Eksis di Hadapan Allah atau Manusia?


Oleh: Atikah Mauluddiyah 


Tren flexing (memamerkan harta kekayaan, pencapaian hidup, gaya hidup berlebihan), gaya hidup hedonisme, hingga berlenggak-lenggok menari untuk mendapatkan pengakuan dari manusia di media sosial saat ini adalah hal yang biasa dilakukan oleh pemuda. Keinginan mendapatkan banyak pengikut, endorse, hingga bayaran dari ramainya akun media sosial, menjadikan banyak pemuda berlomba-lomba untuk eksis di hadapan manusia. Bahkan aktivitas yang Allah haramkan pun dilakukan demi mendulang materi, seperti yang terjadi pada kasus siaran live masturbasi di instagram oleh mahasiswa di Pasuruan yang akhirnya diamankan oleh pihak kepolisian (detik.com, 15/05/2025). 

Aktivitas flexing, gaya hidup hedonisme, berlenggak-lenggok di media sosial untuk tujuan mengejar materi hingga tidak ada lagi pembatas mana halal dan mana haram jelas tidak dibolehkan dalam Islam. Kebebasan beraktivitas yang dijamin oleh pengaturan kapitalis sekuler saat ini menjadikan pemuda muslim jauh dari pemahaman Islam dan terseret pemahaman kebebasan. Walhasil, banyak pemuda muslim rela melakukan aktivitas yang diharamkan dalam Islam semata untuk mendapatkan materi atau ketenaran. 

Sebagai seorang muslim, jelas aturan Islam yang harus dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan aktivitas, mengambil standar halal dan haram dibandingkan standar untung dan rugi. Ketika seorang pemuda muslim ingin berkontribusi dalam dunia sosial media, maka dia akan melihat apa saja yang dihalalkan dan apa yang diharamkan karena tujuan utamanya adalah menggapai eksis di hadapan Allah, bukan eksis di hadapan manusia. Misalnya saja, ia akan fokus menjadikan akun media sosialnya sebagai ladang dakwah, menyampaikan dan menyerukan kebenaran Islam, melakukan amar makruf nahi mungkar dan konsisten walaupun tidak mendapatkan banyak perhatian manusia ataupun mendapatkan kritikan dari orang-orang yang menentang dakwah Islam. 

Betapa besar pahala dakwah ini di hadapan Allah apabila dilakukan dengan mengharap rida Allah semata. Allah menyerukan kewajiban dakwah tersebut dalam Surat an-Nahl ayat 125,

اُدۡعُ اِلٰى سَبِيۡلِ رَبِّكَ بِالۡحِكۡمَةِ وَالۡمَوۡعِظَةِ الۡحَسَنَةِ‌ وَجَادِلۡهُمۡ بِالَّتِىۡ هِىَ اَحۡسَنُ‌ؕ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” 

Dakwah ini juga tidak menuntut imbalan dari manusia, sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nidham al-Islam, "Mereka (pengemban dakwah) melakukannya dengan gembira dan mengharapkan keridaan Allah. Mereka tidak berharap dari amal perjuangannya itu imbalan (dari manusia), tidak menunggu ucapan terima kasih dan tidak mencari sesuatu apapun, kecuali keridaan Allah semata." 

Dakwah tidak bisa dilakukan tanpa adanya bahan dan persiapan yang matang, maka dari itu diperlukan ilmu yang dapat diperoleh melalui kajian-kajian Islam. Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR Ibnu Majah No. 224). 

Berdasarkan hadis tersebut mengindikasikan bahwa sudah menjadi kewajiban kepada kaum muslim untuk menuntut ilmu, terutama ilmu yang berkaitan dengan syariat Islam. Dengan ilmu Islam itulah, seorang muslim bisa mengetahui mana yang halal dan mana yang haram. 

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nidham al-Islam menyatakan, "Manusia di dalam kehidupan dunia ini terikat dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya." Dengan demikian, aktivitasnya akan senantiasa menyesuaikan dengan hukum Islam, termasuk apakah eksis yang dia inginkan adalah untuk manusia ataukah untuk Allah ‘azza wajalla. 

Selain melalui media sosial, eksis di hadapan Allah juga bisa dilakukan dengan memperbanyak melakukan amal salih, baik terkait melaksanakan perkara yang Allah wajibkan, memperbanyak amalan sunah, menyedikitkan yang mubah, menghindari yang makruh, serta menjauhi dan meninggalkan yang haram. Adapun ketentuan agar amal salih diterima oleh Allah subhanahu wata’ala adalah sebagai berikut. 

1. Ikhlas, yaitu meniatkan setiap amal salih semata untuk Allah, tanpa ada ruang sedikit pun untuk manusia, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam Surat al-Bayyinah ayat 5,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allâh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” 

2. Ittiba’, yakni menyesuaikan amal salih dengan syariat Islam, sebagaimana Allah firmankan dalam Surat al-Hasyr ayat 7,

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dia larang kepadamu, maka tinggalkanlah.” 

Terwujudnya keikhlasan dan ittiba’ menjadi penentu apakah amal seorang muslim diterima ataukah ditolak oleh Allah. Dua hal tersebut haruslah diupayakan ada dalam setiap amal seorang muslim untuk mendapatkan pengakuan sebagai sorang hamba di hadapan Allah. 

Eksis di mata Allah, baik melalui media sosial maupun kehidupan sehari-sehari haruslah menjadi tujuan utama dari seorang muslim, termasuk pemuda muslim saat ini yang menjadi calon pemimpin umat. Jangan sampai potensi besar pemuda muslim teralihkan dengan aktivitas yang tidak memiliki kontribusi bagi kebangkitan umat, bahkan memengaruhi umat untuk semakin jauh dari Islam. Na’udzubillahimindzaalik. 


Wallahu a’lam.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel