah akan mengelola sumber daya alam (SDA) tersebut sehingga semua rakyat bisa menikmatinya secara mudah, gratis dan tanpa dihalangi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hanya dengan khilafahlah kepemilikan umum termasuk  laut dan pantai yang sejatinya milik rakyat akan akan terjaga dari cengkraman korporasi dan oligarki. Sistem khilafah  inilah yang dibutuhkan rakyat saat ini. Wallahu a’lam

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel