Kisruh Distribusi LPG Perlu Solusi Hakiki
(Faridah, S.Pd. Praktisi Pendidikan)
Baru-baru ini masyarakat di sejumlah wilayah di Indonesia merasakan kelangkaan gas LPG 3 kg (gas melon) di pasaran. Hal itu terkait dengan perubahan sistem distribusi LPG yang ditetapkan pemerintah, mewajibkan pengecer beralih menjadi pangkalan resmi untuk bisa mendapatkan stok gas melon untuk dijual. Pada awalnya, per 1 Februari 2025, pengecer tidak lagi diperbolehkan menjual gas LPG 3 kg. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan menata mata rantai penjualan Liquefied Petroleum Gas (LPG) khususnya untuk jenis bersubsidi yakni LPG 3 Kg.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung menjelaskan, pengecer yang ingin melakukan penjualan elpiji bersubsidi harus terdaftar sebagai pangkalan atau sub penyalur resmi dari Pertamina. Menurut Yuliot, kebijakan ini bertujuan agar distribusi elpiji subsidi lebih tepat sasaran dan menekan potensi penyimpangan. Selain itu, rantai distribusi yang lebih pendek diharapkan bisa membuat harga elpiji 3 kg sesuai dengan ketetapan pemerintah.
Namun di sisi lain kebijakan ini justru menyulitkan bahkan dapat mematikan bisnis pengecer bermodal kecil dan memperbesar bisnis pemilik pangkalan. Mengapa kisruh distribusi gas ini bisa terjadi?
Akar Masalah Kisruh Distribusi LPG
Terjadinya perubahan kebijakan distribusi gas tersebut adalah keniscayaan dalam negeri yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme ini, karena salah satu sifat sistem ini adalah memudahkan para pemilik modal besar untuk menguasai pasar dari bahan baku hingga bahan jadi. Sistem ini juga meniscayakan adanya liberalisasi sumber daya alam dan energi (SDAE) termasuk minyak dan gas (migas) dengan memberi jalan bagi perorangan/korporasi mengelola SDAE yang sejatinya milik rakyat. Mestinya negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan SDAE seperti migas ini kepada korporasi/perusahaan swasta.
Padahal negeri kita dikaruniai SDAE yang sangat melimpah. Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), pada tahun 2021 saja jumlah cadangan terbukti gas alam RI mencapai 42,93 triliun kaki kubik (TCF). Jumlah ini masih bisa meningkat jika kegiatan eksplorasi hulu minyak dan gas bumi (migas) terus digalakkan. Setidaknya Indonesia memiliki 128 cekungan hidrokarbon (basin), 20 cekungan sudah berproduksi dan 27 lainnya baru dibor dan ditemukan cadangan gas. Sayangnya, pemerintah tampak tidak berdaya untuk mencari solusi kelangkaan gas hingga ke akarnya. Pemerintah melakukan langkah yang sifatnya hanya pragmatis.
Ironisnya, kekayaan SDA berupa gas alam tersebut tidak mampu memberikan manfaat yang optimal bagi pemenuhan kebutuhan rakyat, terlebih lagi meningkatkan kesejahteraan/kemakmuran masyarakat. Bahkan masyarakat harus rela antri dan membayar mahal untuk mendapatkan gas. Padahal menurut UUD 1945 pasal 33 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya “dikuasai” oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”. Namun miris, pada kenyataannya ini seperti hanya wacana saja, jauh panggang dari api.
Inilah fakta kehidupan di negeri yang menerapkan sistem kapitalisme sekulerisme yang melegalkan adanya kapitalisasi dan liberalisasi SDA. Disamping itu pemerintah dalam sistem ini lebih berperan menjadi pelayan bagi kepentingan korporasi/oligarki. Penguasa menjalankan pengurusan urusan rakyat menggunakan dalam teori hitung dagang yakni untung rugi, sebagaimana layaknya pedagang atau badan usaha. Kolaborasi antara penguasa dan pengusaha dalam menyetir kebijakan negara juga sangat kental terlihat. Wajar jika banyak kebijakan publik yang hanya fokus mengakomodasi kepentingan pebisnis besar, sedangkan kepentingan rakyat dikorbankan.
Bahkan, dalam sistem kapitalisme ini, sumber-sumber kekayaan yang semestinya merupakan milik publik, seperti minyak dan gas serta sumber daya alam lain yang jumlahnya melimpah ruah ini bisa dimiliki dan diatur oleh pemilik cuan. Sementara rakyat hidup dalam posisi tercekik karena mesti membayar mahal segala hal
yang semestinya menjadi hak mereka. Terkait perkara distribusi dan harga LPG tetap menyulitkan bagi masyarakat. Karena untuk menjadi pangkalan gas resmi rakyat harus memiliki/menyediakan cukup banyak uang untuk modal. Untuk mengatasi masalah distribusi gas ini, rakyat perlu solusi hakiki. Solusi hakiki ini hanya ada pada Islam.
Islam Solusi Hakiki Atasi Kisruh LPG
Islam menetapkan migas termasuk dalam kepemilikan umum, dan mewajibkan negara untuk mengelola sumber daya tersebut untuk kepentingan rakyat, sesuai dengan fungsi negara sebagai pelayan/pengurus rakyat (raa’in). Negara dalam Islam wajib memudahkan rakyat mengakses berbagai kebutuhannya akan layanan publik, fasilitas umum dan sumber daya alam yang merupakan hajat publik, termasuk migas.
Menurut sistem ekonomi Islam, gas termasuk kekayaan alam (SDA) yang menjadi bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk memenuhi kebutuhan gas bagi seluruh rakyat dan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum termasuk gas ini kepada individu, swasta apalagi asing, seperti yang diterapkan sistem sekuler sekarang.
Oleh karenanya, tidak boleh ada pihak yang menghalangi umat mendapatkan haknya, bahkan oleh negara. Negara dalam hal ini hanya bertindak sebagai pengelola saja. Itu pun harus memperhatikan prinsip-prinsip Islam. Meski negara boleh mengambil keuntungan dalam pengelolaannya, tetapi hasil manfaatnya wajib kembali pada rakyat sebagai pemiliknya, baik dengan skema pemanfaatan secara langsung dan gratis, ataupun dengan skema subsidi yang memudahkan rakyat mengakses haknya dengan harga murah.
Pengelolaan SDA yang termasuk kepemilikan umum menurut Islam merujuk pada sabda Rasulullah saw. Imam at-Tirmidzi telah meriwayatkan hadits dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyadh pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang (garam) tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).
Jadi, menurut aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar baik seperti garam maupun selain garam seperti gas, batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, dan sebagainya, semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadis di atas. Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka,”
Melalui penerapan sistem ekonomi Islam dalam pengelolaan SDAE tersebut, menjamin kepemilikan harta dan distribusi kekayaan yang merata di tengah masyarakat. Hasil pengelolaan SDAE termasuk gas akan dipergunakan negara untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap warga negara baik dengan cara langsung bagi rakyat yang lemah (tidak mampu) maupun tidak langsung. Dan juga negara akan menjamin terpenuhinya kebutuhan kolektif rakyat berupa jaminan keamanan, pendidikan dan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan gratis bagi setiap warga negara.
Dengan penerapan sistem ekonomi Islam yang selaras dengan sistem politik dan pemerintahan Islam, akan menjadikan pemerintah betul-betul berperan sebagai pengurus/pelayan rakyat dan melindungi kepentingan seluruh rakyat (raa’in) bukan pelayan kepentingan korporasi seperti dalam sistem sekarang . Inilah yang akan mampu mewujudkan kesejahteraan merata bagi seluruh rakyat akan terwujud nyata bukan sekedar wacana. Dengan sistem Islam kaffah ini persoalan kisruh distribusi LPG akan tuntas teratasi. Wallahu a’lam