Penghormatan Pada Negara Pengusung Islamophobia, Bagaimana Harusnya Negara Bersikap?

 


Oleh: Shifwah(Aktivis Muslimah Kalsel)


Presiden Prancis Emmanuel Macron melakukan kunjungan ke Indonesia pada Rabu, 28 Mei 2025 silam. Kunjungan ini mendapat sambutan hangat dari Presiden RI Prabowo Subianto.

Menurutnya kunjungan tersebut merupakan suatu kehormatan yang besar apalagi pada tahun ini 75 tahun sudah Prancis dan Indonesia menjalin hubungan diplomatik (Kompas.com, 28/05/2025). Prabowo juga menjelaskan bahwa hubungan bilateral tersebut berakar pada saling menghormati dan prinsip-prinsip yang di anut, yaitu kedaulatan, kemerdekaan, menghormati hak-hak asasi manusia, dan demokrasi.

Kunjungan Macron tidak hanya disambut hangat oleh Bapak Presiden RI, namun sejumlah Menteri lain juga melakukan hal yang sama seperti Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman yang telah menandatangani declaration of intent (DOI) untuk kerja sama di bidang teknologi pada sector ketahanan pangan dan pertanian (beritasatu.com, 30-05-2025). 

Macron juga mengunjungi Akademi Militer (Akmil) Magelang dan Candi Borobudur. Menurut Pengamat hubungan internasional Hikmahanto Juwana menilai kunjungan Presiden bukan sekadar simbolis. Menurutnya, kunjungan ini mencerminkan dua fokus utama dalam hubungan bilateral Indonesia–Prancis, penguatan kerja sama pertahanan dan diplomasi kebudayaan. (metrotv.news, 29-05-2025)

Sebagai umat Muslim, kedatangan Presiden Prancis ini patut menjadi perhatian kita. Terlebih Prancis merupakan salah satu negara yang melegalkan Islamophobia. Dikutip dari international.sindonews.com (13/03/2024) Presiden Emmanuel Macron telah menerapkan Undang-Undang Separatisme pada 2021 silam akibat adanya pembunuhan terhadap guru di Prancis oleh pengungsi Muslim Rusia lantaran guru tersebut melakukan penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW dengan kartun Charlie Hebdo.

Penghinaan tersebut jelas sangat menyakiti kaum Muslim. Pemerintah Prancis mengklaim undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memperkuat sistem sekuler Prancis, namun para kritikus mengatakan bahwasanya undang-undang tersebut secara tidak adil hanya mengasingkan komunitas Muslim dan membatasi kebebasan beragama. Hal ini dikarenakan adanya puluhan masjid yang ditutup, organisasi dan badan amal Muslim yang dibubarkan.

Jelas bahwa Perancis merupakan salah satu negara yang anti Islam, memusuhi Islam dan umatnya. Seharusnya para pemimpin negeri Muslim dalam hal ini menunjukkan sikap tegas dan pembelaan terhadap kemuliaan Agama, dengan tidak menjalin hubungan apapun dengan negara pendukung Islamophobia tersebut. Namun karena negeri ini menerapkan sistem demokrasi kapitalisme dalam mengatur seluruh urusan rakyat yang mana setiap hubungan negara hanya dilihat berdasar manfaat, maka hal-hal seperti pembelaan Islam menjadi terabaikan. Demi bantuan dan investasi pemimpin negeri seakan-akan tidak mampu berbuat apa-apa dan menjadikan negeri ini terposisi sebagai negara yang siap dieksploitasi dan dijajah secara pemikiran.

Sistem seperti ini hanya akan membuat negeri kita dalam posisi yang lemah.

Situasi ini akan berbeda jika negeri kaum Muslim memiliki kekuatan politik berlandaskan sistem Islam. Lihatlah pada masa-masa peradaban Islam sebelumnya, yang memiliki kekuatan, kedaulatan, mandiri, bahkan menjadi negara adidaya yang disegani. Sistem Islam juga memiliki kebijakan politik luar negeri. Islam memberikan tuntunan bagaimana bersikap terhadap orang bahkan negeri yang memusuhi agama Allah. Kebijakan politik luar negeri Islam bebas dari intervensi pihak manapun.

Dalam Islam, negara di dunia hanya dibagi dua, yakni negeri Islam (darul Islam) dan negeri kufur (darul kufur). Adapun untuk kebijakan politik luar negerinya, Islam membedakan negeri mana yang boleh diajak kerja sama dan negeri yang harus diperangi. Prancis merupakan salah satu negara yang harus diperangi. Karena berdasarkan fakta tadi telah jelas memusuhi kaum Muslim. Ditambah adanya bantuan baik secara langsung ataupun tidak terhadap pembantaian muslim Gaza, Palestina.

Pada masa kekhalifahan Utsmaniyah, Sultan Abdul Hamid pernah menolak tawaran Pemimpin Zionis Theodor Herzl yang meminta izin untuk bermigrasi di wilayah Palestina, dan akan membayar utang luar negeri Ottoman, yang mereka perkirakan berjumlah 20 juta pound. Namun dengan tegasnya Sultan Abdul Hamid berkata “Aku tidak bisa menjual satu inci pun tanah, karena tanah itu bukan milikku, tapi milik rakyatku. Mereka mendirikan Kerajaan ini dan membuatnya subur dengan darah mereka. Kami tahu cara menutupinya dengan darah kami sekali lagi sebelum tanah itu dirampas dari kami.”

Ini semakin menunjukkan bahwa tidak mungkin membangun hubungan kerja sama dengan negara yang jelas memusuhi agama Allah. Pemimpin umat muslim tidak mungkin mau berjabat tangan dengan orang-orang seperti itu. Karena sama saja melakukan pengkhianatan kepada Allah, Rasulullah dan kaum Muslimin. Seharusnya menjadi garda terdepan dalam membela umat Islam dengan mengerahkan tentara dan senjata. Hal seperti ini hanya terjadi dalam sistem Islam yang ada dibawah naungan Daulah Islamiyah yang memiliki kekuatan untuk bersikap tegas. Untuk itu sebagai umat muslim, maka kita harus berjuang bersama untuk mewujudkan kembali Daulah Islam ini agar negeri kita menjadi bagian dari negara adidaya dan tidak lagi mudah dieksploitasi oleh negara asing. Wallahualam bishowab

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel