Tambang Nikel di Raja Ampat Bukti Gagalnya Kapitalisme
Oleh: Nurul Izzah
Raja Ampat kembali disorot. Bukan karena keindahan laut dan kekayaan hayatinya, tapi karena kerusakan lingkungan parah akibat tambang nikel yang merambah kawasan konservasi. Surga terakhir di bumi kini ternoda oleh kerakusan manusia yang dibungkus dalih "pembangunan".
Pemerintah memang akhirnya menghentikan sementara operasional tambang milik PT Anugerah Tambang Nusantara (ATN) setelah muncul desakan dari masyarakat adat Papua, aktivis lingkungan, hingga akademisi. Namun, apakah ini cukup? Apakah akar masalahnya sudah diselesaikan?
Jika kita jujur menilai, kasus Raja Ampat bukanlah kasus tunggal. Di bawah sistem kapitalisme, kerusakan lingkungan adalah keniscayaan. Ini karena sumber daya alam (SDA) diperlakukan sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan demi keuntungan segelintir orang, bukan sebagai amanah Allah yang wajib dikelola dengan adil dan bertanggung jawab.
Tak heran, tambang bisa dibuka di mana saja, bahkan di kawasan konservasi, asalkan ada izin dan modal. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), ada 380 IUP tambang nikel dengan luas hampir 1 juta hektar. Bahkan, Indonesia menyumbang 58,2% deforestasi hutan tropis akibat tambang dari 26 negara!
Inilah wajah asli kapitalisme: merusak atas nama pembangunan, menindas atas nama investasi, dan menjarah atas nama pertumbuhan ekonomi.
Lebih tragis lagi, negara yang seharusnya menjaga amanah justru menjadi kaki tangan para pemilik modal. Alih-alih menjadi ra’in (pengurus rakyat), negara bertindak sebagai pelayan investor. Hukum dan regulasi pun dijadikan alat untuk melegalkan kejahatan lingkungan. Padahal, banyak masyarakat adat yang kehilangan tanah, laut, bahkan sumber kehidupan.
Inilah buah dari sistem sekuler kapitalis—di mana hukum Allah disingkirkan dan diganti dengan hukum buatan manusia yang bisa dibeli dan dilobi.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki paradigma yang lurus dalam mengelola sumber daya alam. Dalam Islam:
SDA seperti air, padang rumput, dan api (termasuk tambang) adalah milik umum (milkiyyah ‘âmmah). Dilarang dikuasai oleh swasta/asing untuk kepentingan pribadi. Dikelola negara, hasilnya untuk kesejahteraan umat. Negara wajib menjaga kelestarian alam, bukan merusaknya.
Rasulullah SAW bersabda:
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Al-Qur’an juga tegas melarang kerusakan lingkungan:
“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS Al-A’raf: 56)
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena ulah tangan manusia...” (QS Ar-Rum: 41)
Ini bukti bahwa menjaga lingkungan adalah kewajiban syar’i, bukan sekadar himbauan moral.
Islam tidak hanya memberi hukum, tetapi juga sistem pemerintahan yang mampu menerapkannya. Dalam sistem Khilafah Islamiyah, negara bertindak sebagai pelindung rakyat dan penjaga alam. Bukan sekadar regulator, tetapi pengelola langsung SDA.
Negara tidak akan menjual SDA kepada asing atau swasta. Seluruh hasil tambang disalurkan ke Baitul Mal, digunakan untuk membiayai pelayanan rakyat: pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Tak akan ada “izin tambang” yang dibeli oleh oligarki. Tak akan ada hutan lindung yang dijadikan lahan konsesi.
Sebab hukum yang diterapkan adalah hukum Allah—yang adil, kokoh, dan tidak bisa dilobi.
Kasus tambang di Raja Ampat hanyalah satu dari ribuan bukti rusaknya sistem kapitalisme. Selama hukum buatan manusia yang rakus dan serakah ini masih diterapkan, alam akan terus hancur, umat akan terus sengsara.
Sudah saatnya kita menjadikan Islam sebagai satu-satunya solusi. Bukan hanya sebagai agama ritual, tapi sebagai sistem hidup yang mengatur semua aspek kehidupan, termasuk ekonomi dan lingkungan.
Allah berfirman:
“Jika penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi...” (QS Al-A’raf: 96)