Moderasi Beragama Menyasar Generasi, Kian Menjauhkan Dari Islam yang Hakiki
Oleh : Aisha Besima (Aktivis Muslimah Banua)
Kini arah beragama negeri ini sangat membahayakan akidah umat Islam. Yang paling digaungkan sekarang adalah moderasi beragama, dengan topengnya yang dipoles cantik dan menawan. Seakan membuat umat Islam semakin beriman. Padahal jauh dari harapan, umat Islam kian tersesat ditelan penjajah zaman now. Era digital yang semakin melenakan, diberikan solusi agar semakin beriman dengan moderasi dan toleransi yang bablas. Akankah umat Islam semakin beriman dan bertakwa?
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Selatan menguji wawasan moderasi beragama pada tahapan seleksi rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2024. Kepala Kanwil Kemenag Kalsel H Muhammad Tambrin di Banjarmasin, Senin, menyampaikan, ujian ini merupakan seleksi kompetensi bidang non Computer Assisted Test (CAT).
Uji wawasan moderasi beragama seleksi CPNS ini bertujuan untuk menggali dan memotret pengetahuan serta cara pandang beragama peserta yang moderat dalam bermasyarakat, khususnya dalam memberikan layanan public (kalsel.antaranews.com, Senin 24/12/2024).
Moderasi beragama harus diimplementasikan oleh Aparatur Sipil Negara Kemenag khususnya dan seluruh rakyat Indonesia pada umumnya. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya moderasi beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Moderasi beragama adalah sikap tengah yang tidak ekstrem, baik dalam keberagamaan maupun dalam sikap sosial, yang sangat relevan di tengah masyarakat majemuk seperti Indonesia.
Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Agama memiliki peran strategis dalam mengimplementasikan moderasi beragama, karena mereka menjadi garda terdepan dalam memberikan pelayanan publik yang inklusif dan mempromosikan nilai-nilai kebersamaan.
Moderasi beragama didefinisikan sebagai cara pandang dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.
Pemerintah kian mengharuskan gagasan moderasi agama pada generasi. Kerap ditekankan bahwa moderasi beragama bukan moderasi agama. Dengan kata lain, yang diubah bukan agamanya, melainkan hanya cara pandangnya saja. Nyatanya, cara pandang inilah yang sangat menentukan cara agama itu diamalkan dalam kehidupan dan begitu memengaruhi perilaku umatnya. Hal ini terlihat dari empat indikatornya, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi (yang tidak selaras dengan cara pandang Islam).
Ide moderasi agama sejatinya juga membawa derivat ide lainnya, yakni pluralisme beragama.
Para pengusung ide moderasi beragama menganggap bahwa heterogenitas agama harus diikat dalam spirit pluralisme yang menganggap semua agama sama. Kemunculan ide pluralisme―terutama pluralisme agama—didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan truth claim (klaim tentang kebenaran) yang dianggap sebagai pemicu munculnya ekstremisme, radikalisme agama, perang atas nama agama, serta penindasan yang mengatasnamakan agama.
Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan agama akan sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar, yang dengan kata lain adalah lenyapnya truth claim. Pengarusan moderasi beragama berdampak negatif, terutama bagi umat Islam karena menjadikan umat Islam tercegah dari paham terhadap agamanya.
Moderasi beragama menyebabkan kesalahpahaman, bahkan melahirkan ketakutan belajar agama dengan dalih tidak mau menjadi ekstremis, radikal, ataupun teroris.
Penjajah Barat berusaha keras agar potensi pemuda dalam genggamannya. Salah satu caranya dengan proyek moderasi beragama. Moderasi beragama digaungkan baru pada 2000-an. Atas nama moderasi, ajaran Islam dipaksa tunduk pada nilai-nilai Barat yang sekuler, seperti HAM, inklusivisme, kesetaraan.
Dalam sistem Islam, semua warga negara (muslim maupun non muslim) memiliki kedudukan yang sama. Dalam ranah kehidupan umum, diberlakukan sistem Islam secara menyeluruh, seperti ekonomi, pendidikan, hingga sanksi. Dalam hal masalah pribadi keagamaan, non muslim dibiarkan memeluk agamanya dan menjalankan kehidupan sesuai aturan agamanya. Cara mereka beribadah, menikah, merayakan kelahiran, ataupun melakukan upacara kematian, dibebaskan sesuai agamanya. Atau misalnya, pesta mereka biasa disertai minuman keras, maka dibolehkan asal membuat sendiri dan diminum di lingkungan khusus mereka sendiri.
Sistem ekonomi menjamin kesejahteraan rakyat dengan pengelolaan sumber daya alam sepenuhnya untuk rakyat. Sistem pendidikan Islam menyiapkan setiap anak memikul beban syariat dan menjalani kehidupan dengan aturan yang benar, yakni hidup bukan sekadar untuk memanjakan diri (semua harus sesuai passion), melainkan hidup untuk memikul tanggung jawab sehingga menjadi anak yang berbakti pada orang tua dan berusaha bermanfaat bagi orang lain. Selain itu, juga diterapkan sistem sanksi yang ekonomis, efektif, dan efisien.
Dengan demikian, jika moderasi beragama diharuskan dalam rangka membangun kehidupan yang rukun dan damai dalam masyarakat yang majemuk. Jadi, adanya anggapan bahwa berpegang teguh pada agama Islam dan menginginkan aturan Islam diterapkan dalam kehidupan merupakan sebuah radikalisme yang harus dicegah, adalah hal yang keliru. Jika yang diharapkan adalah suasana masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera, sebenarnya bukan moderasi beragama yang diperlukan, melainkan penerapan Islam kafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahu a'lam bishowab [].