Muliakan Guru, Wujudkan Peradaban: Solusi Islam untuk Negeri
Oleh : Marfu'ati Jannah
Guru merupakan pilar utama pendidikan dan pembangunan SDM bangsa. Namun, hingga kini pemerintah belum sepenuhnya memberikan perhatian serius terhadap kesejahteraan mereka. Banyak guru masih menghadapi ketimpangan penghasilan, beban kerja tinggi, serta regulasi yang membingungkan. Salah satu contoh nyata terlihat di Provinsi Banten.
Sejak Januari 2025, guru yang menjalankan tugas tambahan—seperti wakil kepala sekolah, wali kelas, hingga pembina ekstrakurikuler—tidak lagi menerima tunjangan tambahan (Tuta), meski tugas itu terus dijalankan. Hal ini muncul akibat Permendikbudristek 2025 yang menganggap jabatan tambahan sebagai bagian dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi), sehingga tak layak diberi tunjangan. Padahal, APBD Banten telah mengalokasikan anggaran untuk itu. Namun hingga lebih dari enam bulan berlalu, hak guru belum juga dicairkan, menyebabkan gelombang protes dan audiensi oleh ratusan guru. Gubernur Banten memang menyatakan prihatin, tapi belum ada solusi konkret.
Kasus ini menjadi cerminan persoalan nasional. Menurut data Kemendikbudristek 2024, rata-rata gaji guru ASN golongan III hanya Rp4–7 juta per bulan. Sementara itu, guru honorer masih banyak yang dibayar di bawah upah minimum regional (UMR). Bahkan menurut BPS, sektor pendidikan tergolong lima besar dengan gaji terendah, yakni rata-rata Rp2,79 juta. Hal ini jelas jauh dari ideal, terutama jika dibandingkan dengan sektor profesional lainnya.
Anggota Komisi X DPR RI, Juliyatmono, bahkan menyatakan bahwa gaji ideal guru seharusnya mencapai Rp25 juta per bulan agar setara dengan profesi strategis lain dan menarik generasi muda untuk menjadi pendidik. Namun, pernyataan tersebut masih sekadar aspirasi tanpa realisasi kebijakan.
Memang ada upaya pemerintah meningkatkan anggaran kesejahteraan guru, seperti kenaikan Rp16,7 triliun untuk ASN dan non-ASN di 2025 serta pencairan DAK Non-Fisik satu kali gaji pokok untuk guru ASN. Sayangnya, masalah besar masih muncul pada tahap implementasi di daerah. Kasus seperti di Banten membuktikan adanya hambatan birokratis, ketidaksinkronan antar-regulasi (seperti Permendikbudristek vs Pergub), serta lemahnya pengawasan terhadap alokasi dana pendidikan.
Kondisi ini berdampak langsung terhadap motivasi guru. Perasaan diabaikan dan tidak dihargai mengakibatkan penurunan semangat kerja. Protes dan ancaman mogok mengajar menunjukkan keresahan yang mendalam, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pembelajaran siswa.
Untuk itu, perlu langkah konkret: (1) segera mencairkan tunjangan guru tanpa menunggu revisi regulasi; (2) harmonisasi kebijakan antara pusat dan daerah; (3) menata ulang skema gaji nasional secara bertahap menuju standar Rp25 juta; serta (4) memastikan pengawasan ketat atas dana kesejahteraan guru.
Solusi Islam terhadap Masalah Kesejahteraan Guru
Dalam Islam, guru adalah Ahlul ‘Ilm (orang berilmu) yang sangat dimuliakan. Rasulullah ï·ş bersabda, “Para ulama adalah pewaris para nabi” (HR. Abu Dawud). Oleh karena itu, negara wajib menempatkan guru dalam posisi terhormat—termasuk dari sisi ekonomi dan psikologis.
Islam juga menekankan keadilan dalam upah. Nabi ï·ş bersabda, “Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya” (HR. Ibnu Majah). Maka, menunda gaji atau tunjangan guru adalah bentuk kezhaliman yang tidak dibenarkan.
Negara dalam sistem Islam bertanggung jawab penuh menjamin kesejahteraan tenaga pendidik. Pembiayaan guru berasal dari baitul mal, bersumber dari harta milik umum (tambang, energi), kharaj, dan zakat yang sesuai syariat.
Gaji guru harus kifayah (mencukupi kebutuhan hidup layak) agar mereka bisa mengajar dengan tenang dan profesional.
Terakhir, Islam mewajibkan transparansi dan amanah dalam pengelolaan dana publik (QS. An-Nisa: 58), termasuk dana pendidikan. Wallahua'lam bishawab