Kasus Korupsi EDC: Cerminan Krisis Kepemimpinan dalam Sistem Politik Sekuler
Oleh : Nur Zahra Al-Khoir (Aktivis Mahasiswa Kalsel)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut kasus korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di bank pelat merah yang terjadi sepanjang 2020 hingga 2024. Nilai kerugian negara diperkirakan mencapai Rp2,1 triliun.(BeritaSatu, 9 Juli 2025)
Kasus ini bukan sekadar pelanggaran hukum individu, tapi mencerminkan bobroknya sistem politik dan ekonomi sekuler-kapitalistik yang membentuk pola kepemimpinan dan tata kelola negara. Dalam sistem ini, kekuasaan bukan amanah, melainkan peluang untuk memperkaya diri dan kelompok. Akibatnya, skandal-skandal semacam ini bukan lagi hal yang mengejutkan, tetapi justru menjadi bagian dari “tradisi” sistemik yang terus berulang.
Kapitalisme dan Korupsi: Dua Sisi Mata Uang
Sistem sekuler-kapitalistik tidak menjadikan akhlak dan kejujuran sebagai fondasi kekuasaan. Sebaliknya, ia membentuk budaya politik transaksional dan birokrasi yang berorientasi profit. Proyek pengadaan, seperti kasus EDC ini, sering kali tidak didorong oleh kebutuhan riil, melainkan oleh kepentingan pihak-pihak tertentu yang ingin mendapat “jatah”.
Dalam sistem ini, kekuasaan digunakan bukan untuk melayani rakyat, tapi untuk melayani kepentingan korporasi dan oligarki. Tak heran jika korupsi terus terjadi dari tingkat pusat hingga daerah, bahkan di lembaga keuangan milik negara yang seharusnya menjadi contoh integritas.
Islam Menawarkan Sistem Politik Bersih dari Korupsi
Islam tidak hanya memandang korupsi sebagai kejahatan hukum, tetapi sebagai pengkhianatan terhadap amanah umat. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), pengelolaan harta publik diawasi ketat oleh lembaga hisbah dan diatur berdasarkan syariat yang menjunjung tinggi keadilan.
Penguasa adalah Pelayan, Bukan Penguasa yang Dilayani
Dalam Islam, seorang pemimpin adalah pelayan umat, bukan pemilik negara. Rasulullah SAW bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tidak ada ruang bagi pemimpin untuk menyalahgunakan wewenang atau bermain proyek demi kepentingan pribadi.
Sistem Khilafah Menutup Celah Korupsi
Dalam Khilafah:
Harta publik tidak boleh dikuasai individu.
Proyek-proyek negara harus berbasis kebutuhan riil, bukan lobi atau komisi.
Setiap pejabat diawasi secara ketat dan dapat langsung dimintai pertanggungjawaban oleh rakyat.
Hukuman atas korupsi sangat tegas dan memberi efek jera.
Akibat Sistem Sekuler: Negara Dirampok dari Dalam
Kasus EDC hanya satu dari sekian banyak skandal yang mencerminkan bagaimana negara ini dirampok dari dalam. Akibatnya:
Dana publik yang seharusnya digunakan untuk rakyat, malah mengalir ke kantong segelintir elit.
Rakyat terus menanggung dampak layanan publik yang buruk.
Kepercayaan terhadap institusi negara semakin runtuh.
Solusi Bukan di Permukaan, Tapi Sistemik
Selama negeri ini masih berpijak pada sistem politik dan ekonomi sekuler, korupsi akan terus menjadi “biaya wajib” kekuasaan. Solusi tambal sulam seperti revisi UU atau pembentukan komisi pengawas hanya bersifat kosmetik. Yang dibutuhkan adalah transformasi sistemik—kembali pada sistem pemerintahan Islam yang menjadikan syariat sebagai landasan dalam mengatur negara dan mengelola kekayaan umat.
> “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)