Normalisasi dengan Israel: Cerminan Krisis Kepemimpinan dalam Sistem Politik Sekuler
Oleh; Nur Zahra Al Khoir (Aktivis Mahasiswi Kalsel)
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai peluang Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel memicu perdebatan publik. Dalam wawancara pada Mei 2025, Prabowo menyatakan bahwa Indonesia siap mengakui Israel, asalkan Palestina telah merdeka dan diakui secara sah.(Jakarta, CNN Indonesia Rabu (28/5)).
Pernyataan ini bukanlah fenomena yang berdiri sendiri, melainkan buah dari sistem politik sekuler-kapitalistik yang mengabaikan prinsip moral dan ukhuwah Islamiyah. Sistem ini tidak mengarahkan pemimpin untuk mengambil kebijakan berdasarkan nilai agama dan kepentingan umat, melainkan berdasarkan kalkulasi politik pragmatis, tekanan internasional, dan kepentingan ekonomi.
Politik Sekuler dan Krisis Prinsip
Dalam sistem demokrasi sekuler, hubungan luar negeri dijalankan berdasarkan kepentingan strategis jangka pendek. Palestina tidak lagi dilihat sebagai saudara seiman yang tertindas, melainkan sebagai satu kasus internasional yang harus “diselesaikan” secara politis, meski dengan cara menggadaikan prinsip.
Pengakuan terhadap Israel, bahkan dengan syarat, menunjukkan bahwa politik luar negeri Indonesia telah kehilangan orientasi moral dan ideologis. Dukungan terhadap Palestina selama ini hanya menjadi simbol diplomatik, bukan komitmen ideologis yang kokoh. Akibatnya, peluang normalisasi dengan penjajah seperti Israel pun dibuka atas nama kompromi dan strategi politik.
Islam Menawarkan Solusi Sistemik dalam Politik
Islam memiliki sistem politik yang berdasarkan wahyu, bukan nafsu atau tekanan politik global. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), hubungan luar negeri dibangun atas dasar aqidah Islam, bukan sekadar kepentingan nasional sempit.
Tidak Ada Pengakuan terhadap Penjajah
Islam melarang keras bentuk kerja sama dengan penjajah, apalagi memberi legalitas kepada mereka. Pengakuan terhadap Israel berarti mengakui keberadaan negara penjajah atas tanah kaum Muslimin di Palestina — ini bertentangan dengan prinsip keadilan Islam.
Dukungan Nyata, Bukan Sekadar Retorika
Dalam sistem Khilafah, negara wajib membantu saudara seiman yang dizalimi, baik secara militer, ekonomi, maupun diplomatik. Palestina bukan hanya “urusan luar negeri”, tetapi bagian dari tubuh umat Islam yang sedang diserang.
Solidaritas Islam Global
Islam memandang seluruh umat sebagai satu kesatuan. Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan kaum Mukminin dalam kasih sayang dan kepedulian mereka bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakannya.” (HR. Muslim)
Politik Berbasis Akidah, Bukan Diplomasi Kosong
Sistem Islam menjadikan aqidah sebagai dasar setiap kebijakan. Tidak ada ruang untuk kompromi dengan kezaliman. Setiap keputusan politik harus membawa maslahat bagi umat dan mengangkat kehormatan Islam.
Akibat Normalisasi: Hilangnya Marwah dan Dukungan terhadap Penjajahan
Mengakui Israel, meskipun dengan syarat, adalah bentuk kompromi terhadap kezaliman. Ini mengakibatkan:
Hilangnya marwah Indonesia sebagai pembela Palestina.
Melegitimasi penjajahan yang telah berlangsung sejak 1948.
Menyampaikan pesan salah bahwa penindasan bisa dinegosiasikan, bukan ditolak secara mutlak.
Kembalilah kepada Sistem Islam
Selama sistem politik kita masih berpijak pada sekularisme dan pragmatisme, maka kebijakan luar negeri akan terus menjauh dari nilai-nilai Islam. Normalisasi dengan penjajah akan dianggap wajar, dan prinsip ukhuwah Islamiyah hanya tinggal slogan.
Sudah saatnya umat sadar bahwa satu-satunya solusi untuk menjaga kehormatan dan membela saudara seiman adalah dengan kembali pada sistem pemerintahan Islam yang berlandaskan wahyu, bukan kepentingan politik jangka pendek. Hanya dengan sistem Khilafah-lah Palestina benar-benar bisa dibela dan Israel ditolak dengan tegas — bukan dinegosiasikan.
"Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar..." (QS. At-Taubah: 71)