Anak-Anak di Gaza Terus Menjadi Korban, Apa Solusinya?
Oleh: Sarah Fauziah Hartono
Puluhan ribu anak-anak di Gaza menjadi korban kebiadaban yang tak berperikemanusiaan. Serangan brutal Zionis telah menelan nyawa ribuan anak setiap harinya. Data mencatat lebih dari 39 ribu anak telah menjadi yatim, kehilangan orang tua mereka dalam genosida yang terus berlangsung. (erakini.id, 5/4/2025).
Derita anak-anak ini bukan sekadar angka, tetapi potret nyata dari kehancuran masa depan generasi akibat kebungkaman dunia.
Ironisnya, tragedi ini terjadi di tengah gempita wacana Hak Asasi Manusia, konvensi internasional, dan deklarasi perlindungan anak yang digembar-gemborkan oleh lembaga-lembaga global.
Namun, semua itu terbukti menjadi jargon kosong. Tak satu pun aturan tersebut mampu mencegah apalagi menghentikan penderitaan anak-anak Palestina. Dunia hanya menonton, sesekali mengecam, tetapi tak ada langkah nyata yang mengubah keadaan.
Kondisi ini sejatinya menyadarkan umat Islam bahwa mereka tak bisa lagi berharap pada sistem global yang dikendalikan oleh kepentingan politik dan ekonomi negara-negara besar.
Masa depan Gaza, dan Palestina secara keseluruhan, ada di tangan umat Islam sendiri. Dibutuhkan kepemimpinan politik yang mampu menghadirkan keadilan dan perlindungan sejati—sebuah kepemimpinan yang hanya bisa diwujudkan melalui sistem pemerintahan Islam, yakni khilafah.
Dalam sejarahnya, khilafah bukan hanya simbol politik, tetapi perisai yang melindungi umat dari kezaliman. Ia berperan sebagai pelindung (junnah) dan pemelihara (rain) yang memastikan keamanan, kesejahteraan, serta pendidikan terbaik bagi generasi muda.
Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang mendukung lahirnya peradaban agung. Selama berabad-abad, khilafah telah menjadi garda terdepan dalam menjaga kehormatan dan darah kaum Muslim, termasuk anak-anak.
Setiap Muslim memiliki kewajiban untuk terlibat dalam perjuangan menegakkan kembali kepemimpinan ini. Tidak cukup hanya mengecam atau bersedih, karena diam berarti membiarkan anak-anak Gaza terus menjadi korban. Perjuangan ini menjadi hujjah bahwa umat Islam tidak berpangku tangan menyaksikan pembantaian yang dilakukan oleh Zionis dan sekutu-sekutunya.
Penyelesaian persoalan anak-anak Gaza tidak bisa dilakukan setengah hati. Butuh solusi menyeluruh yang mampu mencabut akar penjajahan dari tanah Palestina. Solusi itu bukan dalam bentuk diplomasi kosong, tapi melalui jalan yang diajarkan Islam: jihad dan tegaknya khilafah sebagai pelindung sejati umat.
[13.09, 12/4/2025] sarah fauziah Penulis PENA SENJA: Apakah Fatwa Jihad Cukup untuk Membantu Gaza-Palestina?
Oleh: Sarah Fauziah Hartono
Kabar bahwa para ulama internasional telah menyerukan jihad sebagai respon atas tragedi kemanusiaan di Gaza menunjukkan puncak dari kegagalan berbagai upaya umat Islam dalam membantu saudara-saudara di sana (merdeka.com, 5/4/2025).
Demonstrasi, boikot, pengiriman bantuan kemanusiaan, bahkan tekanan diplomatik tak kunjung mampu menghentikan agresi dan penderitaan yang dialami oleh rakyat Palestina. Ketika seluruh ikhtiar tersebut menemui jalan buntu, seruan jihad menjadi pilihan terakhir. Namun, apakah itu cukup?
Seruan jihad yang hanya berbentuk fatwa cenderung tidak efektif. Fatwa tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum maupun militer. Padahal, kekuatan riil untuk berjihad secara fisik — yakni tentara dan persenjataan — berada di tangan para penguasa Muslim.
Ironisnya, sebagian besar dari mereka hanya lantang dalam pernyataan, tetapi tidak benar-benar mengirimkan pasukan atau dukungan militer yang konkret.
Di sisi lain, jihad defensif sejatinya sudah dijalankan oleh rakyat Palestina di bawah komando kelompok bersenjata lokal. Artinya, upaya rakyat Palestina tidak kekurangan keberanian, melainkan kekurangan dukungan struktural dan kekuasaan yang menyatukan.
Di sinilah letak persoalan utama. Untuk membebaskan Palestina secara hakiki, tidak cukup hanya mengandalkan inisiatif lokal atau seruan parsial.
Diperlukan kepemimpinan tunggal yang mampu menggerakkan umat Islam di seluruh dunia secara terorganisir dan terpusat. Kepemimpinan ini bukan sekadar simbolis, melainkan harus memiliki otoritas nyata dan kekuasaan militer global. Dalam konteks ajaran Islam, bentuk kepemimpinan seperti ini disebut khilafah.
Khilafah tidak bisa tegak begitu saja tanpa dukungan umat. Ia harus menjadi hasil dari kesadaran ideologis kolektif yang dibangun oleh gerakan dakwah yang tulus dan istiqamah. Umat, sebagai pemilik sah kekuasaan, adalah pihak yang seharusnya menentukan arah kepemimpinan.
Jika penguasa hari ini tak lagi menjalankan aspirasi umat, maka umat berhak menggantinya dengan kepemimpinan yang benar-benar mewakili kehendak mereka.
Dengan demikian, perjuangan menegakkan khilafah bukan hanya soal membela Palestina. Ini adalah persoalan hidup dan mati umat Islam secara keseluruhan.
Tanpa kepemimpinan yang menyatukan, umat akan terus tercerai-berai, hanya mampu bereaksi namun tidak bisa menuntaskan. Maka seruan jihad harus berjalan beriringan dengan seruan menegakkan khilafah, karena hanya dengan khilafah, jihad akan memiliki daya gigit yang nyata dan terarah.
Inilah solusi dari Islam: membangun kembali kepemimpinan global yang mampu menyatukan umat, menggerakkan potensi kekuatan militer, dan membawa kemerdekaan sejati bagi Palestina dan seluruh negeri-negeri Muslim yang tertindas.