Regulasi Lemah, Rakyat Jadi Korban Beras Premium Oplosan
Oleh: Pambayun
Kasus beras premium oplosan kembali mencuat dan mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap keamanan pangan nasional. Praktik curang ini justru dilakukan oleh para produsen besar. Masyarakat dan negara pun ikut menanggung kerugian luar biasa. Pertanyaannya, mengapa regulasi tak mampu menjerat tegas para pelakunya?
Temuan Kementerian Pertanian (Kementan) bersama Satgas Pangan dan Badan Pangan Nasional membuka tabir kejahatan besar di balik kemasan beras premium. Sebanyak 212 dari 268 merek beras terbukti tidak sesuai standar mutu, kuantitas, maupun label yang tertera di kemasan. Bahkan, kerugian yang ditimbulkan diperkirakan mencapai Rp 99 triliun per tahun, sebagaimana diungkap Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman.
“Contoh ada volume yang mengatakan 5 kilogram padahal 4,5 kg. Kemudian ada yang 86 persen mengatakan bahwa ini premium, padahal itu adalah beras biasa. Artinya apa? Satu kilo bisa selisih Rp 2.000 sampai Rp 3.000 per kilogram,” jelas Amran, dikutip dari Kompas.com, Sabtu (12/7/2025).
Sebagaimana yang diberitakan dalam Kompas.com, Empat perusahaan besar yang diduga sebagai pelaku kecurangan kini sedang diperiksa, antara lain Wilmar Group, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Belitang Panen Raya, dan PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group). Produk-produk mereka terindikasi bermasalah dari segi berat, mutu, hingga label.
Praktek Curang dalam Sistem Kapitalisme
Kecurangan ini bukan semata-mata persoalan teknis. Pengamat kebijakan publik Emilda Tanjung, M.Si, menyebut bahwa akar persoalan ada pada sistem ekonomi dan pemerintahan yang kapitalistik. Dalam sistem ini, segala sesuatu diukur berdasarkan untung dan rugi. Praktek manipulasi mutu dan timbangan dianggap lumrah demi mendulang keuntungan sebesar-besarnya.
Dalam perspektif Islam, praktik seperti ini mencerminkan jauhnya manusia dari nilai-nilai kejujuran dan takwa. Ketika agama tidak lagi menjadi tolok ukur kehidupan, segala cara dihalalkan untuk mengejar profit. Negara pun gagal melindungi rakyat karena menyerahkan sektor strategis seperti pangan ke tangan korporasi.
Ketidakhadiran Negara dan Lemahnya Pengawasan
Banyaknya persolan oplosan semacam ini, menunjukkan lemahnya pengawasan serta sistem sanksi yang tak memberi efek jera. Regulasi yang ada terbukti belum mampu menindak tegas pelaku. Pemerintah memang telah melaporkan kasus ini ke Kapolri dan Jaksa Agung, namun penindakan hukum yang cepat dan menjerakan masih menjadi harapan.
Pengamat kebijakan publik Emilda Tanjung, M.Si, menilai bahwa ketiadaan sanksi yang tegas dan pengawasan berkelanjutan menjadi ruang subur bagi kecurangan. Dalam sistem sekuler seperti sekarang, pejabat lebih sibuk menjadi fasilitator bisnis daripada pelindung rakyat.
Di sisi lain, sistem pendidikan yang gagal mencetak individu amanah dan bertakwa turut menjadi akar dari membudayanya kecurangan. Mentalitas materialistik berkembang karena sistem yang mengedepankan capaian duniawi semata, bukan akhlak dan integritas.
Solusi Islam: Ketakwaan, Kontrol Sosial, dan Tegaknya Sanksi
Islam memandang, negara adalah raa’in (pelayan rakyat) dan junnah (pelindung). Maka pejabat dan penguasa harus amanah, menjamin keadilan, dan melindungi kebutuhan pokok rakyat, termasuk dalam urusan pangan.
Dalam Islam, tegaknya keadilan bergantung pada tiga pilar utama:
Ketakwaan individu, yakni kesadaran bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Kontrol masyarakat, berupa amar makruf nahi mungkar secara kolektif.
Penegakan sanksi oleh negara, yakni pemberlakuan hukum yang adil, tegas, dan menjerakan.
Islam juga mengenal institusi khusus seperti Qadhi Hisbah yang bertugas mengawasi pasar, menindak pelanggaran, dan memastikan regulasi ditegakkan secara adil dan objektif.
Tak hanya itu, Islam mewajibkan negara hadir secara utuh dalam mengurusi pangan, dari produksi, distribusi, hingga konsumsi. Negara harus memastikan rantai tata niaga bersih dari penipuan, menjamin pasokan halal dan tayyib, serta memastikan pangan sampai ke seluruh lapisan masyarakat.
Dengan sistem seperti ini, tidak ada ruang bagi korporasi bermain-main dengan kebutuhan pokok rakyat. Negara bertanggung jawab sepenuhnya atas kesejahteraan dan keadilan sosial.