Keadilan di Ujung Rupiah
Oleh: Jelvina Rizka
Ketika hukum kehilangan ketegasannya dan keadilan dapat dinegosiasikan, rakyat kecil hanya bisa pasrah melihat bagaimana uang berbicara lebih lantang daripada kebenaran. Kasus-kasus korupsi yang berujung pada vonis ringan, sementara rakyat kecil dihukum berat atas pelanggaran sepele, menjadi bukti bahwa hukum di Indonesia cenderung berpihak pada mereka yang berduit. Apakah ini wajah keadilan yang seharusnya ditegakkan? Sudah saatnya kita mempertanyakan: apakah hukum yang berlaku hari ini benar-benar untuk keadilan, atau sekadar permainan di ujung rupiah?
Dilansir dari Jakarta (ANTARA) - Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengungkap bahwa sebanyak 41,6 persen masyarakat menilai penegakan hukum di Indonesia berjalan positif dalam 100 hari masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Sementara itu, Kejaksaan Agung menjadi lembaga penegakan hukum yang paling dipercaya oleh masyarakat, yakni pada angka 77 persen. Menyusul setelahnya, antara lain, pengadilan (73 persen), KPK (72 persen), dan Polri (71 persen).
Namun, di balik angka-angka tersebut, realitas di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari ideal. Fenomena no viral, no justice menjadi bukti nyata bahwa keadilan sering kali baru ditegakkan setelah kasus mendapat sorotan publik. Banyak kasus yang diabaikan hingga akhirnya viral di media sosial, barulah aparat hukum bertindak. Hal ini mencerminkan lemahnya independensi penegakan hukum dan ketergantungannya pada tekanan publik, bukan pada prinsip keadilan sejati.
Selain itu, berbagai kasus hukum yang melibatkan elite politik dan konglomerat kerap berujung pada vonis ringan atau bahkan impunitas, sementara rakyat kecil dihukum berat atas kesalahan yang jauh lebih ringan. Kondisi ini menunjukkan bahwa hukum buatan manusia selalu berpotensi membawa ketidakadilan, karena dibuat oleh individu yang memiliki kepentingan. Apalagi, dalam sistem hukum yang berbasis kepentingan politik dan ekonomi, hukum bisa dipermainkan oleh mereka yang memiliki kuasa dan uang. Ini membuktikan bahwa manusia yang lemah, terbatas, dan mudah terpengaruh tidak layak menjadi pembuat hukum. Hanya hukum yang datang dari Zat Yang Maha Adil Allah SWT yang dapat benar-benar menegakkan keadilan bagi semua.
Jika hukum terus bergantung pada kekuatan viral atau tekanan publik, maka di manakah letak supremasi hukum yang seharusnya berdiri tegak tanpa pandang bulu?
Ini menunjukkan bahwa penegakan hukum di Indonesia lebih bersifat reaktif daripada preventif, menunggu kegaduhan sebelum bertindak. Akibatnya, keadilan menjadi sesuatu yang selektif, hanya diberikan kepada mereka yang memiliki akses ke media dan dukungan massa. Ini bukan sekadar kelemahan sistem, tetapi indikasi bahwa hukum bukan lagi alat keadilan, melainkan alat politik dan ekonomi yang dapat dikendalikan oleh kepentingan tertentu.
Lebih jauh, kondisi ini memperlihatkan bahwa hukum buatan manusia cenderung berubah sesuai dengan kepentingan penguasa dan kelompok tertentu. Kasus-kasus besar yang menyangkut korupsi dan kejahatan politik sering kali berakhir dengan hukuman ringan atau negosiasi di balik layar, sementara hukum berlaku keras bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Ketika hukum bisa diperjualbelikan, di mana lagi rakyat harus mencari keadilan?
Inilah kelemahan mendasar hukum yang dibuat oleh manusia ia tidak bebas dari subjektivitas, konflik kepentingan, dan tekanan eksternal. Sejarah telah menunjukkan bahwa hukum yang berbasis pada pemikiran manusia selalu berubah sesuai dengan kepentingan zaman, bukan berdasarkan prinsip kebenaran mutlak. Berbeda dengan hukum Allah SWT yang bersifat tetap, adil, dan tidak bisa diintervensi oleh kepentingan segelintir orang. Sudah saatnya kita bertanya secara kritis: sampai kapan kita terus berharap pada sistem hukum yang berkali-kali gagal menegakkan keadilan? Bukankah sudah saatnya kita mencari sistem hukum yang benar-benar adil, yang tidak tunduk pada uang, kekuasaan, atau popularitas?
Antara Keadilan Formal dan Kezaliman Struktural
Fenomena ketidakadilan hukum yang selektif ini bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, melainkan buah dari sistem kapitalisme yang menjadikan hukum sebagai komoditas. Dalam sistem ini, hukum bukan lagi instrumen keadilan yang independen, tetapi alat untuk melindungi kepentingan mereka yang memiliki modal dan kekuasaan. Para pengusaha besar yang memiliki akses ke jaringan politik dapat dengan mudah menghindari jerat hukum, sementara rakyat kecil yang tak memiliki daya tawar kerap menjadi korban ketidakadilan. Kapitalisme membangun tatanan di mana keadilan hanya tersedia bagi mereka yang mampu membelinya, sementara yang miskin dibiarkan berjuang sendiri menghadapi kerasnya aturan yang dibuat untuk menekan mereka.
Lebih parah lagi, negara yang seharusnya berperan sebagai penjaga keadilan justru sering kali bersikap abai. Para pemimpin yang lahir dari sistem demokrasi kapitalistik lebih mementingkan keberlanjutan kekuasaan mereka daripada memastikan hukum ditegakkan dengan adil. Mereka lebih sibuk melayani kepentingan oligarki yang membiayai kampanye politik mereka daripada memenuhi amanah sebagai pemimpin rakyat. Akibatnya, hukum dijalankan dengan standar ganda tumpul bagi yang berkuasa dan tajam bagi yang lemah. Ketika negara gagal menegakkan keadilan, rakyat dipaksa mencari keadilan melalui jalur lain, seperti media sosial, unjuk rasa, atau bahkan main hakim sendiri, yang justru semakin menunjukkan bobroknya sistem hukum yang ada.
Ketidakmampuan pemimpin dalam menegakkan keadilan ini bukan sekadar kesalahan individu, melainkan cacat sistemik dari sistem kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme menempatkan keuntungan di atas segalanya, termasuk dalam aspek hukum dan pemerintahan. Inilah mengapa Islam menawarkan solusi yang berbeda, di mana hukum bukanlah alat kepentingan segelintir orang, tetapi bersumber dari wahyu yang bebas dari pengaruh politik dan ekonomi. Jika kita terus berharap pada sistem kapitalis untuk menegakkan keadilan, maka yang akan kita temukan hanyalah kekecewaan. Sudah saatnya kita melihat bahwa satu-satunya sistem hukum yang benar-benar mampu menjamin keadilan adalah hukum yang datang dari Zat Yang Maha Adil, Allah SWT.
Butuh Sistem Peradilan Berbasis Syariah
Ketidakadilan yang terjadi dalam sistem hukum saat ini menunjukkan bahwa manusia tidak layak menjadi pembuat hukum. Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan solusi dengan menetapkan hukum berdasarkan wahyu Allah SWT, bukan kepentingan politik atau ekonomi. Allah berfirman dalam Al-Qur’an: "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka. Dan berhati-hatilah terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu." (QS. Al-Ma'idah: 49). Ayat ini menegaskan bahwa hukum sejati hanya bersumber dari Allah, bukan dari hasil kompromi politik yang rentan terhadap konflik kepentingan.
Dalam sistem Islam, peradilan dijalankan dalam naungan khilafah, yang memastikan hukum ditegakkan secara adil tanpa diskriminasi. Hakim dalam Islam tidak tunduk pada tekanan politik atau uang, karena mereka hanya bertanggung jawab kepada Allah SWT. Selain itu, dalam sistem hisbah, negara memiliki mekanisme khusus untuk mengontrol para pejabat dan penegak hukum agar tidak menyalahgunakan wewenang mereka. Islam juga memiliki konsep qadhi (hakim) yang terbagi menjadi tiga: Qadhi Madzalim untuk menangani penyimpangan penguasa, Qadhi Hisbah untuk perkara sosial yang memerlukan keputusan cepat, dan Qadhi Muhtasib yang bertugas mengawasi ketertiban umum dan ketidakadilan dalam masyarakat.
Keunggulan sistem peradilan Islam terletak pada independensinya dari pengaruh politik dan ekonomi. Tidak ada ruang bagi negosiasi hukuman berdasarkan status sosial atau besarnya uang yang dimiliki seseorang. Pemimpin dalam Islam, yakni khalifah, bukan hanya bertugas sebagai kepala negara, tetapi juga sebagai pelindung keadilan yang wajib memastikan hukum Allah ditegakkan secara menyeluruh. Selama keadilan masih diatur oleh manusia yang lemah dan penuh kepentingan, ketimpangan hukum akan terus terjadi. Sudah saatnya kita berpikir lebih jauh: apakah kita akan terus bertahan dalam sistem yang terbukti gagal, atau kembali kepada sistem yang telah terbukti menegakkan keadilan selama berabad-abad, yakni peradilan berbasis syariah dalam naungan khilafah?
Wallahu A'lam Bissawab