Ketika Hubungan Sedarah Menjadi Fantasi—Tanda Runtuhnya Sistem Keluarga
Oleh: Arista Indriani
Bangsa ini kembali diguncang oleh kabar memilukan: munculnya grup di Facebook yang terang-terangan membahas dan memfasilitasi fantasi hubungan sedarah (inses). Fakta ini bukan isapan jempol belaka—berbagai media telah melaporkan bahwa grup tersebut bahkan telah memiliki ribuan anggota dan berisi konten berbau pornografi yang memuat kisah-kisah hubungan inses, lengkap dengan gambar dan video.
Komnas Perempuan dan Kementerian PPPA pun angkat bicara, menegaskan bahwa ini adalah bentuk kejahatan yang merusak tatanan nilai dan moral bangsa. Namun, pertanyaannya: mengapa fenomena menjijikkan seperti ini bisa tumbuh, bahkan berkembang secara masif di ruang publik digital yang bisa diakses siapa saja, termasuk anak-anak?
Fenomena ini bukanlah gejala sosial biasa, melainkan alarm keras bagi kita semua bahwa sistem keluarga dalam masyarakat telah runtuh. Tindakan inses adalah bentuk paling ekstrem dari penyimpangan moral dan sosial. Dalam Islam, ini adalah dosa besar, dan dalam masyarakat manapun yang masih punya nurani, perbuatan ini tak pernah dapat diterima.
Runtuhnya Tatanan Keluarga dalam Sistem Sekuler Kapitalisme
Fenomena ini adalah buah dari sistem sekuler kapitalisme yang kita anut hari ini. Sekulerisme mencabut peran agama dari ruang publik—agama hanya dibiarkan eksis dalam ruang pribadi, tanpa pengaruh dalam sistem pendidikan, hukum, dan sosial. Akibatnya, tidak ada lagi acuan moral yang kokoh dalam masyarakat.
Kapitalisme memperparah kondisi ini dengan menjadikan kebebasan individu sebagai nilai tertinggi. Seks bebas, pornografi, konten vulgar di media sosial dan hiburan dianggap sebagai bagian dari “hak individu” dan bahkan dilindungi oleh hukum atas nama kebebasan berekspresi. Negara dalam sistem ini tidak hadir sebagai pelindung moral publik, melainkan sebagai fasilitator liberalisasi budaya yang rakus akan profit.
Lihat saja bagaimana media digital berkembang tanpa kendali—konten seksual dan kekerasan menjadi komoditas, bukan lagi kejahatan. Bahkan grup inses bisa bebas beroperasi di platform global seperti Facebook, menunjukkan lemahnya kontrol negara terhadap arus informasi dan nilai.
Lemahnya pendidikan moral dan agama dalam sistem pendidikan nasional juga menjadi penyebab mendasar. Sistem sekuler telah menjadikan pendidikan sebagai alat produksi tenaga kerja, bukan sebagai sarana pembentukan karakter. Nilai agama dikurangi porsinya, bahkan diganti dengan nilai-nilai global yang tidak sesuai dengan fitrah dan budaya bangsa.
Negara yang Gagal Menjaga Keluarga
Alih-alih menjadi pelindung keluarga, negara justru seringkali menjadi bagian dari kerusakan. Berbagai kebijakan liberal seperti legalisasi pergaulan bebas terselubung, kampanye seks aman, bahkan wacana legalisasi prostitusi menunjukkan bahwa negara tidak lagi bertujuan membentuk masyarakat yang bermoral, melainkan sekadar mengelola kerusakan agar tidak meledak. Bahkan pendekatan “penegakan hukum” terhadap grup inses lebih bersifat reaktif daripada preventif.
Sementara itu, keluarga yang seharusnya menjadi benteng utama moral dan akhlak anak justru dihantam oleh tuntutan ekonomi kapitalistik: orang tua sibuk bekerja, anak-anak tumbuh tanpa perhatian dan nilai. Keluarga tercerabut dari fungsinya sebagai tempat penanaman nilai dan penjagaan fitrah.
Islam Sebagai Solusi Sistemik
Islam tidak sekadar mengecam inses sebagai dosa besar—tapi menawarkan solusi sistemik yang preventif, edukatif, dan represif dalam menangani semua potensi kerusakan moral ini. Islam membangun ketakwaan individu sejak dini, dengan menjadikan iman sebagai fondasi pendidikan. Sistem sosial dalam Islam tidak memberi ruang pada pornografi, zina, apalagi inses. Semua potensi kerusakan itu dicegah dari akarnya.
Islam juga mewajibkan amar makruf nahi munkar sebagai kontrol sosial, menjadikan setiap anggota masyarakat sebagai penjaga kebaikan. Media dalam sistem Islam tidak bebas menyebarkan konten sesat, melainkan dikawal agar menjadi sarana dakwah dan edukasi moral.
Negara dalam sistem Islam bukanlah institusi netral, tapi pelindung aqidah dan penjaga keluarga. Negara tidak hanya memberi sanksi tegas bagi pelaku inses, tetapi juga menutup seluruh celah yang dapat mengantarkan kepada perbuatan itu. Islam menetapkan hukum yang memberikan efek jera dan menjamin perlindungan terhadap kehormatan keluarga.
Akhirnya, umat harus sadar: akar dari kerusakan ini bukanlah individu semata, tetapi sistem kehidupan sekuler kapitalistik yang rusak dari dasarnya. Jika ingin menyelamatkan generasi dan menjaga kehormatan keluarga, satu-satunya jalan adalah kembali kepada Islam sebagai sistem kehidupan yang menyeluruh. Saatnya mengganti sistem, bukan sekadar mengutuk gejala.