Kisruh Empat Pulau: Antara Migas, Otonomi Daerah, dan Ancaman Disintegrasi


Oleh: Pambayun


Pengalihan empat pulau dari Provinsi Aceh ke Sumatera Utara (Sumut) kembali memanaskan perdebatan antar daerah. Keputusan Kementerian Dalam Negeri melalui Kepmendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek sebagai bagian dari wilayah administratif Sumut, menuai reaksi keras dari masyarakat dan pemerintah Aceh.

Sengketa ini tidak hanya menyangkut batas wilayah administratif semata, tetapi juga membuka tabir betapa rumitnya penerapan sistem Otonomi Daerah (Otda) di tengah potensi kekayaan alam, terutama sumber daya minyak dan gas bumi (migas) di wilayah yang disengketakan.

Potensi Migas, Otda, dan Kepentingan Wilayah

Dalam polemik ini, potensi sumber daya alam menjadi latar belakang yang mencuat. Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, secara terbuka mengajak Pemerintah Aceh untuk mengelola potensi migas di empat pulau yang kini berada dalam wilayah Sumut. "Kalau sudah ditetapkan ke Provinsi Sumut, maka bagaimana potensi di dalamnya bisa dikelola bersama-sama," ujar Bobby saat menemui Gubernur Aceh pada 10 Juni 2025 (Tempo.co, 13/6/2025).

Sementara itu, Anggota DPR RI asal Aceh, Muslim Ayub, menuding tegas bahwa perpindahan administratif ini tak lepas dari aroma kepentingan atas cadangan migas. "Sudah pasti 1.000 persen, kalau bisa 5.000 persen itu persoalannya karena mengandung (migas)," ujarnya dalam sebuah diskusi publik, Sabtu 14 Juni (CNN Indonesia, 15/6/2025).

Namun, pihak Kemendagri membantah tudingan tersebut. Dirjen Bina Administrasi Wilayah Kemendagri, Safrizal Zakaria, menyatakan bahwa penetapan hanya berdasarkan analisis spasial dan aspek administrasi. Meski begitu, publik tetap mencurigai adanya konflik kepentingan dalam penentuan wilayah ini.


Otonomi Daerah dan Jurang Kesenjangan

Sengketa ini kembali menyingkap kelemahan struktural dalam sistem Otonomi Daerah. Sejak lahirnya reformasi, otonomi daerah diharapkan menjadi sarana pemerataan pembangunan. Namun, kenyataannya, otonomi justru melahirkan kompetisi antar daerah dalam memperebutkan sumber daya ekonomi.

Dalam sistem otonomi, masing-masing daerah diberikan kewenangan luas dalam pengelolaan daerah termasuk potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Akibatnya, daerah dengan kekayaan alam melimpah menjadi lebih sejahtera, sementara daerah miskin SDA tertinggal jauh. Ketimpangan ini membuka potensi konflik dan kecemburuan sosial.

Tak heran jika potensi migas di empat pulau itu menjadi daya tarik utama dalam penentuan batas wilayah. Kepemilikan atas wilayah kaya SDA seperti migas dapat mempertebal PAD dan memperkuat posisi politik daerah dalam sistem demokrasi otonom. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memantik benih disintegrasi.


Aceh: Di Tengah Luka Historis dan Realitas Geografis

Aceh, yang sejak awal punya sejarah panjang dengan pusat, merasa pengalihan ini adalah bentuk pengabaian terhadap data historis mereka. Gubernur Aceh menolak keputusan Kemendagri karena merasa memiliki cukup bukti administratif dan historis, termasuk SK Agraria tahun 1965, peta TNI AD tahun 1978, dan perjanjian gubernur tahun 1992 yang menyebut empat pulau tersebut berada dalam wilayah Aceh (Kompas.com, 12/6/2025).

Namun dari sisi teknis, Kemendagri menyebut titik koordinat pulau-pulau yang diklaim Aceh tidak sesuai. Data menunjukkan empat pulau itu lebih dekat secara geografis ke Tapanuli Tengah daripada ke Aceh Singkil. Di sinilah letak dilema: antara klaim historis dan koordinat geografis.


OTDA: Sistem Warisan Kapitalisme yang Penuh Celah

Sistem Otonomi Daerah di Indonesia adalah bentuk desentralisasi yang lahir dari semangat demokrasi Barat pasca-revolusi industri. Dalam sistem ini, kekuasaan administratif dan fiskal dibagi ke daerah. Namun, praktiknya kerap kali menciptakan ketimpangan struktural dan perlombaan egoistik antar daerah.

Alih-alih menyejahterakan rakyat secara merata, otonomi daerah justru menjadikan sumber daya alam sebagai komoditas yang diperebutkan. Pulau yang dulu sepi dan tidak berpenghuni tiba-tiba menjadi aset berharga ketika ditemukan potensi migas di sekitarnya. Inilah wajah Otda dalam kerangka kapitalisme: memicu kecemburuan dan membuka peluang disintegrasi.

Sebagaimana dicatat Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), konflik wilayah ini seharusnya disikapi bijak. Direktur Eksekutif KPPOD Herman Suparman menegaskan perlunya ruang dialog yang adil dan transparan agar tidak menjadi bara yang menyala di kemudian hari (Kompas.com, 12/6/2025).


Islam Menawarkan Jalan Sentralistik yang Adil

Berbeda dari sistem desentralisasi kapitalis, Islam menawarkan sistem pengelolaan wilayah yang bersifat sentralistik dalam bingkai keadilan dan tanggung jawab penguasa. Dalam sistem Islam, seluruh wilayah negara—dengan potensi apapun—diurus secara terpusat oleh negara, bukan dimonopoli oleh daerah tertentu.

Negara dalam sistem Islam bertanggung jawab memenuhi kebutuhan seluruh rakyat, bukan hanya rakyat di daerah kaya SDA. Tidak ada pembagian PAD berdasarkan kekayaan wilayah. Semua kekayaan milik umum dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan seluruh rakyat.

Khalifah sebagai kepala negara adalah raa’in (pengurus umat) dan junnah (pelindung). Ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah atas kebijakan yang diambil. Sistem ini menjamin tidak ada satu wilayah pun yang tertinggal, karena pemenuhan kebutuhan rakyat dilakukan secara menyeluruh.

Kisah solidaritas pada masa Umar bin Khattab ra. saat Madinah dilanda paceklik menjadi contoh nyata bagaimana wilayah lain dengan sukarela dan cepat mengirim bantuan ke pusat, tanpa mempertanyakan “apa untungnya untuk daerah mereka”.


Dari Sengketa Menuju Solusi

Sengketa empat pulau ini bukan sekadar persoalan batas administratif, tetapi cermin betapa sistem otonomi dan paradigma kapitalisme telah menggerogoti semangat kebersamaan dan keadilan.

Selama sistem ini terus dipertahankan, selama potensi migas lebih bernilai ketimbang persatuan wilayah, maka polemik serupa akan terus terjadi. Dan rakyat, lagi-lagi hanya menjadi penonton atas tarik-menarik kekuasaan.

Sudah saatnya Indonesia mengkaji ulang sistem pemerintahan dan distribusi kekayaan yang digunakan hari ini. Jika keadilan dan kesejahteraan merata adalah tujuannya, maka Islam menawarkan sistem sentralistik yang adil, kuat, dan menyatukan.

“Sesungguhnya imam (khalifah) itu junnah (perisai) yang orang-orang akan berperang di belakangnya dan berlindung dengan kekuasaan-nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)



Sumber Referensi:

Tempo.co, 13 Juni 2025: Sengketa 4 Pulau Aceh Ditetapkan ke Sumut: Potensi SDA Migas Disorot

Kompas.com, 12 Juni 2025: Polemik 4 Pulau Aceh dan Sumut, Antara Jejak Historis dan Letak Geografis

CNN Indonesia, 15 Juni 2025: Polemik 4 Pulau Aceh-Sumut, Anggota DPR Duga Berkaitan Potensi Migas

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel