Momentum Muharram: Saatnya Umat Bangkit
Oleh: Fardaniyah(Aktifis Dakwah)
Hari berganti pekan, pekan berganti bulan, bulan berganti tahun. Waktu terus melaju, tahun baru 1447 H hadir di tengah berderetnya persoalan yang masih merundung umat dalam kenestapaan. Kemiskinan terstruktur masih mendera mayoritas dari dua miliar lebih jumlah umat Islam dunia. Kriminalitas masih menyandera kehidupan hari ini. Yang tak kalah menyesakkan adalah diamnya penguasa negeri-negeri muslim atas genosida Palestina, seolah mereka tak lagi satu tubuh.
Untuk kesekian kalinya, kita diberikan kesempatan melalui tahun baru Islam. Sayangnya, umat Islam masih berkubang dalam problematika kehidupan. Tahun baru tidak perlu dirayakan dengan kembang api atau terompet . Sudah selayaknya tahun baru ini menjadi momentum setiap diri berintrospeksi. Pemimpin mengoreksi pelayanan dan kebijakannya kepada rakyat. Sudah berapa banyak peraturan yang menzalimi rakyat. Rakyat menghitung diri, apakah sudah melaksanakan perannya untuk mengoreksi pemimpinnya. Apakah masih ada kepedulian dengan sesama. Bagaimana perasaannya melihat saudaranya yang terzalimi.
Peristiwa Hijrah Menjadi Titik Awal Perubahan
Tahun baru Islam memiliki makna historis dan spiritual, diawali dengan peristiwa hijrah Rasulullah SAW dan para sahabat. Peristiwa itu menjadi awal perubahan masyarakat secara fundamental, dari kondisi masyarakat jahiliyah yang diatur dengan aturan non Islam menuju masyarakat yang diatur dengan sistem yang berasal dari Allah SWT sehingga terwujud masyarakat yang sejahtera nan cerdas gemilang.
Hijrahnya Sang Nabi bukan sekadar berpindah tempat untuk berlindung dari kekejaman kafir Quraisy. Hijrah beliau adalah titah Sang Ilahi mewujudkan institusi pelaksana syariah. Sejak hari pertama hijrahnya, beliau melaksanakan seluruh aturan Islam secara komprehensif. Kala itu, di Madinah dihuni oleh orang-orang yang beragama Islam, Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Berawal dari lembah Makkah, Islam menyebar ke seantero dunia. Umat Islam bersatu di bawah panji Islam, menyatukan berbagai agama, bangsa, warna kulit, dan bahasa. Kehidupan mereka penuh dengan kesejahteraan. Toleransi dengan sesama berjalan selaras, sebagai hasil atas penerapan aturan Islam nan adil, yang lahir dari akidah Islam. Kondisi itu pertama kali dicontohkan Rasulullah ketika beliau membangun peradaban Islam di Madinah. Dalam Kitab Daulah Islam karya Syekh Taqiyuddin An Nabhani halaman 68, disebutkan bahwa kaum Muhajirin dan Anshar disatukan akidah Islam. Islam telah mengikat persatuan di antara mereka. Karena itu, pemikiran dan perasaan mereka satu sehingga pengatur hubungan di antara mereka menggunakan Islam sudah menjadi kepastian.
Umat Mulia dengan Islam dan Khilafah
Umat Islam menyandang predikat yang mulia sebagai Khairu Ummah (umat terbaik). Allah SWT berfirman, "Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik." (Ali-Imran [3]:110).
Namun, apa yang kita saksikan hari ini? Predikat itu tak lagi nampak nyata dalam kehidupan. Umat Islam kian terpinggirkan, bahkan masih ada sebagian yang silau akan gemerlap kehidupan Barat yang sejatinya kian jauh meninggalkan aturan agamanya.
Umat hari ini harus berubah. Bukan sekadar berubah secara individual, namun harus secara kolektif. Islam hadir tidak sekadar menuntut ketakwaan secara individu, melainkan Islam juga menuntut kepedulian dengan sesama. Maka umat Islam harus menyadari dan merenungkan kembali apa yang menjadi penyebab masalah kondisi buruk di tengah masyarakat saat ini, yang menyebabkan umat Islam kehilangan kemuliaannya sebagai umat terbaik. Menarik ketika kita merenungkan firman Allah dalam QS Taha ayat 124 yang artinya, "Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." Dari ayat tersebut kita diingatkan bahwa keterpurukan umat hari karena makin jauh dari aturan Allah SWT.
Maka cara untuk mewujudkan kembali kemuliaan umat adalah dengan kembali melaksanakan aturan Islam dan menerapkannya dalam kehidupan secara kaffah (komprehensif). Aturan Islam secara kaffah tidak mungkin bisa dilaksanakan, kecuali jika ada institusi politik yang menerapkan. Dalam khazanah fikih Islam, institusi itu bernama Khilafah. Khilafah berfungsi sebagai junnah (perisai, pelindung) bagi umat.
Setelah memahami urgensi keberadaan Khilafah, umat harus sadar bahwa Khilafah juga kewajiban yang harus diwujudkan dan diperjuangkan. Khilafah sekaligus merupakan janji Allah SWT yang akan diberikan kepada hamba-Nya yang beriman. Allah berfirman dalam QS An Nur: 55 yang artinya, "Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan kebajikan bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridai; dan Dia sungguh akan mengubah (keadaan) mereka setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Siapa yang kufur setelah (janji) tersebut, mereka itulah orang-orang fasik."
Upaya penyadaran umat saat ini membutuhkan upaya serius dan sungguh-sungguh sehingga mampu mewujudkan kesadaran kolektif. Upaya ini tidak mungkin dilakukan secara individual, melainkan membutuhkan kelompok dakwah yang tulus dan tak kenal lelah serta istiqamah berjuang di jalan Allah. Mereka menjelaskan ke tengah-tengah umat akan pentingnya mewujudkan perubahan menuju Islam dan dengan cara yang telah ditunjukkan oleh Baginda Nabi SAW. Inilah yang dibutuhkan umat agar mereka mampu mewujudkan kebangkitan hakiki dan menjadi pemimpin peradaban mulia sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah.