Antara Validasi Data dan Kesejahteraan Rakyat


Oleh: Dian Kurniasari, SE

(Aktivis Dakwah, Ngaglik, Sleman, DIY)

Ramai dibahas tentang Dinas Sosial DIY yang mengusulkan pencoretan sekitar 8.000 penerima manfaat PKH karena peningkatan pendapatan. Program PKH sendiri telah berjalan sejak 2007 dengan kriteria penerima ibu hamil, balita, anak sekolah, disabilitas, dan lansia. Sementara itu, angka kemiskinan nasional masih tinggi, mencapai 24,1 juta orang menurut BPS tahun 2024. Bahkan dengan standar Bank Dunia, angka ini bisa mencapai 171,4 juta orang (harianjogja.com, 08/05/2025).

Usulan pencoretan penerima PKH memunculkan pertanyaan tentang efektivitas validasi data dalam mengatasi masalah kemiskinan yang lebih mendalam. Peningkatan pendapatan sebagian penerima PKH di tengah tingginya angka kemiskinan nasional mengindikasikan adanya paradoks dalam sistem ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tidak selalu menurunkan kemiskinan dan justru memperlebar ketimpangan. Kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta masyarakat lapisan bawah.

Akar masalah kemiskinan di negara mayoritas muslim yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis adalah dominasi swasta dan asing dalam menguasai sumber daya alam strategis, yang menyebabkan monopoli dan merugikan rakyat. Contohnya, segelintir perusahaan raksasa menguasai sebagian besar lahan sawit dan pasar minyak goreng. Privatisasi sektor publik yang menyebabkan mahalnya layanan dasar seperti listrik, air, kesehatan, dan pendidikan. PLN, misalnya, lebih berperan sebagai penyalur listrik dari pembangkit swasta. 

Sistem perpajakan yang dianggap tidak adil, memberatkan rakyat kecil namun memberikan keringanan bagi konglomerat. Kebijakan tax amnesty dan kasus pengusaha UD. Pramono menjadi contohnya. Sistem ribawi dan utang negara yang membebani APBN, dengan sebagian besar anggaran dialokasikan untuk membayar bunga utang. Dimana pembayaran bunga utang tahun 2025 mencapai Rp 52 triliun.

Validasi data dan pengurangan penerima bantuan sosial seperti PKH adalah solusi parsial yang tidak menyentuh akar permasalahan kemiskinan struktural. Solusi mendasar yang harus nya dilakukan adalah mengganti sistem ekonomi kapitalis dengan sistem ekonomi Islam. 

Dalam sistem ekonomi Islam, sumber daya alam (SDA) adalah kekayaan milik umum yang dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Sementara, zakat dioptimalkan sebagai instrumen redistribusi kekayaan. Sistem ribawi dilarang, dan negara akan membantu masyarakat tanpa bunga. Negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu. Setiap individu yang mampu wajib bekerja, dan negara menyediakan lapangan pekerjaan dan pelatihan. Bagi yang tidak mampu, nafkah menjadi tanggung jawab ahli waris, dan jika tidak ada, ditanggung oleh Baitul Mal. Pungutan dari orang kaya bersifat insidentil untuk kebutuhan mendesak, bukan pajak rutin.

Sejarah menunjukkan bahwa penerapan sistem ekonomi Islam di masa lalu mampu mewujudkan kesejahteraan. Janji Rasulullah SAW tentang kembalinya Khilafah yang akan memberikan harta berlimpah juga menjadi harapan. Oleh karena itu, perubahan mendasar pada sistem ekonomi diperlukan untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang hakiki, bukan sekadar perbaikan data dalam sistem yang dianggap memiliki banyak kekurangan. Kesejahteraan sejati hanya akan tercapai dengan sistem yang adil dan menyeluruh.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel