Kurikulum Cinta, Waspadai “Gagasan Baru” Penguat Pluralisme di Indonesia
Oleh : Karina N Husna, S.Pd
Kementerian Agama akan mengembangkan pendidikan berbasis cinta. Hal ini disampaikan Menag Nasaruddin Umar saat memberikan arahan pada Penguatan Motivasi Kinerja ASN dan Peresmian Sarpras Pendidikan dan Keagamaan SBSN 2024 Kanwil Kemenag Prov Jateng di Rembang, Kamis (28-11-2024). Menurut Menag Nasaruddin, madrasah adalah benteng bagi bangsa Indonesia. Oleh karenanya, ke depan Kemenag akan membuat kurikulum berbasis cinta. Bagi Menag Nasaruddin, semua agama mengajarkan kebaikan bagi umatnya, tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. “Makin sadar kita menjalankan ajaran agama masing-masing, maka akan damai dunia ini. Tantangan ke depan adalah bagaimana mengonsolidasi ajaran agama kepada masyarakat secara mendalam,”
Senada dengan Menag, Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno menyatakan bahwa “Pendidikan karakter di Indonesia membutuhkan inovasi yang lebih mendalam, salah satunya melalui pendekatan yang lebih integratif dan sistematis dalam kurikulum.” Amien Suyitno menilai, saat ini masih terdapat fenomena sejumlah pelajar yang menunjukkan sikap intoleran, saling menyalahkan, bahkan membenci satu sama lain karena perbedaan keyakinan. Hal ini, kata Amien, sering kali terjadi tanpa disadari sejak dini. Oleh karena itu, Kurikulum Cinta hadir sebagai solusi melalui insersi nilai-nilai keberagaman dalam berbagai mata pelajaran, khususnya dalam pendidikan Islam di bawah naungan Kementerian Agama. Dengan diterapkannya Kurikulum Cinta, diharapkan Indonesia dapat melahirkan generasi yang lebih toleran, inklusif, dan penuh kasih sayang—mewujudkan masyarakat yang harmonis dalam keberagaman.
Kurikulum ini, kata Suyitno, menekankan empat aspek utama:
Pertama, membangun cinta kepada Tuhan (Hablum Minallah). Anak-anak sejak dini dibiasakan memperkuat hubungannya dengan Allah.
Kedua, membangun cinta kepada sesama manusia, apa pun agamanya. Anak-anak harus dibiasakan dengan keberagaman, membangun Hablum Minannas yang kuat.
Ketiga, membentuk kepedulian terhadap lingkungan (Hablum Bi’ah). Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini harus ditangani secara terstruktur dan sistematis. Anak-anak kita harus disadarkan akan pentingnya menjaga bumi.
Keempat, kecintaan terhadap bangsa (Hubbul Wathan). Ini juga menjadi pilar penting dalam kurikulum cinta. Banyak anak-anak kita yang setelah belajar di luar negeri, justru lebih merasa menjadi orang luar dibandingkan bagian dari bangsanya sendiri. Kita ingin menginsersi agar anak-anak kita tetap berpegang teguh pada akar budayanya,” ungkapnya.
Kemudian untuk implementasnya, Kurikulum Cinta tidak diperkenalkan sebagai mata pelajaran baru, melainkan akan diintegrasikan ke dalam berbagai mata pelajaran yang sudah ada. Kementerian Agama melalui Ditjen Pendidikan Islam telah menyiapkan buku panduan yang akan menjadi acuan bagi para pendidik dalam menyisipkan nilai-nilai cinta, toleransi, dan spiritualitas ke dalam pembelajaran. Strategi implementasi kurikulum ini akan disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Misalnya, di tingkat Pendidikan Raudhatul Athfal (RA/PAUD), metode pembelajaran akan menggunakan permainan dan pembiasaan positif. Sementara itu, di jenjang pendidikan lebih tinggi, pendekatan berbasis pengalaman dan refleksi akan lebih ditekankan. “Kami sudah melakukan riset dan survei terkait kondisi keberagaman di Indonesia, dan memang masih ada tantangan yang perlu kita hadapi bersama. Oleh karena itu, pendidikan harus menjadi landasan utama untuk memperbaiki kondisi ini,” ujar Suyitno.
Sebagai langkah awal, Kementerian Agama akan melakukan pendampingan bagi para pendidik serta mempersiapkan instrumen evaluasi yang dapat mengukur keberhasilan Kurikulum Cinta secara berkelanjutan. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat dan pemangku kepentingan pendidikan, sangat dibutuhkan agar kurikulum ini dapat berjalan secara efektif dan berdampak luas.
Kurikulum Cinta : Mengancam Aqidah Anak
Gagasan Kurikulum Cinta lahir dari cara pandang bahwa tidak ada kebenaran absolut, termasuk dalam agama. Sehingga Menag mengatakan tidak boleh guru mengajarkan agama (Islam) sebagai agama yang benar sedang agama lain salah/sesat.
Ketika guru dengan alasan cinta kasih dan toleransi harus mengajarkan bahwa semua agama benar maka hal ini sangat membahayakan akidah anak didik sejak dini. Karena akhirnya anak akan bingung atau tidak bisa membedakan mana agama yang benar dan yang salah/sesat. Kewajiban dakwah mengajak kepada Islam bisa-bisa ditinggalkan, karena menganggap toh agama yang lain juga sama benarnya.
Hal ini akan berdampak juga pada hilangnya rasa bangga terhadap agamanya apalagi memperjuangkan agamanya. Karena tuntutan harus bersikap toleran terhadap agama lain yg sama benarnya, bisa jadi di kemudian hari mereka akan sangat mudah berpindah agama atau bahkan agnostik, karena agama bukan sesuatu yang sakral atau penting dalam hidupnya.
Klaim Ad Diin, Dianggap Bahaya dan Pemicu Konflik
Adapun tudingan bahwa Ad Diin yaitu suatu pemahaman meyakini agamanya sebagai satu-satunya yang benar, dianggap akan memicu tindak kekerasan, hal ini pun tidak sesuai dengan fakta dan sejarah. Walaupun seorang muslim meyakini hanya Islam agama yang benar, Islam tidak pernah membolehkan seorang muslim menzalimi orang kafir tanpa haq. Bahkan dalam negara Islam, orang kafir dzimmi dijamin/dilindungi oleh negara darah dan hartanya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw.
“Ketahuilah, bahwa siapa yang menzalimi seorang mu’ahad (non-muslim yang berkomitmen untuk hidup damai dengan umat muslim), merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud)
Dalam hadis lain riwayat Imam Thabrani disebutkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda;
“Barangsiapa menyakiti seorang zimmi (non-muslim yang tidak memerangi umat muslim), maka sesungguhnya dia telah menyakitiku. Dan barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah.”
Kurikulum Cinta : Bagian dari Proyek War on Terorism yang Dilanjutkan
Tudingan bahwa meyakini agamanya yang paling benar akan menyebabkan konflik, sesungguhnya adalah tudingan Barat dalam proyek war of terrorism-nya. Lalu dilanjutkan dengan proyek moderasi beragama yang dipaksakan ke negeri-negeri muslim. Tuduhan terorisme tidak lagi digunakan, tapi diganti dengan sebutan radikalisme. Radikalisme dianggap menjadi bibit terorisme.
Hadirnya Kurikulum cinta ini sejatinya adalah upaya deislamisasi pemikiran pemikiran Islam yang lurus agar sesuai prinsip prinsip moderat ala barat. Merujuk kepada pemikiran Tony Blair pada 2005 ketika dia mengomentari bahwa Islam itu adalah ideologi setan, diantara ciri cirinya adalah tidak sejalan dengan ide moderat barat.
Islam Menolak Pluralisme
Istilah apapun yang mengarah pada keyakinan semua agama adalah sama yang dibalut dengan kata cinta dan yang semisalnya patut diwaspadai agar tidak merusak aqidah. Ada beberapa alasan sebagai seorang muslim wajib menolak pemahaman ini.
Pertama, Allah swt telah menjelaskan dengan gamblang dalam firman-Nya barang siapa yang mencari agama lain adalah tertolak.
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3]: 85)
Kedua, Allah swt juga dengan tegas mengatakan bahwa hanya Islam satu-satunya agama yang Allah ridhai. Sebagaimana firman-Nya :
" .... Pada hari ini telah Aku menyempurnakan agamamu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu , dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu..." (QS : Al-Maidah :3)
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam” (QS. Ali ‘Imran: 19).
Ketiga, Al-Qur'an sebagai petunjuk umat muslim tidak boleh sama sekali menyalahi aturan yang telah Allah tetapkan Allah berfirman:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian(yang menguji kebenaran) terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al Maidah [5]: 48)
Bukankah aqidah Islam telah membangun pondasi yang kokoh bahwa wajibnya seorang muslim untuk meyakini seutuhnya bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan agama yang Allah swt ridhai. Maka upaya apapun untuk merusak aqidah, baik dengan istilah-istilah yang mengarah pada upaya pluralisme wajib kita cegah dan kita jauhkan dari dunia pendidikan.
Wallahu a'lam bishawab.