Gencatan Senjata, Narasi Palsu Untuk Melemahkan Umat

 


Oleh: Jelvina Rizka

Jakarta, CNBC Indonesia - Ratusan warga Jenin di Tepi Barat, Palestina, terpaksa meninggalkan rumah mereka pada Kamis (23/1/2025) setelah pesan peringatan dari drone dengan pengeras suara menyuruh mereka untuk mengungsi. Hal ini terjadi di tengah operasi militer besar yang memasuki hari ketiga di kota tersebut. Operasi itu mencakup penghancuran sejumlah rumah di kamp pengungsi Jenin. Operasi ini dilakukan dengan dukungan kendaraan militer dalam jumlah besar, helikopter, dan drone. Operasi tersebut dimulai seminggu setelah gencatan senjata di Gaza, yang menjadi momen pertama pertukaran tawanan Israel dengan tahanan Palestina sejak gencatan singkat pada November 2023.


Tindakan pengosongan paksa dan penghancuran rumah di Jenin ini semakin menunjukkan betapa rapuhnya upaya gencatan senjata yang selama ini diupayakan. Alih-alih menciptakan stabilitas, operasi militer besar-besaran ini justru memperdalam penderitaan warga sipil Palestina yang telah lama hidup di bawah tekanan konflik berkepanjangan. Ironisnya, hal ini terjadi hanya beberapa hari setelah pertukaran tawanan, yang seharusnya menjadi langkah menuju perundingan lebih lanjut, bukan eskalasi kekerasan. Jika kekerasan terus berlanjut, maka harapan untuk solusi damai semakin jauh, sementara warga sipil terus menjadi korban dari dinamika geopolitik yang tak berpihak pada kemanusiaan.


Eskalasi Konflik dan Rapuhnya Harapan Perdamaian di Palestina


Konflik yang terus bereskalasi di Palestina, seperti yang terjadi di Jenin baru-baru ini, bukan sekadar persoalan militer, tetapi juga cerminan dari sistem global yang gagal melindungi hak-hak dasar manusia. Di balik operasi militer dan pengusiran paksa, ada sistem kapitalis yang memperkuat dominasi dan ketimpangan kekuasaan, di mana kepentingan geopolitik dan ekonomi lebih diutamakan daripada nilai kemanusiaan. Negara-negara besar yang memiliki pengaruh justru cenderung berpihak pada aktor yang lebih menguntungkan secara strategis, sementara penderitaan rakyat Palestina terus diabaikan. Ini menunjukkan betapa lemahnya kepemimpinan global dalam menjamin kehidupan umat, seolah-olah hak untuk hidup layak hanya berlaku bagi mereka yang berada dalam lingkaran kepentingan elit dunia. Ketidakadilan ini terus berlangsung karena sistem yang ada memang tidak dirancang untuk menegakkan keadilan sejati, melainkan untuk melanggengkan dominasi dan eksploitasi atas pihak yang lebih lemah.


Lebih jauh, sistem kapitalis global tidak hanya menciptakan ketimpangan, tetapi juga menjadi alat legitimasi bagi penjajahan dan agresi yang terus berulang. Kepentingan ekonomi dan politik negara-negara adidaya sering kali menjadi faktor utama dalam membiarkan konflik ini terus berlangsung. Perusahaan senjata meraup keuntungan dari perang, sementara elit politik memanfaatkan ketegangan sebagai alat negosiasi dan tekanan geopolitik. Dengan logika kapitalis, penderitaan rakyat Palestina hanya menjadi angka di laporan statistik, bukan masalah kemanusiaan yang mendesak untuk diselesaikan.


Tragisnya, para pemimpin dunia, termasuk dari negara-negara Muslim, justru memilih bersikap pasif atau bahkan berkompromi demi mempertahankan hubungan diplomatik dan ekonomi mereka. Alih-alih membela hak-hak rakyat Palestina dengan langkah nyata, mereka lebih sibuk mengamankan kepentingan domestik dan mempertahankan kekuasaan. Tidak ada sanksi tegas, tidak ada tekanan politik yang berarti, hanya retorika kosong yang berulang kali disampaikan tanpa dampak nyata. Ini adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, yang seharusnya menjadi landasan utama dalam mengelola urusan umat.


Selama sistem kapitalis tetap mendominasi dan para pemimpin terus abai terhadap tanggung jawab mereka, harapan akan perdamaian di Palestina hanya akan menjadi ilusi. Solusi yang ada selama ini hanyalah upaya tambal sulam yang tidak menyentuh akar masalah—yaitu sistem global yang memungkinkan penjajahan dan ketidakadilan terus berlangsung. Jika dunia benar-benar menginginkan perubahan, maka dibutuhkan keberanian untuk mendobrak sistem yang hanya menguntungkan segelintir elit dan menggantinya dengan tatanan yang menjamin keadilan bagi seluruh umat manusia.


Solusi Komprehensif Islam terhadap Konflik Palestina


Konflik yang terus berlangsung di Palestina, termasuk peristiwa pengosongan paksa di Jenin, bukan sekadar masalah geopolitik, tetapi juga bukti nyata kegagalan sistem kapitalis dalam melindungi hak-hak umat manusia. Islam menawarkan solusi fundamental yang berbeda, yakni melalui penerapan Khilafah sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan syariat Islam secara menyeluruh. Islam telah menetapkan bahwa kepemimpinan dalam umat harus berada di bawah naungan seorang Khalifah yang menerapkan hukum Allah secara kaffah (menyeluruh). 


Palestina dan seluruh dunia Islam membutuhkan pemimpin sejati yang berideologi Islam dan berani mengambil tindakan nyata, bukan sekadar mengecam tanpa solusi. Khalifah dalam sistem Islam bukan hanya kepala negara, tetapi juga pelindung umat yang bertindak berdasarkan syariat.


Allah SWT berfirman: "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka, agar mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu." (QS. Al-Ma'idah: 49)


Seorang Khalifah akan mengambil langkah tegas, termasuk membebaskan wilayah yang terjajah dengan kekuatan militer, menggalang persatuan umat Islam di seluruh dunia, dan menerapkan kebijakan ekonomi serta politik yang sesuai dengan syariat Islam.


Oleh karenanya, selama umat Islam masih tunduk pada sistem kapitalis dan dipimpin oleh pemimpin yang tidak berideologi Islam, penderitaan di Palestina dan negeri-negeri Muslim lainnya akan terus berlanjut. Hanya dengan kembalinya kepemimpinan Islam yang sejati, umat akan terbebas dari ketidakadilan yang selama ini melanda dunia Islam.


Wallahu ‘Alam Bissawab....

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel