Korupsi Ancaman Nyata Bagi Indonesia
Oleh Hafizatul Dwi Maulida, S.Pd
Sebuah negara yang tangguh adalah negara yang setiap kebijakannya tidak dibawah tekanan siapapun maupun pesanan dari manapun. Negara tersebut berjalan sesuai tujuannya yakni untuk kemajuan bangsa dan negara dengan memajukan perekonomian yang nampak terlihat sejahtera rakyatnya. Hancurnya negara karena adanya nepotisme yang mengakar yang kebal hukum. Adanya statement dari presiden Prabowo Subianto menyebut ada bahaya besar yang mengintai Indonesia sebagai negara berkembang. Prabowo bilang, bahaya itu adalah state capture.
Masalah ini, menurut Prabowo, sangat serius dan harus segera diselesaikan.
"Karena di negara berkembang seperti Indonesia, ada bahaya besar yang kami sebut state capture—kolusi antara kapital besar dan pejabat pemerintahan serta elite politik," kata Prabowo saat menjadi pembicara di acara St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia, Jumat (20/6). KumparanNews, kamis, 20/06/25
Dari pernyataan bapak presiden sesuai dengan isu yang terjadi saat ini, begitu banyak bermunculan kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat dengan nilai yang fantastis di tengah terpuruknya rakyat dalam menghadapi kemiskinan yang menjerat. Ditengah buramnya masa depan Indonesia kedepan menjadi peringatan bagi Indonesia untuk memberantas nepotisme ini.
State capture yakni adanya jalinan kasih antara penguasa dengan pengusaha mencapai tujuan bersama. Apabila sebuah negara terjadi hal ini kemungkinan besar negara akan disetir oleh para pengusaha atau kapital. Sehingga terjadinya nepotisme terstruktur yg berdampak sulitnya mengentaskan kemiskinan.
State capture sebuah keniscayaan yang terjadi pada sistem politik demokrasi sekuler saat ini. Sehingga didalam mencapai tujuannya dengan menghalalkan segala cara termasuk nepotisme. Hal ini terjadi karena pandangan hidupnya adalah mencari materi dunia, dan untuk meraih kebahagian.
Politik itu adalah mengurusi urusan rakyat, jadi para pejabat yang menduduki jabatannya punya kewajiban untuk menjalankan amanahnya di dalam mensejahterakan rakyat, dan memberikan rakyat rasa aman. Bukan sebaliknya mengambil hak rakyat, bahkan merugikan negara di dalam setiap kebijakannya.
Selain itu terjadinya juga politik transaksional antara para penguasa dan pengusaha, hal ini dikarenakan untuk memangku jabatan harus memiliki modal yang besar. Sehingga di dalam sistem demokrasi pemilu itu mengeluarkan biaya yang sangat mahal bagi calon penguasa. Jadi perlu adanya dukungan material dari pengusaha. Imbasnya politik transaksional ini akan terjadi simbiosis mutualisme jadi kebijakan yang dibuat akan sejalan dengan keinginan dari kedua belah pihak bukan untuk kepentingan rakyat.
Politik transaksional ini menjadi sistem di dalam meraih kekuasaan. Jadi sangat rentan akan adanya nepotisme di dalam pemerintahan yang akan berdampak pada negara. Inilah bobroknya sistem sekuler yang diterapkan oleh negara saat ini. Sistem yang lahir dari sebuah pemikiran manusia yang hanya akan menimbulkan kerusakan bagi umat manusia dan seluruh alam.
Sistem Islam berbeda dengan sistem sekuler kapitalis.Dilihat dari segi asasnya sistem sekuler berasaskan manfaat atau hanya mencari keuntungan yang bersifat materi atau dunia saja. Sedangkan sistem Islam berasaskan aqidah Islam jadi setiap perbuatan manusia standarnya hukum syara yaitu dasar seseorang melakukan suatu perbuatan yang dilihat dari sisi apakah perbuatan itu wajib, haram, sunnah, makruh, mubah. Jadi setiap perbuatan manusia berlandaskan itu, karena Islam itu ideologi jadi saat diterapkan negara maka kebijakan yang di buat oleh negara berdasarkan hukum syara.
Saat seseorang berideologi kan Islam akan mencerminkan perilaku yang terpuji seperti jujur, amanah, bertanggung jawab. Jadi pada saat diberikan jabatan, itu sebagai amanah yang dijalankan dengan jujur dan tidak berlaku curang dengan memanfaatkan jabtan untuk memperkaya diri. Adanya nepotisme pun kemungkinan kecil akan terjadi apabila individu tersebut bertakwa.
Apabila negara yang menjalankan berdasarkan Islam maka setiap kebijakan negara akan mengarah pada pengurusan rakyat dalam segala bidang kehidupan.
Ketakwaan individu inilah yang mendorong setiap manusia menjalankan jabatannya itu sebagai bentuk amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah sehingga ada ketakutan untuk melakukan pelanggaran syariat yang telah ditetapkan. Sebagaimana
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Anfal ayat 27
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
Dari ayat tersebut jelas bagaimana perintah untuk menjalankan amanah dengan bertanggung jawab. Adanya perintah ini maka bagi yang melanggarnya tentu ada sanksi yang harus diterima oleh individu tersebut. Baik dari sisi negara maupun dari agama tentu ada sanksi yang diberikan bagi yang melanggar aturan.
Dalam Islam hukum persanksian itu ada sebagai jawabir dan zawajir. Yakni sebagai penebus dosa dan pencegah. Dengan diterapkannya sistem Islam dalam ranah negara maka sanksi yang diterapkan negara akan menghapus dosa yang dia lakukan dan sanksi tersebut akan mencegah orang lain untuk melakukan perbuatan yang sama. Dalam Islam, korupsi dianggap sebagai dosa besar (ghulul) dan diharamkan. Pelakunya akan mendapatkan hukuman di dunia dan akhirat. Hukuman di dunia bisa berupa sanksi ta'zir yang ditetapkan oleh hakim, termasuk pengembalian harta hasil korupsi, larangan menjabat, dan sanksi sosial seperti tidak dishalati jenazahnya. Di akhirat, pelaku korupsi akan menanggung beban harta hasil korupsi di hadapan seluruh makhluk, dan akan mendapatkan siksa api neraka.
Dengan adanya sanksi yang tegas dan berat tentu akan menjerakan bagi si pelaku sehingga tidak akan mengulangi kembali perbuatan tersebut. Hal ini hanya akan terlaksana apabila negara menerapkan syariat Islam.