MENEROPONG KEBIJAKAN UNTUK PENERIMA BANTUAN SOSIAL
Oleh: Inge Oktavia Nordiani
Usulan kebijakan gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengenai kewajiban vasektomi atau KB pria sebagai syarat menerima bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat prasejarah menuai kontroversi. Meskipun setelah itu gubernur Dedi Mulyadi menyanggah hal tersebut. Ia mengatakan "tidak ada kebijakan vasektomi". Syarat keluarga berencana merupakan sebuah anjuran terlebih kepada calon penerima bansos yang telah memiliki banyak anak. Namun ia tidak menampik bahwa KB utamanya dianjurkan kepada laki-laki (Antara.com, 8 Mei 2025).
Senada dengan unggahan vlog Dedi Mulyadi yang diunggah pada 12 Oktober 2024 lalu. Kisah ketika Dedi Mulyadi bertemu sejumlah anak penjual roti yang bersaudara. Tampak bapaknya tidak bekerja dan ada di rumah. Sedangkan anak-anaknya tidak sekolah formal dan ibunya sedang hamil anak ke-12. Hal ini merupakan salah satu alasan usulan kebijakan tersebut. Lantas muncul sebuah pertanyaan mengapa masih ada anak-anak di bawah umur yang bekerja mengais rezeki? Dimana letak kesejahteraan rakyat? Bukankah Indonesia negeri yang subur dan kaya sumber daya alam?
Dilansir dari goodStart.id, 12 Mei 2025 terlepas dari semua itu, ternyata program vasektomi sudah mulai dijalankan di beberapa wilayah seperti di Bandung yang menggelar kegiatan ini setiap hari Rabu. Rasionalisasi yang dibangun adalah kebijakan ini bukan hanya untuk mengurangi beban perempuan dalam program KB tetapi sebagai bentuk tanggung jawab pria terhadap keluarga mereka. Data hasil pencapaian pelayanan vasektomi di Indonesia, Provinsi Banten memimpin capaian 185% diikuti Sumatera Selatan 133,33%, Kepulauan Riau 129,41%, Jawa Barat mencatatkan progress sebesar 126 32%. Jawa Barat sendiri merupakan provinsi yang tingkat partisipasinya cukup tinggi.
Seharusnya bukanlah mengaitkan antara banyak anak dengan kemiskinan keluarga. Justru yang perlu diperhatikan adalah bagaimana Indonesia dapat mengentaskan kemiskinan. Upaya mengkaitkan antara kemiskinan dengan banyaknya anak hanya akan mencederai keyakinan utamanya kaum muslimin yang berpegang teguh pada prinsip banyak anak banyak rezeki. Menjadi hal yang wajar memang prinsip tersebut untuk menjadi tidak relevan bagi keadaan hari ini karena sejatinya kita hidup di dalam sistem yang meniscayakan kemiskinan rakyatnya. Sebab bila ditelusuri penyebab kemiskinan ada dua. Pertama kemiskinan kultural, misalnya pemalas, daya juangnya rendah, menggantungkan pada istri dan anak-anak untuk bekerja. Namun yang kedua adalah kemiskinan struktural. Ini disebabkan oleh sistem yang melingkupi kehidupan sebagaimana hari ini kita hidup dalam penerapan sistem ekonomi yang rusak dan merusak. Di dalam sistem ini terjadi penguasaan kekayaan negara oleh segelintir orang yang mengakibatkan munculnya ketimpangan sosial yang lebar dan dalam. Kita kenal sebagai kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Bahkan menurut tim nasional percepatan penanggulangan kemiskinan (TNP2K) 50% aset nasional dikuasai hanya oleh satu persen orang kaya di tanah air. Sistem kapitalisme juga membuka kran dibolehkannya kekayaan alam dikuasai oleh perusahaan asing maupun dalam negeri. Sehingga eksploitasi, misalnya dalam hal pertambangan oleh perusahaan swasta maupun asing tidak menaikkan taraf hidup warga setempat justru kebanyakan rakyat hanya merasakan dampak kerusakan lingkungan dan ekonomi.
Penumpukan kekayaan pada segelintir orang ini menyebabkan roda ekonomi tidak berputar akibatnya daya beli menurun, usaha lesu bahkan bangkrut. Pengangguran bertambah warga kesulitan mengakses pendidikan dan angka kemiskinan pun bertambah. inilah lingkaran setan kemiskinan yang dihasilkan oleh penerapan sistem kapitalisme. Belum lagi korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu hingga nominal kuadriliun yang sejatinya bila itu kembali pada rakyat rakyat akan tersejahterakan.
Menjadi sangat ironi ketika warga miskin justru disalahkan karena menikah dan punya anak banyak sehingga seakan-akan rakyat digiring untuk tidak berempati kepada keluarga yang memiliki banyak anak. Seorang bapak yang tidak mau bekerja tentu itu salah dan butuh diedukasi. Seharusnya pemimpin memikirkan cara untuk mencerdaskan rakyatnya agar mampu mengatur jarak dan mampu bertanggung jawab atas keluarganya. Selain itu juga bagaimana bisa mengembalikan hak rakyat untuk diayomi, tentu dibutuhkan sistem yang meniscayakan kesejahteraan rakyatnya. Sistem ekonomi kapitalisme telah nyata semakin memeras rakyatnya hingga rakyat benar-benar tercekik. Bantuan sosial yang sejatinya adalah hak semua rakyat tidak seharusnya dijadikan alat untuk mengancam rakyat. Oleh karena itu kembali pada rumusan sistem ilahi yaitu sistem Islam merupakan sebuah kebijaksanaan demi ketentraman hidup di dunia lebih -lebih di akherat.